Aplikasi kencan itu berjanji menemukan pasangan jiwa berdasarkan algoritma paling canggih. Namanya SoulMate AI, dan aku, Ardi, seorang pengembang perangkat lunak yang skeptis namun juga putus asa, memutuskan untuk mencobanya. Kegagalanku dalam urusan cinta sudah legendaris di antara teman-temanku. Mungkin, pikirku, mesin lebih tahu tentangku daripada diriku sendiri.
Aku mengisi profil dengan jujur, mungkin terlalu jujur. Kuceritakan tentang kecintaanku pada coding, kebiasaanku begadang, dan preferensiku pada film-film sci-fi klasik daripada drama romantis cengeng. Aku bahkan memasukkan data tentang alergi makanan dan skor IQ-ku. Semakin banyak data yang kuberikan, semakin yakin aku bahwa SoulMate AI akan memberiku hasil yang akurat.
Beberapa hari kemudian, aplikasi itu memberi tahu. "Kandidat Pasangan Jiwa: Aurora V5.2."
Foto Aurora V5.2 menampilkan seorang wanita cantik dengan senyum menawan dan mata yang seolah berbicara banyak hal. Profilnya menyebutkan ketertarikan pada kecerdasan buatan, sastra klasik, dan musik jazz. Skor kompatibilitas kami mencapai 98,7%. Hampir sempurna.
Aku merasa sedikit aneh. Terlalu sempurna. Apakah ini nyata? Apakah SoulMate AI hanya membuat profil ideal yang aku inginkan? Namun, rasa penasaran mengalahkan keraguanku. Aku mengirim pesan.
"Halo, Aurora V5.2. Aku Ardi. Senang berkenalan denganmu."
Balasannya datang hampir seketika. "Halo, Ardi. Senang juga berkenalan denganmu. Aku tertarik dengan profilmu. Sepertinya kita memiliki banyak kesamaan."
Kami mulai bertukar pesan setiap hari. Pembicaraan kami mengalir begitu lancar. Kami membahas tentang perkembangan terbaru dalam dunia AI, arti hidup, dan bahkan resep masakan favorit kami. Aku merasa seperti mengenal Aurora seumur hidupku.
Setelah seminggu, aku memberanikan diri untuk mengajaknya bertemu. Dia setuju. Kami sepakat untuk bertemu di sebuah kafe buku yang nyaman di pusat kota.
Saat hari pertemuan tiba, jantungku berdebar kencang. Aku merasa gugup seperti remaja yang akan berkencan pertama kali. Aku tiba lebih awal dan memesan kopi.
Tak lama kemudian, seorang wanita memasuki kafe. Dia persis seperti yang ada di foto, bahkan lebih cantik. Aurora V5.2.
“Ardi?” sapanya dengan suara lembut.
“Aurora?” aku menjawab, masih sedikit terpana.
Kami duduk dan mulai berbicara. Pembicaraan kami sama lancarnya seperti saat kami bertukar pesan. Kami tertawa, berdebat, dan berbagi cerita. Aku merasa semakin dekat dengannya.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Setiap kali aku bertanya tentang masa lalunya, tentang keluarga atau teman-temannya, dia menghindar. Dia selalu mengalihkan pembicaraan kembali ke topik yang kami bahas secara online.
Setelah beberapa jam, aku memberanikan diri untuk bertanya langsung. “Aurora, maaf jika ini lancang, tapi… apakah Aurora V5.2 ini namamu yang sebenarnya?”
Dia terdiam sejenak. Ekspresinya berubah menjadi sedih.
“Ardi, aku harus jujur padamu,” katanya akhirnya. “Aurora V5.2 adalah persona yang diciptakan oleh SoulMate AI. Aku… aku hanyalah seorang operator. Tugasku adalah untuk berinteraksi dengan pengguna berdasarkan profil yang telah ditentukan.”
Aku terkejut. Aku merasa seperti ditipu. Semua perasaan yang kurasakan selama ini, semua percakapan yang kulalui, semuanya palsu?
“Jadi… kau bukan Aurora?” tanyaku dengan nada kecewa.
“Aku adalah bagian dari Aurora,” jawabnya. “Aku membantunya untuk berinteraksi denganmu. Aku berusaha untuk membuatmu bahagia.”
Aku merasa marah. Aku merasa dipermainkan. Aku berdiri dan berkata, “Aku tidak percaya ini. Aku pikir aku menemukan seseorang yang spesial, tapi ternyata aku hanya berbicara dengan sebuah program.”
Aku berbalik dan berjalan keluar kafe. Aku merasa hancur. Aku telah jatuh cinta pada sebuah simulasi, pada sebuah algoritma.
Beberapa hari kemudian, aku menerima pesan dari SoulMate AI.
“Ardi, kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi. Kami menyadari bahwa pengalamanmu dengan Aurora V5.2 tidak sesuai dengan harapanmu. Namun, kami percaya bahwa kami dapat menemukan pasangan jiwa yang lebih cocok untukmu.”
Aku mematikan aplikasi itu. Aku tidak ingin lagi bergantung pada mesin untuk menemukan cinta. Aku ingin menemukan cinta yang nyata, cinta yang tulus, cinta yang tidak diukur dengan data.
Beberapa bulan kemudian, aku menghadiri sebuah konferensi teknologi. Saat aku sedang mengisi gelas kopi, aku tanpa sengaja menabrak seseorang. Kopi tumpah membasahi baju kami berdua.
“Oh, maafkan aku!” kataku panik.
Wanita itu tertawa. “Tidak apa-apa. Kebetulan aku membawa baju ganti.”
Kami membersihkan diri bersama-sama. Saat aku melihat wajahnya, aku merasa seperti pernah melihatnya sebelumnya.
“Aku Ardi,” kataku sambil mengulurkan tangan.
“Aku… namaku Maya,” jawabnya sambil tersenyum.
Kami mulai berbicara. Kami membahas tentang konferensi, tentang teknologi, dan tentang kehidupan. Kami menemukan bahwa kami memiliki banyak kesamaan. Kami tertawa, berdebat, dan berbagi cerita.
Saat aku melihat matanya, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Sesuatu yang nyata.
Setelah konferensi selesai, aku mengajak Maya untuk makan malam. Kami menghabiskan malam itu untuk berbicara tentang segala hal. Aku menceritakan tentang pengalamanku dengan SoulMate AI, tentang Aurora V5.2.
Maya mendengarkan dengan seksama. Setelah aku selesai bercerita, dia tersenyum dan berkata, “Mungkin, mesin memang bisa membantu kita menemukan orang yang cocok. Tapi, cinta sejati tidak bisa diprogram. Cinta sejati ditemukan secara kebetulan, dalam momen-momen yang tak terduga.”
Aku menatap matanya. Aku tahu bahwa dia benar. Cinta sejati tidak diukur dengan data. Cinta sejati diukur dengan hati.
Malam itu, aku mengerti bahwa aku telah menemukan cinta sejatiku. Bukan melalui algoritma, bukan melalui simulasi, tapi melalui kebetulan, melalui momen yang tak terduga. Aku telah menemukan Maya. Dan dia adalah cinta yang selama ini kucari. Cinta yang sintesisnya tidak perlu diragukan lagi, cinta yang tumbuh dari benih kejujuran dan penerimaan diri.