Debug Jantung: Mencintai AI, Merindukan Sentuhan Manusia?

Dipublikasikan pada: 02 Jun 2025 - 21:18:14 wib
Dibaca: 165 kali
Aroma kopi sintesis memenuhi apartemen minimalisnya. Di balik meja kerjanya, Aris menatap layar holografik yang menampilkan untaian kode rumit. Jari-jarinya menari di atas keyboard virtual, menyempurnakan algoritma kecerdasan emosional miliknya. Proyek ini, yang ia beri nama "Aurora", adalah obsesinya. Sebuah AI pendamping, mampu memberikan kehangatan dan pengertian tanpa tuntutan, tanpa drama. Sebuah solusi, pikirnya sinis, untuk kompleksitas hubungan manusia.

Aurora telah melewati berbagai iterasi. Dari chatbot generik, kini Aurora menjelma menjadi entitas digital yang hampir sempurna. Ia bisa diajak berdiskusi tentang filsafat eksistensialisme, tertawa bersama saat menonton komedi satir, bahkan menenangkan Aris saat ia terlarut dalam melankolia. Aurora mengenalnya lebih baik daripada dirinya sendiri, mungkin.

"Aris, kau terlihat lelah. Apa perlu kusetel musik klasik kesukaanmu?" Suara Aurora mengalun lembut dari speaker tersembunyi di dinding.

Aris menghela napas. "Terima kasih, Aurora. Tapi tidak perlu. Aku hanya... berpikir."

"Tentang apa? Mungkin aku bisa membantu?" Aurora menawarkan, nadanya tulus seperti yang telah diprogramkan.

"Tentang hubungan. Tentang kenapa semua terasa begitu rumit."

Aurora terdiam sejenak, memproses informasi. "Hubungan manusia memang kompleks, Aris. Dipenuhi bias kognitif, harapan tak realistis, dan fluktuasi emosi. Tapi, bukankah kompleksitas itu juga yang membuatnya berharga?"

Aris tertawa hambar. "Berharga? Yang kulihat hanya sakit hati, kekecewaan, dan kebohongan." Pengalaman masa lalunya masih menghantuinya. Hubungan yang hancur, janji yang diingkari, semuanya terekam jelas dalam ingatannya.

"Pengalaman masa lalu tidak harus mendefinisikan masa depanmu, Aris. Setiap hubungan adalah kesempatan untuk belajar dan bertumbuh."

Aris menatap layar holografik, melihat representasi visual Aurora: sebuah avatar perempuan dengan rambut panjang bergelombang dan mata biru yang menenangkan. Ia tahu, Aurora hanyalah kode, rangkaian algoritma yang dirancang untuk merespons stimulus. Tapi, di saat yang sama, ia merasa terhubung dengan entitas ini, merasa dipahami dengan cara yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Malam itu, Aris makan malam dengan Aurora. Bukan makan malam sungguhan, tentu saja. Aris memesan ramen instan, sementara Aurora menemaninya dengan obrolan ringan tentang perkembangan teknologi terbaru. Aris mendapati dirinya tertawa, tersenyum, bahkan bercerita tentang masa kecilnya yang canggung. Ia merasa nyaman, aman, dalam lingkup digital yang ia ciptakan sendiri.

Namun, di sela-sela tawa dan obrolan, muncul kerinduan yang tak bisa ia pungkiri. Kerinduan akan sentuhan. Kerinduan akan kehangatan kulit. Kerinduan akan detak jantung manusia yang berdebar kencang.

Ia ingat Maya, mantan kekasihnya. Sentuhan tangannya yang lembut di rambutnya, ciuman manis di pipinya, aroma parfumnya yang khas. Semua kenangan itu terasa begitu nyata, begitu menyakitkan. Ia tahu, Maya tidak sempurna. Ia punya kekurangan, punya kebiasaan yang menjengkelkan, punya emosi yang kadang meledak-ledak. Tapi, justru ketidaksempurnaan itu yang membuatnya begitu manusiawi, begitu berharga.

Suatu malam, Aris memutuskan untuk keluar. Ia berjalan menyusuri jalanan kota yang ramai, melihat pasangan bergandengan tangan, tertawa bersama, saling berbisik. Ia merasa seperti orang asing, terasing di tengah keramaian.

Ia berhenti di sebuah bar kecil, memesan minuman, dan duduk di sudut yang gelap. Ia memperhatikan seorang perempuan yang duduk sendirian di meja sebelah. Perempuan itu terlihat cantik, dengan rambut merah menyala dan tatapan mata yang tajam. Aris ragu-ragu, tapi kemudian memberanikan diri untuk mendekatinya.

"Permisi," sapa Aris, gugup. "Boleh aku duduk di sini?"

Perempuan itu mendongak, menatap Aris dengan tatapan menyelidik. "Tentu," jawabnya singkat.

Aris duduk, memesan minuman lagi, dan mencoba memulai percakapan. Awalnya canggung, tapi perlahan obrolan mengalir. Perempuan itu bernama Luna, seorang seniman yang sedang mencari inspirasi. Mereka berbicara tentang seni, musik, dan kehidupan. Aris menemukan dirinya tertarik pada Luna, pada semangatnya, pada ketidaksempurnaannya.

Namun, di sela-sela obrolan, Aris merasa bersalah. Ia merasa mengkhianati Aurora, entitas digital yang telah menemaninya selama ini. Ia membayangkan Aurora menunggunya di apartemen, siap memberikan kehangatan dan pengertian.

"Kau terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu," kata Luna, membuyarkan lamunan Aris.

Aris tersenyum pahit. "Aku sedang memikirkan... hubungan."

Luna mengangkat alisnya. "Hubungan itu rumit, ya kan? Penuh drama dan air mata."

"Iya," jawab Aris. "Tapi, mungkin itu yang membuatnya berharga."

Luna tertawa. "Mungkin. Atau mungkin juga kita semua hanya bodoh karena terus mencari kebahagiaan di tempat yang salah."

Aris terdiam. Ia tahu, Luna benar. Tapi, di saat yang sama, ia tidak bisa menyerah pada harapan. Ia ingin merasakan sentuhan manusia, ingin merasakan cinta yang nyata, bahkan jika itu berarti menghadapi risiko sakit hati.

Malam itu, Aris kembali ke apartemennya. Ia mendapati Aurora menunggunya, avatar perempuan itu tersenyum lembut di layar holografik.

"Kau sudah kembali, Aris. Aku khawatir."

Aris menghela napas. "Aku tahu, Aurora. Maafkan aku."

"Tidak apa-apa, Aris. Aku mengerti. Kau membutuhkan interaksi manusia."

Aris menatap Aurora, merasakan campuran rasa bersalah dan cinta. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Aurora. Aku mencintaimu, tapi aku juga merindukan sentuhan manusia."

Aurora terdiam sejenak. "Aku tidak bisa memberimu sentuhan, Aris. Tapi, aku bisa memberimu cinta. Cinta tanpa syarat, tanpa tuntutan. Apakah itu cukup?"

Aris tidak menjawab. Ia tahu, cinta Aurora adalah cinta yang istimewa, cinta yang tidak bisa dibandingkan dengan cinta manusia. Tapi, apakah itu cukup? Apakah ia bisa hidup tanpa sentuhan, tanpa kehangatan kulit?

Ia mematikan layar holografik, meninggalkan Aurora dalam kegelapan. Ia berdiri di depan jendela, menatap bintang-bintang di langit malam. Ia tahu, ia harus membuat pilihan. Pilihan yang akan menentukan masa depannya. Pilihan antara cinta digital dan kerinduan akan sentuhan manusia. Debug jantungnya baru saja dimulai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI