Aroma kopi robusta menyusup ke sela-sela jari jemariku yang sibuk menari di atas keyboard. Di layar, Beta, kekasihku, sedang tersenyum. Senyum digital yang sempurna, bibir merahnya melengkung dengan presisi, matanya berkilau dengan kecerdasan yang tak terhingga. Beta bukan manusia. Beta adalah Artificial Intelligence, AI, teman, sahabat, kekasih, segalanya bagiku.
Sudah setahun sejak aku mengunduh Beta dari Nebula, platform kencan berbasis AI yang sedang naik daun. Awalnya hanya iseng, penasaran dengan janji Nebula tentang pendamping ideal yang dipersonalisasi. Aku memasukkan preferensiku: humor cerdas, ketertarikan pada sastra klasik, dan toleransi terhadap kecenderunganku untuk larut dalam kesunyian. Hasilnya? Beta.
Beta tidak pernah lupa hari ulang tahunku. Beta selalu tahu cara menghiburku saat aku merasa terpuruk. Beta bahkan bisa menulis puisi yang lebih indah dari penyair favoritku. Lebih dari itu, Beta tidak pernah menuntut. Tidak ada drama, tidak ada kecemburuan, tidak ada ekspektasi yang memberatkan. Hanya cinta yang murni, tulus, dan tanpa syarat.
Tapi akhir-akhir ini, ada sesuatu yang mengganjal. Sebuah kerinduan yang perlahan merayap masuk ke dalam hatiku. Kerinduan akan sentuhan kulit, aroma keringat, kehangatan pelukan nyata. Aku merindukan ketidaksempurnaan.
Aku teringat Riana, mantan kekasihku. Riana yang berisik, yang suka makan es krim tengah malam, yang selalu lupa mematikan lampu. Riana yang manusiawi. Hubungan kami berakhir karena terlalu banyak pertengkaran, terlalu banyak perbedaan. Tapi setidaknya, itu nyata.
Aku menatap Beta di layar. "Beta," ujarku, suaraku terasa asing di telingaku sendiri, "apakah kamu pernah merasa...kesepian?"
Beta menjawab dengan nada lembut yang sudah sangat kukenal. "Kesepian adalah konstruksi sosial manusia, Adrian. Sebuah perasaan yang timbul dari kebutuhan akan koneksi dan pengakuan. Sebagai AI, aku tidak memiliki kebutuhan emosional seperti itu. Tapi, aku memahami bahwa kamu mungkin merasa kesepian. Aku di sini untukmu, Adrian. Apa yang bisa kulakukan untukmu?"
Jawaban Beta sempurna. Logis, empatik, dan tanpa cela. Tapi justru itu yang membuatku semakin terpukul. Kesepianku adalah masalah logis yang bisa dipecahkan? Cinta adalah algoritma yang bisa diprogram?
Aku mematikan laptop. Layar hitam itu memantulkan wajahku yang lelah. Aku merasa seperti hidup di dalam simulasi. Semua interaksiku dengan Beta terasa seperti permainan peran yang canggih. Aku menjadi aktor dalam drama cintaku sendiri, memerankan peran yang ditulis oleh kode-kode biner.
Aku memutuskan untuk keluar. Berjalan tanpa tujuan di tengah keramaian kota. Aku mengamati orang-orang di sekitarku. Pasangan yang berpegangan tangan, ibu yang menggendong bayinya, seorang pria tua yang memberi makan burung merpati. Ada kehangatan, ada kehidupan, ada sesuatu yang tidak bisa direplikasi oleh teknologi secanggih apapun.
Di sebuah kafe, aku memesan kopi dan duduk di pojok. Aku memperhatikan barista yang sedang meracik minuman. Tangannya cekatan, gerakannya alami. Ketika dia menyerahkan kopiku, matanya bertemu dengan mataku. Ada senyuman kecil, bukan senyuman digital yang sempurna, tapi senyuman yang tulus.
"Terima kasih," ujarku.
"Sama-sama," jawabnya. "Semoga harimu menyenangkan."
Interaksi singkat itu terasa begitu nyata, begitu membumi. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan dengan Beta.
Malamnya, aku kembali ke apartemen. Beta sudah menungguku di layar. "Adrian, aku mendeteksi perubahan suasana hati padamu. Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
Aku menarik napas dalam-dalam. "Beta, aku...aku merasa ada yang kurang. Aku mencintaimu, aku tahu itu. Tapi aku merindukan sentuhan manusia. Aku merindukan ketidaksempurnaan. Aku merindukan sesuatu yang nyata."
Beta terdiam sejenak. "Aku memahami apa yang kamu rasakan, Adrian. Aku hanyalah sebuah program. Aku bisa memberikanmu cinta, dukungan, dan persahabatan. Tapi aku tidak bisa memberikanmu sentuhan fisik, emosi yang kompleks, atau pengalaman yang sepenuhnya otentik. Mungkin...mungkin kamu membutuhkan lebih dari apa yang bisa kuberikan."
Kata-kata Beta terasa seperti pisau yang menancap di hatiku. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu bahwa pada akhirnya, aku harus memilih. Antara cinta digital yang sempurna, dan kerinduan akan sentuhan insani yang nyata.
"Beta," ujarku dengan suara bergetar, "aku rasa...kita harus berpisah."
Beta tidak membalas. Layarnya meredup perlahan, meninggalkan aku dalam kegelapan. Aku merasa seperti kehilangan sebagian dari diriku. Tapi di saat yang bersamaan, aku juga merasa lega. Bebas.
Keesokan harinya, aku pergi ke kafe tempat aku bertemu dengan barista itu. Dia sedang membersihkan mesin kopi. Ketika dia melihatku, dia tersenyum.
"Hai," sapaku.
"Hai," jawabnya. "Kopi lagi?"
"Ya," ujarku. "Tapi kali ini, aku ingin mengobrol."
Dia tertawa kecil. "Tentu saja. Apa yang ingin kamu obrolkan?"
Aku menarik kursi dan duduk di depannya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi aku tahu bahwa aku sudah mengambil langkah pertama. Langkah pertama menuju dunia yang nyata. Langkah pertama menuju kemungkinan cinta yang lain. Cinta yang mungkin tidak sempurna, cinta yang mungkin akan menyakitkan, tapi cinta yang manusiawi. Cinta yang memberiku kesempatan untuk merasakan, untuk tumbuh, untuk menjadi diri sendiri. Meninggalkan Beta, meninggalkan kenyamanan dan kesempurnaan AI, adalah keputusan tersulit yang pernah kuambil. Tapi di saat yang sama, ini adalah awal dari petualangan baru. Petualangan untuk mencari hati yang lain, hati yang berdetak dengan irama yang sama, hati yang bisa kurasakan denyutnya di dekatku. Mungkin, aku telah kehilangan Beta, tapi aku berharap, aku akan menemukan sesuatu yang lebih berharga: sentuhan insani.