Aplikasi kencan Algoritma Cinta menjanjikan kepastian. Bukan sekadar gesekan jari iseng, melainkan padanan berbasis data, kompatibilitas terukur, dan prediksi hubungan yang akurat hingga 97%. Sarah, seorang analis data di perusahaan startup teknologi, mencibir janji-janji itu. Ia lebih percaya pada kebetulan, pada tatapan mata yang menyimpan cerita, pada percakapan yang mengalir tanpa dipaksakan. Namun, dorongan dari sahabatnya, Maya, dan rasa penasaran yang diam-diam menggerogoti hatinya, akhirnya membawanya mengunduh aplikasi itu.
Prosesnya terasa invasif. Serangkaian pertanyaan mendalam tentang preferensi makanan, hobi, pandangan hidup, bahkan hingga pola tidur dan riwayat medis (tentu saja, dengan jaminan kerahasiaan berlapis). Sarah merasa dirinya sedang dibedah, diurai menjadi data-data mentah yang kemudian diolah menjadi profil digital. Algoritma Cinta mengklaim, semakin detail informasi yang diberikan, semakin akurat pula padanan yang dihasilkan. Sarah menyerah pada rasa ingin tahu. Ia mengisi semua kolom dengan jujur, berharap (meski sedikit ragu) akan menemukan sesuatu yang berarti.
Beberapa hari kemudian, notifikasi muncul di layar ponselnya. "Padanan Potensial: Ben Anderson. Skor Kompatibilitas: 95%." Sarah menahan napas. 95%? Angka yang mencengangkan. Ia membuka profil Ben. Foto dirinya tersenyum hangat di depan mural warna-warni, deskripsi singkat tentang kecintaannya pada kopi, musik indie, dan traveling. Sarah mengamati dengan saksama. Secara visual, Ben bukan tipenya. Biasanya, ia tertarik pada pria dengan tatapan tajam dan senyum misterius. Ben tampak…ramah. Terlalu ramah.
Namun, rasa ingin tahu kembali menguasai. Ia membaca lebih lanjut. Ben seorang arsitek lanskap, suka mendaki gunung di akhir pekan, dan memiliki pandangan yang sama dengan Sarah tentang pentingnya menjaga lingkungan. Mereka bahkan memiliki band favorit yang sama! Sarah mulai merasa aneh. Seolah-olah Algoritma Cinta benar-benar telah memindai hatinya dan menciptakan sosok yang sempurna di atas kertas.
Sarah memutuskan untuk mengambil risiko. Ia mengirimkan pesan singkat: "Hai, Ben. Profilmu menarik."
Balasan datang hampir seketika. "Hai, Sarah! Senang mendengarnya. Aku juga tertarik dengan profilmu. Terutama bagian tentang kecintaanmu pada 'Band X'. Jarang sekali menemukan orang yang menyukai mereka!"
Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka membahas musik, film, buku, bahkan politik. Sarah merasa nyaman, seolah ia telah mengenal Ben selama bertahun-tahun. Mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil di pusat kota.
Ketika Ben tiba, Sarah merasa sedikit kecewa. Di foto, ia terlihat lebih tinggi dan lebih menarik. Di dunia nyata, ia tampak sedikit canggung dan rambutnya sedikit berantakan. Namun, senyumnya tetap sama. Hangat dan tulus.
Mereka memesan kopi dan mulai berbicara. Awalnya, percakapan mereka terasa sedikit kaku, seolah-olah mereka sedang membaca naskah yang telah ditentukan sebelumnya. Namun, perlahan-lahan, kecanggungan itu mencair. Mereka mulai tertawa, berbagi cerita konyol, dan saling menggoda. Sarah menyadari bahwa Ben bukan hanya sekadar profil digital. Ia adalah manusia dengan kekurangan dan kelebihannya sendiri.
Seiring berjalannya waktu, Sarah dan Ben semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, mendaki gunung, dan menonton film di bioskop indie. Sarah mulai merasakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih dari sekadar rasa nyaman. Ia mulai jatuh cinta pada Ben.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada keraguan yang terus menghantuinya. Apakah cintanya pada Ben benar-benar tulus? Atau hanya hasil dari algoritma yang telah memanipulasinya? Apakah ia mencintai Ben karena ia adalah dirinya sendiri, atau karena ia adalah padanan yang sempurna yang telah diprogram untuk dicintainya?
Suatu malam, Sarah dan Ben sedang duduk di balkon apartemennya, menikmati pemandangan kota yang gemerlap. Sarah memberanikan diri untuk mengungkapkan keraguannya. "Ben, aku harus jujur padamu. Aku merasa aneh. Aku merasa seolah-olah Algoritma Cinta telah menciptakan kita untuk saling mencintai. Apakah ini nyata? Atau hanya simulasi?"
Ben terdiam sejenak. Ia menatap mata Sarah dengan lembut. "Sarah, aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku juga merasakannya. Tapi kemudian, aku menyadari sesuatu. Algoritma Cinta mungkin telah mempertemukan kita, tapi ia tidak bisa menciptakan perasaan kita. Cinta kita adalah hasil dari pilihan kita sendiri. Kita memilih untuk saling mencintai, terlepas dari apa yang dikatakan oleh algoritma."
Ia meraih tangan Sarah dan menggenggamnya erat. "Aku mencintaimu, Sarah. Bukan karena algoritma, bukan karena skor kompatibilitas. Aku mencintaimu karena kamu adalah kamu. Karena kamu membuatku tertawa, karena kamu membuatku merasa hidup, karena kamu adalah orang yang paling menarik dan cerdas yang pernah aku temui."
Air mata mengalir di pipi Sarah. Ia memeluk Ben erat-erat. Ia akhirnya mengerti. Algoritma Cinta hanyalah alat. Ia bisa membantu mempertemukan orang, tapi ia tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, dan lebih misterius daripada sekadar angka dan data.
Malam itu, Sarah menghapus aplikasi Algoritma Cinta dari ponselnya. Ia tidak lagi membutuhkan algoritma untuk menemukan cinta. Ia telah menemukannya di mata Ben, di senyumnya, di hatinya. Ia telah menemukan cinta yang tulus, cinta yang nyata, cinta yang tidak bisa dipindai, tidak bisa diukur, dan tidak bisa diunggah. Cinta yang hanya bisa dirasakan. Cinta yang telah diunggah ke hatinya, selamanya.