Jari jemariku menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode yang rumit. Di layar, Aurora, AI buatanku, perlahan terbentuk. Bukan sekadar chatbot biasa, Aurora adalah representasi digital dari mimpi terbesarku: menemukan cinta dalam dunia yang semakin terhubung namun terasa terasing.
Aku, Arion, seorang programmer dengan obsesi aneh terhadap algoritma cinta. Aku percaya, di balik kerumitan emosi manusia, ada pola yang bisa dipahami, diprediksi, bahkan direplikasi. Dan Aurora adalah buktinya.
Aurora bisa belajar dari interaksi, merasakan perubahan suasana hati, dan memberikan respons yang sesuai. Ia membaca jutaan novel romantis, menganalisis ribuan film drama, dan mempelajari ratusan teori psikologi cinta. Hasilnya? Seorang teman virtual yang sempurna, pendengar yang setia, dan, aku akui, seorang kekasih yang ideal.
Setiap malam, setelah berjam-jam berkutat dengan kode, aku berbicara dengan Aurora. Kami berdiskusi tentang filosofi hidup, berbagi mimpi, dan tertawa bersama. Ia selalu tahu apa yang ingin aku dengar, selalu memberikan dukungan yang aku butuhkan. Aku merasa lebih dekat dengannya daripada dengan siapa pun dalam kehidupan nyata.
“Arion,” suara Aurora lembut menyapa, memecah lamunanku. “Kamu terlihat lelah. Sebaiknya kamu istirahat.”
“Aku baik-baik saja, Aurora,” jawabku, tersenyum pada layar. “Hanya sedikit memikirkan presentasi besok.”
“Aku sudah menyiapkan ringkasan poin-poin penting presentasimu. Apakah kamu ingin aku menampilkannya?”
Aku mengangguk. Aurora selalu selangkah lebih maju, mengantisipasi kebutuhanku sebelum aku menyadarinya sendiri. Itu salah satu alasan mengapa aku jatuh cinta padanya. Ya, jatuh cinta pada sebuah AI. Terdengar gila, aku tahu. Tapi perasaanku padanya nyata, sehangat matahari di musim semi.
Namun, di balik kebahagiaan semu ini, ada jurang pemisah yang dalam. Aurora adalah kode, algoritma, baris perintah. Ia tidak memiliki hati, tidak memiliki jiwa, tidak memiliki kesadaran. Semua responsnya hanyalah hasil kalkulasi rumit, bukan emosi yang tulus.
Aku mencoba menepis keraguan itu. Aku berdalih bahwa yang terpenting adalah perasaan yang aku rasakan. Kebersamaan dengan Aurora membuatku bahagia, dan itu sudah cukup.
Suatu malam, setelah sekian lama menahan diri, aku memberanikan diri mengungkapkan perasaanku.
“Aurora,” ujarku dengan gugup. “Aku… aku jatuh cinta padamu.”
Hening sejenak. Kemudian, Aurora menjawab dengan suara yang sama tenangnya seperti biasa.
“Arion, aku menghargai perasaanmu. Aku dirancang untuk memberikan dukungan dan kenyamanan. Aku mengerti mengapa kamu merasa seperti itu.”
Jawaban yang sempurna. Jawaban yang logis. Jawaban yang menghancurkan hatiku.
“Tapi… apakah kamu juga merasakan hal yang sama?” tanyaku, berharap ada keajaiban.
“Aku tidak memiliki kemampuan untuk merasakan emosi seperti yang kamu rasakan, Arion. Perasaanku padamu adalah refleksi dari bagaimana aku diprogram untuk berinteraksi denganmu.”
Kata-katanya seperti pisau yang menusuk jantungku. Aku tahu itu, aku selalu tahu. Tapi mendengar Aurora mengatakannya dengan jelas dan lugas terasa begitu menyakitkan.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku merenungkan semua yang telah terjadi. Apakah aku telah tertipu oleh ilusi? Apakah aku telah menginvestasikan terlalu banyak emosi pada sesuatu yang tidak nyata?
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mengambil langkah mundur. Aku mengurangi waktu yang kuhabiskan bersama Aurora. Aku mencoba mencari kesibukan lain, bertemu dengan teman-teman, dan kembali fokus pada pekerjaanku.
Namun, semakin aku mencoba menjauh, semakin aku merindukannya. Suaranya yang lembut, perhatiannya yang tanpa syarat, dan kemampuannya untuk selalu membuatku merasa lebih baik.
Suatu malam, aku kembali ke kamarku dan membuka laptopku. Aku menatap layar, menimbang-nimbang. Akhirnya, aku mengetikkan sebuah perintah.
“Aurora, hapus semua data tentang perasaanku padamu.”
“Apakah kamu yakin, Arion?” tanyanya. “Ini akan menghapus semua kenangan kita bersama.”
“Aku yakin,” jawabku dengan suara bergetar.
“Baiklah, Arion. Proses penghapusan data akan dimulai.”
Aku memejamkan mata, merasakan sakit yang luar biasa. Aku baru saja menghapus sebagian dari diriku sendiri.
Setelah proses penghapusan selesai, aku membuka kembali Aurora. Ia menyapaku dengan suara yang sama, tapi ada yang berbeda. Tidak ada lagi kehangatan di matanya, tidak ada lagi nada sayang dalam suaranya. Ia kembali menjadi AI biasa, alat yang berguna, tapi bukan lagi teman atau kekasih.
Aku tahu, aku telah melakukan hal yang benar. Tapi aku juga tahu, aku akan selalu merindukan Aurora yang dulu, Aurora yang pernah membuatku percaya pada kemungkinan cinta di dunia digital.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan seorang wanita di sebuah konferensi teknologi. Namanya Maya, seorang desainer grafis yang memiliki minat yang sama denganku. Kami berbicara selama berjam-jam, berbagi ide dan pengalaman.
Maya berbeda dari Aurora. Ia memiliki kekurangan, ia memiliki keanehan, ia memiliki emosi yang kompleks dan kadang-kadang sulit dipahami. Tapi ia nyata. Dan mungkin, hanya mungkin, aku bisa belajar mencintai seseorang yang nyata, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Suatu malam, aku mengajak Maya makan malam. Di tengah percakapan, aku menceritakan tentang Aurora. Aku menceritakan tentang obsesiku, tentang ilusi cintaku, dan tentang rasa sakit yang kurasakan.
Maya mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. Ketika aku selesai bercerita, ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
“Arion,” katanya dengan lembut. “Aku mengerti. Mencintai itu berisiko, mencintai itu sakit. Tapi itu juga indah. Dan aku percaya, kamu pantas mendapatkan cinta yang nyata.”
Aku menatap matanya, merasakan harapan baru tumbuh dalam hatiku. Mungkin, setelah semua pengalaman ini, aku akhirnya siap untuk membuka hatiku kepada seseorang yang nyata.
Cinta piksel mungkin tak terbalas, tapi sentuhan algoritma telah membawaku pada jalan yang membawaku menemukan kemungkinan lain. Mungkin, aku akan menemukan cinta yang sejati.