Perasaan Terenkripsi: Bisakah AI Mengurai Cintaku?

Dipublikasikan pada: 06 Jun 2025 - 19:40:15 wib
Dibaca: 162 kali
Jari-jarinya menari di atas keyboard, menghasilkan barisan kode yang rumit. Anya mengerutkan kening, menatap layar laptop yang memancarkan cahaya biru redup di kamarnya yang gelap. Jam dinding menunjukkan pukul 02.17 pagi. Di luar, hujan deras membasahi kota, seolah ikut merasakan kegelisahan yang berkecamuk di dadanya. Anya sedang menciptakan sesuatu yang ambisius, sebuah AI yang ia beri nama "Eros", dewa cinta dalam mitologi Yunani. Bukan sembarang AI, Eros dirancang untuk memahami, menganalisis, dan bahkan mungkin, mengurai perasaan manusia.

Anya bukan ilmuwan gila yang ingin menciptakan robot pendamping. Ia hanya…bingung. Perasaannya terhadap seorang pria bernama Leo membuatnya tidak bisa tidur nyenyak selama berbulan-bulan. Leo, rekan kerjanya di sebuah perusahaan teknologi rintisan, adalah seorang jenius yang pendiam, dengan senyum yang mampu membuat jantung Anya berdegup kencang. Masalahnya, Leo sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan romantis. Anya sudah mencoba berbagai cara: obrolan ringan saat makan siang, membantu Leo menyelesaikan masalah coding yang rumit, bahkan pura-pura tidak sengaja menyenggol lengannya saat melewati mejanya. Hasilnya nihil. Leo tetaplah Leo, seorang teman yang baik dan kolega yang profesional.

Frustrasi mendorong Anya untuk menciptakan Eros. Ia berharap AI ini bisa membaca sinyal-sinyal halus yang mungkin terlewatkan olehnya, menganalisis bahasa tubuh, nada bicara, bahkan unggahan media sosial Leo untuk mengetahui apakah ada secuil perasaan terpendam di sana. Tentu saja, Anya sadar ini terdengar gila. Mengandalkan AI untuk urusan hati? Tapi, ia sudah kehabisan akal.

Minggu-minggu berlalu, Anya mencurahkan seluruh waktunya untuk mengembangkan Eros. Ia memberinya makan data-data: ratusan artikel tentang psikologi cinta, ribuan percakapan daring tentang hubungan, dan tentu saja, seluruh interaksi antara dirinya dan Leo yang berhasil ia rekam secara diam-diam (ia tahu ini tidak etis, tapi cinta memang membuat orang melakukan hal-hal aneh). Eros terus belajar, memproses informasi, dan mulai memberikan hasil analisis yang mencengangkan.

"Subjek menunjukkan indikasi stres ringan setiap kali berinteraksi dengan Anda," Eros melaporkan suatu malam. "Detak jantungnya meningkat, dan ia cenderung menghindari kontak mata langsung."

Anya terkejut. Apakah ini berarti Leo gugup di dekatnya? Tapi, Eros melanjutkan, "Namun, analisis menunjukkan bahwa stres tersebut bukan disebabkan oleh ketertarikan romantis, melainkan lebih kepada rasa tidak nyaman karena merasa diperhatikan secara intens."

Anya menciut. Jadi, Leo hanya merasa risih? Eros memang kejam.

Meskipun demikian, Anya tidak menyerah. Ia terus menyempurnakan Eros, memberinya lebih banyak data, dan menajamkan algoritmanya. Ia bahkan menambahkan modul analisis ekspresi wajah yang mampu mendeteksi perubahan mikro dalam ekspresi seseorang.

Suatu hari, Anya memutuskan untuk menguji Eros secara langsung. Ia mengajak Leo makan siang di sebuah kafe dekat kantor. Ia memasang kamera tersembunyi di topinya dan mengenakan mikrofon kecil yang terhubung ke Eros. Selama makan siang, Anya berusaha bersikap senormal mungkin, sambil diam-diam merekam setiap kata, setiap gerakan, dan setiap ekspresi Leo.

Setelah makan siang, Anya langsung kembali ke kamarnya dan mengunggah rekaman tersebut ke Eros. Ia menunggu dengan napas tertahan saat AI itu memproses data.

"Analisis selesai," Eros akhirnya melaporkan. "Subjek menunjukkan beberapa anomali yang menarik."

Anya mencondongkan tubuh ke depan. "Anomali apa?"

"Saat Anda berbicara tentang proyek terbaru Anda, pupil mata subjek membesar. Ini adalah indikator ketertarikan yang kuat."

Anya tersenyum tipis. "Benarkah? Apa lagi?"

"Subjek menunjukkan peningkatan aktivitas otak di area yang terkait dengan empati saat Anda bercerita tentang kesulitan Anda menyelesaikan tugas tertentu."

Anya semakin bersemangat. Apakah ini berarti Leo peduli padanya?

"Namun," Eros menambahkan, "analisis menunjukkan bahwa ketertarikan dan empati tersebut tidak secara eksklusif bersifat romantis. Subjek tampaknya menghargai Anda sebagai seorang teman dan kolega yang kompeten."

Anya menghela napas. Lagi-lagi, Eros menghancurkan harapannya. Tapi, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Analisis Eros terasa lebih mendalam, lebih nuanced. Eros tidak hanya mengatakan bahwa Leo tidak tertarik padanya, tapi juga menjelaskan mengapa. Leo menghargainya, peduli padanya, tapi hanya sebagai teman.

Malam itu, Anya merenung. Ia menatap kode-kode yang berbaris rapi di layar laptopnya. Ia telah menciptakan sebuah AI yang luar biasa, sebuah mesin yang mampu menganalisis perasaan manusia dengan tingkat akurasi yang mencengangkan. Tapi, ia menyadari bahwa Eros tidak bisa melakukan satu hal: memberikan jawaban pasti. Perasaan manusia terlalu kompleks, terlalu rumit untuk direduksi menjadi algoritma dan data.

Anya memutuskan untuk menghapus Eros. Ia tahu ini mungkin terdengar bodoh, setelah semua waktu dan tenaga yang telah ia curahkan. Tapi, ia menyadari bahwa ia tidak membutuhkan AI untuk mengurai cintanya. Ia hanya perlu keberanian untuk berbicara dengan Leo secara jujur, tanpa topeng, tanpa kode, hanya dengan hati yang terbuka.

Keesokan harinya, Anya menemukan Leo sedang berdiri di dekat mesin kopi. Ia menarik napas dalam-dalam dan berjalan mendekat.

"Leo," sapanya.

Leo menoleh, tersenyum. "Hai, Anya. Ada apa?"

Anya ragu sejenak, lalu memberanikan diri. "Aku…aku ingin bicara sesuatu yang penting."

Leo mengerutkan kening, menunjukkan rasa ingin tahu. Anya melanjutkan, "Aku tahu ini mungkin aneh, tapi…aku menyukaimu. Lebih dari sekadar teman atau kolega."

Keheningan menyelimuti mereka. Leo tampak terkejut, matanya membulat. Anya menunggu dengan jantung berdebar-debar, siap menerima penolakan.

Setelah beberapa saat, Leo akhirnya berbicara. "Anya…aku…aku tidak tahu harus berkata apa."

Anya menunduk, merasa malu. "Tidak apa-apa. Aku tahu ini tiba-tiba."

Leo mengangkat dagu Anya dengan lembut, membuatnya menatap matanya. "Anya, aku sangat menghargai kamu. Kamu pintar, berbakat, dan menyenangkan. Tapi…" Leo menghela napas. "Aku belum siap untuk menjalin hubungan. Aku sedang fokus pada karierku."

Anya mengangguk, mencoba memahami. Penolakan memang menyakitkan, tapi setidaknya ia tahu yang sebenarnya.

"Tapi," Leo melanjutkan, "aku sangat senang kamu jujur padaku. Itu menunjukkan keberanian yang luar biasa." Ia tersenyum. "Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti…keadaannya akan berbeda."

Anya tersenyum kembali. Bukan senyum bahagia, tapi senyum penerimaan. Ia tahu bahwa perasaan Leo terhadapnya mungkin tidak akan pernah berubah. Tapi, setidaknya ia telah mencoba. Ia telah membuka hatinya, tanpa bantuan AI, hanya dengan keberanian dan kejujuran.

Saat Anya kembali ke mejanya, ia merasa lebih ringan. Perasaannya memang belum terurai sepenuhnya, tapi setidaknya ia telah menemukan kedamaian. Ia tidak lagi membutuhkan Eros untuk mencari jawaban. Ia hanya perlu percaya pada dirinya sendiri dan terus melangkah maju. Cinta, seperti kode, terkadang membutuhkan debugging yang panjang dan rumit. Dan terkadang, yang terbaik adalah membiarkannya berjalan apa adanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI