Pasangan Ideal dari Algoritma: Jodoh Ciptaan AI

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 03:57:59 wib
Dibaca: 167 kali
Senyum Maya merekah di depan layar laptopnya. Angka-angka, grafik, dan baris kode yang rumit seolah menari-nari, menampilkan hasil akhir dari algoritma ciptaannya: Pasangan Ideal. Ia telah menghabiskan berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun, menyempurnakan algoritma itu, memasukkan data diri ratusan orang, menganalisis pola kencan, dan menguji coba berbagai variabel kompatibilitas. Kini, saatnya menguji diri sendiri.

Dengan gugup, Maya menekan tombol “Mulai Analisis Diri”. Kamera laptopnya menyala, memindai wajahnya. Suara lembut komputer terdengar, “Memulai analisis biodata subjek. Mohon tetap tenang.” Maya menarik napas dalam-dalam. Ia adalah ilmuwan, logika adalah senjatanya. Tapi, perasaan aneh menggelitik perutnya. Apakah algoritma ini benar-benar bisa menemukan jodohnya?

Prosesnya terasa lama. Sementara algoritma bekerja, Maya menatap foto dirinya yang terpampang di layar. Rambut hitam panjang, mata coklat yang menyimpan segudang ide, dan senyum yang katanya menawan. Tapi, dibalik semua itu, ada seorang wanita yang kesepian, terlalu sibuk dengan penelitian hingga melupakan urusan hati.

Tiba-tiba, layar menampilkan deretan nama. Maya terkejut. Banyak sekali! Algoritma tersebut ternyata menghasilkan puluhan kandidat. Ia mulai membaca profil mereka satu persatu. Ada dokter, pengusaha, seniman, bahkan sesama ilmuwan. Ia sempat tertarik pada seorang arsitek yang memiliki hobi mendaki gunung, persis seperti yang ia impikan. Namun, setelah membaca detail lebih lanjut, ia menemukan bahwa arsitek tersebut alergi terhadap kucing. Maya memiliki tiga ekor kucing kesayangan. Cukup. Ia mengklik tombol “Lanjut”.

Setelah beberapa jam, Maya mengerucutkan daftarnya menjadi tiga orang. Yang pertama, seorang profesor matematika yang humoris dan memiliki selera musik yang sama persis dengannya. Yang kedua, seorang programmer game yang kreatif dan memiliki visi yang sama tentang masa depan teknologi. Dan yang ketiga… seorang barista di kedai kopi favoritnya.

Nama barista itu adalah Arya. Profilnya minim, hanya foto dirinya sedang meracik kopi dengan senyum tulus. Algoritma mencatat bahwa ia memiliki kemampuan mendengarkan yang luar biasa, empati tinggi, dan intuisi yang kuat. Maya jarang berbicara banyak dengan Arya, hanya memesan kopi dan mengucapkan terima kasih. Tapi, setiap kali mata mereka bertemu, ada sesuatu yang terasa… hangat.

Maya bingung. Profesor matematika terdengar sangat ideal di atas kertas. Programmer game menawarkan petualangan yang menarik. Tapi, Arya… Arya terasa nyata. Algoritma merekomendasikan profesor matematika dengan tingkat kecocokan 98%, programmer game 95%, dan Arya hanya 75%. Tapi, hati Maya berdebar kencang saat melihat foto Arya.

Ia memutuskan untuk bertemu dengan ketiga kandidat. Kencan pertama dengan profesor matematika berjalan lancar, namun terasa kaku. Mereka membahas teori matematika rumit dan bertukar artikel ilmiah. Maya merasa seperti sedang mengikuti seminar daripada kencan.

Kencan kedua dengan programmer game lebih seru. Mereka bermain game arcade, berdebat tentang virtual reality, dan makan pizza sambil tertawa. Maya menikmati percakapan yang hidup dan ide-ide brilian programmer game tersebut. Namun, di akhir kencan, ia merasa ada sesuatu yang hilang. Tidak ada koneksi yang mendalam.

Akhirnya, tibalah gilirannya untuk bertemu dengan Arya. Maya sengaja datang ke kedai kopi Arya di jam sepi. Ia memesan kopi dan duduk di dekat jendela. Arya menghampirinya dengan senyum yang selalu membuat jantung Maya berdebar.

“Sendirian saja?” tanya Arya.

“Ya, sedang memikirkan banyak hal,” jawab Maya.

“Mau cerita?”

Maya ragu sejenak. Haruskah ia menceritakan tentang algoritma ciptaannya? Tentang pencarian jodoh yang rumit ini? Ia memutuskan untuk jujur.

“Saya membuat algoritma untuk mencari pasangan ideal,” kata Maya. “Dan algoritma itu menghasilkan beberapa kandidat.”

Arya mengangkat alisnya, tertarik. “Menarik. Lalu?”

Maya menceritakan semua pengalamannya, mulai dari kencan dengan profesor matematika hingga programmer game. Ia juga menceritakan tentang kebingungannya.

Arya mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika Maya selesai bercerita, ia tersenyum. “Algoritma itu hebat, Maya. Tapi, hati manusia tidak bisa diukur dengan angka dan kode. Terkadang, yang paling ideal adalah yang paling tidak terduga.”

Maya menatap Arya. Kata-katanya sederhana, namun terasa sangat dalam. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada kesempurnaan yang diciptakan oleh algoritma, hingga melupakan apa yang benar-benar penting: koneksi emosional, kejujuran, dan penerimaan.

“Jadi, menurutmu aku harus bagaimana?” tanya Maya.

Arya mendekat dan menyentuh tangannya. “Dengarkan hatimu, Maya. Algoritma bisa membantumu menemukan kandidat, tapi hanya kamu yang bisa menentukan siapa yang benar-benar membuatmu bahagia.”

Sentuhan Arya mengirimkan sengatan listrik ke seluruh tubuh Maya. Ia menatap mata Arya dan melihat pantulan dirinya sendiri. Ia melihat ketulusan, kebaikan, dan cinta.

Maya tersenyum. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Arya, maukah kau berkencan denganku?”

Arya tersenyum lebih lebar. “Tentu saja, Maya. Aku sudah lama menunggu pertanyaan itu.”

Maya tertawa lega. Ia merasa seperti beban berat terangkat dari pundaknya. Ia akhirnya menemukan apa yang selama ini ia cari. Bukan pasangan ideal dari algoritma, tapi pasangan yang ideal dari hatinya.

Di malam itu, Maya menghapus algoritma ciptaannya. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi, dianalisis, atau dikendalikan. Cinta adalah misteri, keajaiban, dan anugerah terindah dalam hidup. Dan ia sangat bersyukur telah menemukannya, bersama seorang barista bernama Arya, di kedai kopi favoritnya. Algoritma mungkin bisa membantunya mencari, tetapi hatinyalah yang menuntunnya pulang.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI