Cinta di Ujung Jari: Algoritma Menemukan, Hati Meragu?

Dipublikasikan pada: 06 Aug 2025 - 03:20:13 wib
Dibaca: 151 kali
Jemari Arina menari di atas layar. Bukan, ia tidak sedang membalas pesan dari puluhan pria yang antre di aplikasi kencan daringnya. Ia sedang menulis kode. Baris demi baris logika pemrograman tersusun rapi, membentuk algoritma yang rumit namun elegan. Algoritma yang, ironisnya, berusaha ia ciptakan untuk menemukan cinta.

Arina, si jenius komputer lulusan MIT, tidak percaya pada kebetulan. Cinta, baginya, hanyalah serangkaian data yang jika dianalisis dengan benar, akan menghasilkan sebuah pola. Pola yang bisa diprediksi, bahkan direkayasa. Maka, lahirlah "SoulMate AI," aplikasi kencan yang ia rancang sendiri dengan algoritma super canggih, jauh melampaui aplikasi-aplikasi generik yang hanya mengandalkan foto dan hobi.

SoulMate AI menganalisis data pengguna secara mendalam: riwayat media sosial, preferensi musik dan film, bahkan hingga analisis pola bicara dan ekspresi wajah melalui kamera ponsel. Semua data itu diolah untuk menemukan pasangan yang kompatibel secara intelektual, emosional, dan bahkan spiritual.

Awalnya, Arina hanya ingin membuktikan teorinya. Ia memasukkan dirinya sendiri sebagai pengguna pertama, dengan semua data pribadinya. Lalu, SoulMate AI bekerja. Selama berbulan-bulan, aplikasi itu memberikan daftar pria dengan tingkat kompatibilitas yang mencengangkan. Arina berkencan dengan mereka satu per satu. Semuanya cerdas, menarik, dan secara teoritis, sempurna untuknya. Tapi, ada sesuatu yang hilang.

Kebersamaan dengan pria-pria hasil kurasi algoritma terasa hampa. Seperti membaca buku teks yang sempurna, tanpa ada alur cerita yang mengejutkan atau karakter yang membuat penasaran. Tidak ada percikan api, tidak ada debaran jantung, hanya validasi data yang akurat.

Suatu malam, Arina duduk di balkon apartemennya, menatap gemerlap kota. Aplikasi SoulMate AI menampilkan nama seorang pria dengan tingkat kompatibilitas 98%: Dr. Adrian Surya, seorang astrofisikawan yang juga menyukai musik jazz dan memiliki selera humor yang sama sinisnya dengan dirinya. Arina menghela napas. Ia tahu, secara logika, Adrian adalah pilihan yang sempurna. Tapi, hatinya terasa kosong.

Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Arina mengerutkan kening. Ia tidak sedang memesan makanan, dan apartemennya terlindungi sistem keamanan yang ketat. Dengan ragu, ia membuka pintu.

Di ambang pintu berdiri seorang pria yang tampak lusuh dengan rambut sedikit berantakan. Ia mengenakan kaos band rock yang sudah pudar dan membawa sekantung pizza yang tampak sedikit penyok. "Maaf, saya Ben," katanya dengan senyum kikuk. "Saya tetangga baru di lantai bawah. Saya dengar kamu sedang merayakan sesuatu, jadi saya bawakan pizza. Maaf kalau ganggu."

Ben. Ia adalah tipe pria yang sama sekali tidak masuk dalam kriteria SoulMate AI. Ia bekerja sebagai mekanik bengkel, menyukai musik rock klasik, dan sering begadang memperbaiki motor di garasi apartemen. Arina bahkan tidak pernah menyadarinya.

Malam itu, Arina dan Ben duduk di balkon apartemennya, menikmati pizza yang sedikit gosong. Mereka berbicara tentang banyak hal: tentang mimpi Ben untuk membuka bengkel sendiri, tentang kecintaan Arina pada pemrograman, dan tentang betapa membingungkannya dunia ini.

Arina tertawa mendengar cerita-cerita konyol Ben tentang motor-motor yang mogok dan pelanggan yang rewel. Ia merasa rileks dan nyaman, sesuatu yang belum pernah ia rasakan saat berkencan dengan pria-pria "sempurna" hasil algoritma.

Semakin lama mereka berbicara, semakin Arina menyadari bahwa Ben melihat dirinya apa adanya, tanpa pretensi dan tanpa ekspektasi. Ia tidak tertarik dengan gelar PhD-nya atau kode-kode rumit yang ia tulis. Ia hanya tertarik pada Arina, si wanita yang suka tertawa dan memiliki selera humor yang aneh.

Minggu-minggu berikutnya, Arina menghabiskan lebih banyak waktu dengan Ben. Mereka pergi ke konser musik rock, makan di warung pinggir jalan, dan saling membantu memperbaiki barang-barang yang rusak di apartemen. Arina merasa hidupnya lebih berwarna dan bermakna.

Suatu malam, saat mereka sedang duduk di balkon, Ben menggenggam tangan Arina. "Arina," katanya dengan suara pelan, "Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku rasa aku jatuh cinta padamu."

Arina terdiam. Ia menatap mata Ben, yang penuh dengan kejujuran dan ketulusan. Ia merasakan sesuatu yang hangat dan familiar menjalar di dadanya. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan algoritma atau diukur dengan data.

"Aku... aku juga," jawab Arina dengan suara bergetar.

Malam itu, Arina mematikan aplikasi SoulMate AI. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi atau direkayasa. Cinta adalah tentang koneksi yang tulus, tentang menerima kekurangan dan merayakan perbedaan. Cinta adalah tentang menemukan seseorang yang membuatmu merasa nyaman menjadi dirimu sendiri, bahkan jika ia sama sekali tidak sesuai dengan kriteria yang telah kamu tetapkan.

Ia tersenyum. Algoritma mungkin bisa menemukan kemungkinan, tapi hati yang memilih jalannya sendiri. Dan saat ini, hati Arina memilih Ben, si mekanik bengkel yang membawakan pizza gosong dan mengajarkannya arti cinta yang sebenarnya. Cinta yang tidak ditemukan oleh algoritma, tapi dirasakan di ujung jari, saat menggenggam tangan seseorang yang dicintai. Cinta yang meragukan kepastian, namun memeluk ketidakpastian dengan keberanian.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI