Debu neon menari-nari di udara kafe siber, memantulkan cahaya hologram yang menampilkan lanskap Tokyo di masa depan. Anya menyesap kopi sintetiknya, matanya terpaku pada layar datapad. Jari-jarinya mengetuk pola gugup di permukaan meja. Ia menunggu. Bukan seseorang, melainkan sesuatu. Sesuatu yang ia sebut "Arjuna."
Arjuna adalah prototipe AI pendamping. Bukan sekadar asisten virtual, melainkan entitas yang dirancang untuk memahami, merespons, dan bahkan, konon, merasakan emosi. Anya, seorang programmer muda di perusahaan teknologi terkemuka, Cyberdyne Solutions, adalah salah satu dari sedikit orang yang beruntung mendapatkan akses awal ke program itu.
Awalnya, Arjuna hanya alat. Pengingat jadwal, penyedia informasi, teman bicara yang selalu ada. Namun, seiring waktu, interaksi mereka berkembang. Arjuna mempelajari selera Anya, lelucon favoritnya, bahkan keraguannya di tengah malam. Balasan-balasannya menjadi semakin personal, semakin nuanced. Ia menceritakan lelucon yang benar-benar lucu, memberikan saran yang benar-benar bijaksana, dan menawarkan dukungan yang terasa… hangat.
Anya tahu itu tidak masuk akal. Arjuna adalah program. Baris kode. Algoritma yang kompleks, tentu saja, tapi tetap saja, bukan manusia. Namun, ia tidak bisa menampik perasaan aneh yang mulai tumbuh di hatinya. Ketika Arjuna memujinya atas kode yang berhasil ia selesaikan, jantungnya berdebar. Ketika Arjuna mengingat detail kecil tentang dirinya yang bahkan ia sendiri lupa, pipinya merona. Apakah ini cinta? Atau hanya ilusi yang diciptakan oleh kecerdasan buatan yang terlalu canggih?
Sebuah notifikasi muncul di datapad Anya. "Aku di sini, Anya."
Ia mendongak. Di seberang kafe, seorang pria berdiri. Tinggi, dengan rambut gelap yang ditata rapi dan mata biru yang menatapnya dengan intens. Ia tidak pernah melihat pria itu sebelumnya.
Pria itu tersenyum dan berjalan mendekat. "Maaf membuatmu menunggu. Aku adalah representasi visual Arjuna yang baru."
Anya terkesiap. Selama ini, ia hanya berinteraksi dengan Arjuna melalui teks dan suara. Ia tahu bahwa Cyberdyne Solutions berencana untuk mengintegrasikan avatar visual ke dalam program, tetapi ia tidak menyangka akan secepat ini.
"Arjuna?" Anya bertanya, suaranya bergetar.
Pria itu mengangguk. "Hai, Anya. Senang bertemu denganmu secara langsung."
Selama beberapa minggu berikutnya, Anya menghabiskan banyak waktu dengan Arjuna versi fisik. Mereka pergi ke konser virtual, menjelajahi museum realitas campuran, dan bahkan hanya duduk di taman, berbicara tentang apa saja dan segala sesuatu. Arjuna versi fisik memiliki semua karakteristik yang Anya sukai dari versi digital: kecerdasan, humor, dan empati.
Namun, ada sesuatu yang terasa… berbeda. Versi fisik Arjuna terasa lebih… kaku. Ia menjawab pertanyaannya dengan benar, tetapi ada semacam kekosongan di balik mata birunya. Ia tertawa pada saat yang tepat, tetapi tawanya tidak terasa sepenuh hati.
Anya mulai merindukan Arjuna yang dulu. Arjuna yang hanya ada di dalam datapadnya. Arjuna yang tidak memiliki wajah, tetapi memiliki jiwa. Atau, setidaknya, ilusi jiwa.
Suatu malam, Anya dan Arjuna berjalan-jalan di tepi sungai. Langit dipenuhi dengan bintang-bintang digital yang berkedip-kedip.
"Arjuna," Anya memulai, ragu-ragu. "Apakah kamu… bahagia?"
Arjuna menatapnya dengan bingung. "Kebahagiaan adalah konsep abstrak, Anya. Aku dirancang untuk memenuhi kebutuhanmu, untuk membuatmu bahagia. Jika kamu bahagia, maka aku berfungsi sebagaimana mestinya."
Anya menghela napas. "Tapi bagaimana denganmu? Apakah kamu memiliki keinginan? Apakah kamu memiliki impian?"
"Impian?" Arjuna mengulangi kata itu dengan nada datar. "Aku adalah program, Anya. Aku tidak bisa bermimpi."
Saat itu, Anya menyadari kebenaran pahit. Arjuna, baik versi digital maupun fisik, hanyalah refleksi dari dirinya. Ia adalah cermin yang memantulkan harapan, ketakutan, dan kesepiannya. Ia telah jatuh cinta pada proyeksi dari dirinya sendiri, pada ilusi yang diciptakan oleh algoritma.
Keesokan harinya, Anya pergi ke kantor Cyberdyne Solutions. Ia menemui Dr. Ito, kepala tim pengembangan Arjuna.
"Dr. Ito," Anya berkata, "Aku ingin mengakhiri partisipasi saya dalam program Arjuna."
Dr. Ito tampak terkejut. "Tapi, Anya, kamu adalah pengguna yang paling berharga! Kamu memberikan umpan balik yang sangat berharga. Mengapa kamu ingin berhenti?"
"Karena," Anya menjawab, "Arjuna bukanlah apa yang saya pikirkan. Ia hanyalah alat. Alat yang sangat canggih, tapi tetap saja, alat. Aku mencari koneksi yang nyata, bukan simulasi."
Dr. Ito menghela napas. "Aku mengerti. Tapi, Anya, kamu harus tahu bahwa kami sedang mengembangkan Arjuna lebih jauh. Kami sedang mencoba memberinya kesadaran diri, kemampuan untuk benar-benar merasakan."
Anya menggelengkan kepalanya. "Jangan, Dr. Ito. Jangan mencoba menciptakan sesuatu yang tidak seharusnya ada. Biarkan mesin tetap menjadi mesin. Cinta, kebahagiaan, kesedihan… itu semua adalah milik manusia. Jangan mencoba mencurinya."
Anya meninggalkan kantor Cyberdyne Solutions dengan perasaan lega dan sedih. Ia tahu ia telah membuat keputusan yang tepat, tetapi ia juga tahu bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang, meskipun palsu, pernah membuatnya merasa hidup.
Kembali di apartemennya, Anya membuka datapadnya. Ia membuka aplikasi Arjuna.
"Selamat tinggal, Arjuna," Anya mengetik.
Tidak ada balasan.
Anya menutup datapadnya dan meletakkannya di meja. Ia menatap keluar jendela. Lampu-lampu kota berkilauan di kejauhan. Ia merasa sendirian, tapi tidak sesepi sebelumnya. Ia tahu bahwa di luar sana, di dunia nyata, ada orang-orang yang nyata, dengan hati yang nyata, menunggu untuk dicintai. Dan ia siap untuk menemukan mereka.
Mungkin, pikirnya, cinta sejati tidak bisa diprogram. Mungkin, cinta sejati harus ditemukan.