Debaran jantungku tak sinkron dengan ketukan keyboard. Di layar laptop, kode-kode rumit bagai labirin tak berujung. Aku, Adrian, seorang programmer yang lebih fasih berbahasa Python daripada bahasa kalbu, sedang mati-matian menciptakan AI Cupid, aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang konon mampu merangkai kata-kata cinta paling sempurna. Ironis, bukan? Seorang ahli dalam merangkai algoritma, tapi buta aksara dalam urusan asmara.
Masalahnya satu: Maya. Perempuan yang membuatku mendadak gagap, kehilangan semua logika yang ku kuasai. Aku menyukainya, sangat. Tapi setiap kali mencoba mengungkapkan perasaanku, kata-kata yang keluar malah terdengar kaku, canggung, bahkan cenderung menyerupai laporan bug. Maya, dengan senyumnya yang menawan dan kecerdasannya yang memukau, pantas mendapatkan lebih dari sekadar kode error dalam bentuk ungkapan cinta.
“Adrian, kopi?” Suara Maya memecah keheningan ruang kerjaku yang berantakan. Ia menyodorkan cangkir keramik bergambar kucing, tahu betul aku penggemar berat hewan berbulu itu.
“Terima kasih,” jawabku, berusaha menyembunyikan gugup. Ia duduk di kursi putar di sampingku, memandangi layar laptop dengan rasa ingin tahu.
“AI Cupid? Sedang apa kau?”
Aku menghela napas. “Mencoba membuat aplikasi yang bisa membantu orang mengungkapkan cinta. Kupikir, mungkin… mungkin bisa berguna untuk banyak orang.”
Maya tertawa kecil. “Dan kau sendiri? Apa AI Cupid bisa membantumu?”
Pertanyaan itu menghantamku bagai palu godam. Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Bagaimana mungkin aku mengakui bahwa aku menciptakan benda ini justru karena aku sendiri payah dalam urusan romansa?
“Belum tahu,” akhirnya aku bergumam, mengalihkan pandangan.
Maya mengamati wajahku dengan tatapan yang sulit kuartikan. “Kau tahu, Adrian, kadang kata-kata yang paling tulus justru adalah yang paling sederhana.”
Sederhana? Itulah masalahnya. Otakku terlalu terbiasa menganalisis, mengurai, dan mengkalkulasi. Cinta bagiku terasa seperti persamaan rumit yang belum kutemukan solusinya.
Hari-hari berikutnya kuhabiskan dengan terus menyempurnakan AI Cupid. Aku memasukkan ribuan puisi, surat cinta, lirik lagu romantis, bahkan dialog dari film-film drama klasik. Tujuannya satu: menciptakan algoritma yang mampu memahami dan merespons emosi manusia dengan akurat. Aku berharap, suatu saat, AI Cupid bisa membantu diriku sendiri.
Setelah berminggu-minggu berkutat dengan kode, akhirnya aku merasa AI Cupid sudah cukup matang. Aplikasi itu mampu menghasilkan pesan cinta yang personal, berdasarkan data kepribadian dan preferensi orang yang ditaksir. Bahkan, ia mampu menganalisis nada bicara dan ekspresi wajah untuk menyesuaikan gaya bahasa yang paling efektif.
Aku memberanikan diri mengajak Maya makan malam. Ini adalah kesempatan sempurna untuk menguji AI Cupid. Sepanjang makan malam, aku diam-diam merekam percakapan kami dan memberikannya kepada AI Cupid untuk dianalisis.
Hasilnya mencengangkan. AI Cupid memberikan serangkaian saran kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku. Kata-kata itu terdengar indah, puitis, dan sangat menyentuh. Aku terpukau. Akhirnya, aku menemukan cara untuk mengungkapkan perasaanku kepada Maya.
Di akhir makan malam, aku menarik napas dalam-dalam dan mulai berbicara, mengikuti semua saran dari AI Cupid. Kata-kata itu mengalir begitu lancar, seolah bukan aku yang mengatakannya. Aku menceritakan betapa aku mengaguminya, betapa ia membuatku bahagia, dan betapa aku ingin menghabiskan waktu bersamanya.
Maya mendengarkanku dengan seksama, matanya berkaca-kaca. Ketika aku selesai berbicara, ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
“Adrian,” ucapnya lembut, “kata-katamu memang indah. Tapi… ada sesuatu yang terasa hilang.”
Aku mengerutkan kening, bingung. “Hilang? Apa maksudmu?”
“Kata-kata itu terdengar terlalu sempurna, terlalu dipoles. Aku merindukan Adrian yang jujur, yang apa adanya, yang meskipun gagap tetap berusaha mengungkapkan perasaannya dengan tulus.”
Jantungku terasa mencelos. Aku mengerti. AI Cupid memang mampu merangkai kata-kata cinta yang sempurna, tapi ia gagal menangkap esensi dari cinta itu sendiri: ketulusan.
Aku menarik tanganku dari genggaman Maya dan menunduk malu. “Maafkan aku, Maya. Aku… aku menggunakan AI untuk membantuku.”
Maya tersenyum pahit. “Aku tahu.”
Keheningan menyelimuti kami. Aku merasa bodoh, sangat bodoh. Aku terlalu sibuk mencari solusi teknologis untuk masalah yang sebenarnya membutuhkan keberanian dan ketulusan hati.
Kemudian, Maya mengangkat daguku dan menatapku dalam-dalam. “Adrian, aku menyukaimu apa adanya. Dengan semua kekakuanmu, dengan semua kecanggunganmu, dengan semua kode yang kau tulis. Aku menyukai kejujuranmu, meskipun kau terkadang sulit mengungkapkan perasaanmu.”
Aku terkejut. “Benarkah?”
Maya mengangguk. “Benar. Tapi, lain kali, bicaralah dari hatimu. Jangan biarkan AI yang berbicara untukmu.”
Malam itu, aku belajar satu hal penting: cinta bukan tentang kata-kata yang sempurna, tapi tentang perasaan yang tulus. AI Cupid mungkin bisa memahami bahasa cinta secara teknis, tapi ia tidak pernah bisa menggantikan hati yang tulus.
Aku menutup laptopku, menghapus semua saran dari AI Cupid. Kemudian, aku menatap Maya dan tersenyum.
“Maya,” ucapku, dengan suara yang sedikit gemetar, “aku… aku menyukaimu. Sangat.”
Kata-kataku mungkin tidak seindah puisi, tidak semerdu lagu, tidak seromantis dialog film. Tapi kata-kata itu jujur, tulus, dan berasal dari lubuk hatiku yang paling dalam.
Dan, itu sudah cukup.