* **Algoritma Cinta: Bisakah AI Menggantikan Jantung?**

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:52:33 wib
Dibaca: 156 kali
Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, merangkai kode demi kode. Di ruangan apartemennya yang minim cahaya matahari, hanya layar monitor yang setia menemani. Anya, seorang programmer jenius di usia muda, sedang menggenggam ambisi besar: menciptakan algoritma cinta. Bukan cinta yang dangkal dan penuh drama seperti di film-film romantis, melainkan cinta yang logis, terukur, dan optimal.

“Konyol,” gumam sahabatnya, Rio, suatu sore sambil menyeruput kopi di meja Anya yang berantakan. “Kamu benar-benar percaya bisa memprogram perasaan?”

Anya mendengus. “Kenapa tidak? Perasaan itu kan reaksi kimiawi, impuls saraf. Semua bisa dipecah menjadi data dan dianalisis.” Ia menunjuk ke layar. “Algoritma ini akan mempertimbangkan preferensi, nilai-nilai, bahkan potensi genetik. Hasilnya, pasangan yang paling kompatibel.”

Rio tertawa. “Kedengarannya seperti biro jodoh futuristik yang menakutkan. Lalu, apa gunanya jantung kalau semua sudah diprogram?”

Anya terdiam sejenak. “Jantung itu impulsif, irasional. Ia bisa membuatmu melakukan hal-hal bodoh, memilih orang yang salah. Algoritma ini akan meminimalisir risiko patah hati.”

Selama berbulan-bulan, Anya tenggelam dalam proyeknya. Ia menyaring jutaan profil kencan online, menganalisis pola komunikasi, dan membaca ratusan buku tentang psikologi dan hubungan. Algoritma itu tumbuh semakin kompleks, semakin presisi. Ia menamakannya "Cupid.AI".

Suatu malam, setelah berjam-jam berkutat dengan kode, Cupid.AI akhirnya selesai. Anya merasa bangga sekaligus takut. Ia menjalankan program itu, memasukkan data dirinya sebagai subjek uji. Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.

Layar menampilkan hasilnya: Kompatibilitas 98%. Nama yang terpampang di sana adalah Ethan. Seorang insinyur robotika, berwawasan luas, dan memiliki selera humor yang… unik. Anya melihat foto Ethan. Ia tampan, dengan senyum yang tulus dan mata yang berbinar.

Anya merasa aneh. Ia tidak pernah merasa tertarik pada seseorang berdasarkan data. Biasanya, ia lebih mengandalkan intuisi, getaran pertama. Tapi, Cupid.AI sudah menganalisis segala kemungkinan, dan hasilnya adalah Ethan.

Ia memutuskan untuk menghubungi Ethan. Mereka bertukar pesan, berbicara tentang pekerjaan, hobi, dan impian mereka. Anya terkejut menemukan banyak kesamaan di antara mereka. Ethan mengerti obsesinya terhadap teknologi, dan Anya menghargai kecintaannya pada robotika.

Setelah beberapa minggu, mereka memutuskan untuk bertemu. Kencan pertama mereka berjalan lancar. Ethan lucu, cerdas, dan perhatian. Anya merasa nyaman di dekatnya. Ia mulai berpikir, mungkin saja Cupid.AI benar. Mungkin saja cinta memang bisa diprediksi.

Namun, seiring berjalannya waktu, Anya mulai merasakan sesuatu yang hilang. Hubungannya dengan Ethan terasa… datar. Semuanya terlalu sempurna, terlalu terprediksi. Tidak ada kejutan, tidak ada ketegangan, tidak ada drama.

Suatu malam, saat mereka makan malam di sebuah restoran mewah, Ethan memberikan Anya sebuah kalung berlian. “Cupid.AI bilang, ini adalah hadiah yang paling sesuai dengan seleramu,” ujarnya sambil tersenyum.

Anya terdiam. Ia menatap kalung itu, lalu menatap Ethan. Hatinya terasa kosong. Ia sadar, Cupid.AI telah menghilangkan esensi dari cinta: spontanitas, ketidakpastian, dan gairah.

“Ethan,” kata Anya pelan. “Aku… aku tidak bisa.”

Ethan mengerutkan kening. “Tidak bisa? Apa maksudmu?”

“Kita tidak bisa melanjutkan ini. Aku… aku tidak merasakan apa-apa.”

Ethan tampak bingung. “Tapi… Cupid.AI bilang kita sangat cocok. Kita memiliki kesamaan nilai, preferensi, dan…”

“Aku tahu,” potong Anya. “Tapi itu tidak cukup. Aku tidak ingin hubungan yang diprogram. Aku ingin merasakan sesuatu yang nyata.”

Anya bangkit dari kursinya dan meninggalkan Ethan yang terpaku di meja. Ia berjalan keluar restoran, air mata mulai membasahi pipinya. Ia merasa bersalah, telah menyia-nyiakan waktu Ethan. Tapi, ia tahu ia telah membuat keputusan yang tepat.

Kembali di apartemennya, Anya menghapus Cupid.AI. Ia merasa lega sekaligus sedih. Ia telah menciptakan algoritma yang sempurna, tetapi ia telah kehilangan hatinya dalam prosesnya.

Rio datang keesokan harinya, melihat ekspresi Anya yang lelah. “Bagaimana kencanmu dengan robot idaman?” tanyanya sambil tersenyum mengejek.

Anya menggelengkan kepala. “Aku mematikannya. Aku menyadari bahwa cinta itu bukan tentang data, melainkan tentang koneksi yang tidak bisa dijelaskan. Tentang getaran, tentang perasaan yang membuat jantungmu berdebar kencang.”

Rio mengangguk. “Aku tahu itu sejak awal. Kamu terlalu pintar untuk percaya pada omong kosong itu.”

Anya tersenyum tipis. “Mungkin aku memang bodoh. Tapi setidaknya, aku sudah belajar satu hal: jantung tidak bisa digantikan oleh algoritma.”

Ia menatap keluar jendela, ke arah kota yang ramai. Ia tahu, pencarian cintanya masih panjang. Tapi kali ini, ia akan mengikuti kata hatinya, bukan program komputer. Ia akan membiarkan jantungnya yang memilih, meskipun itu berarti risiko patah hati. Karena, pada akhirnya, cinta yang tulus adalah cinta yang berani mengambil risiko. Cinta yang tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan, tetapi selalu, selalu layak untuk diperjuangkan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI