Udara kafe digital itu beraroma kopi dan kebingungan. Jari-jariku menari di atas keyboard, kode-kode rumit berjatuhan seperti air terjun digital. Aku, Aris, seorang programmer freelancer, sedang berusaha memecahkan enkripsi terkuat yang pernah kulihat. Targetnya? Sistem keamanan aplikasi kencan "Soulmate AI," aplikasi yang konon bisa menemukan jodoh sejati berdasarkan algoritma kecerdasan buatan super canggih.
Tujuanku bukan mencari cinta. Bukan sama sekali. Aku hanya penasaran. Terlalu banyak orang percaya pada kekuatan algoritma, menyerahkan hati mereka pada kode-kode dingin yang tak berperasaan. Aku ingin membuktikan bahwa sistem itu rapuh, bisa ditembus, bahkan dimanipulasi.
Setelah berminggu-minggu bergulat dengan barisan kode yang panjangnya tak terhingga, akhirnya aku berhasil. Aku menembus inti Soulmate AI. Pintu gerbang ke data pengguna, algoritma pencocokan, dan bahkan, jantung dari aplikasi itu sendiri: modul emosi.
Awalnya, aku hanya mengutak-atik data profil. Aku mengubah riwayat minat, preferensi, dan hobi beberapa pengguna secara acak. Dampaknya lucu. Seorang pecinta kucing tiba-tiba disodorkan profil anjing bulldog yang garang. Seorang vegetarian sejati dipasangkan dengan seorang pemilik restoran steak. Kekacauan kecil.
Tapi kemudian, aku tergoda.
Ada satu profil yang selalu muncul di rekomendasi aplikasi itu. Namanya, Lintang. Foto profilnya menampilkan senyum yang menenangkan, mata yang penuh dengan rasa ingin tahu, dan deskripsi diri yang sederhana namun menggugah. Dia seorang ilustrator lepas, menyukai buku-buku klasik, dan mendambakan percakapan yang bermakna.
Tanpa sadar, aku mulai mengubah algoritmaku. Alih-alih hanya meretas data acak, aku mulai mengarahkan algoritma untuk mempertemukanku dengan Lintang. Aku memanipulasi kriteria pencarian, mengubah preferensinya agar sesuai dengan diriku, dan bahkan memodifikasi respons emotif AI untuk memastikan dia merasa tertarik padaku.
Rasanya seperti bermain Tuhan, menciptakan takdir sendiri. Menjijikkan, tapi juga... adiktif.
Tak lama kemudian, Lintang mengirimiku pesan.
"Hai Aris, profilmu menarik. Mungkin kita bisa ngobrol?"
Jantungku berdebar kencang. Aku merasa menang, tapi juga merasa bersalah. Aku telah mencurangi sistem, memaksa seseorang untuk menyukaiku berdasarkan kebohongan digital.
Kami mulai berkirim pesan setiap hari. Obrolan kami mengalir lancar, membahas buku, film, musik, dan mimpi-mimpi kami. Lintang adalah orang yang cerdas, sensitif, dan memiliki selera humor yang unik. Aku benar-benar menikmati percakapan kami.
Perasaan bersalahku mulai mereda. Aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku hanya memberikan sedikit dorongan, memuluskan jalan bagi takdir untuk bekerja. Toh, kami benar-benar cocok, kan?
Beberapa minggu kemudian, kami memutuskan untuk bertemu. Lintang datang ke kafe digital itu, tempatku pertama kali merencanakan semua ini. Saat matanya bertemu dengan mataku, aku merasakan sengatan listrik. Dia lebih cantik dari fotonya.
Malam itu, kami berbicara berjam-jam. Aku menceritakan tentang pekerjaanku, tentang hobiku, tentang masa kecilku. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian, mengajukan pertanyaan cerdas, dan menanggapi dengan empati. Kami tertawa, berbagi cerita, dan menemukan banyak kesamaan.
Aku jatuh cinta padanya. Sungguh.
Namun, di balik kebahagiaan itu, bayangan ketakutan terus menghantuiku. Aku tahu bahwa semua ini dibangun di atas fondasi kebohongan. Bagaimana jika Lintang tahu kebenaran? Bagaimana jika dia tahu bahwa perasaannya telah dimanipulasi oleh algoritma yang aku sendiri buat?
Aku berusaha keras untuk menjadi diriku sendiri, untuk menunjukkan padanya siapa aku sebenarnya. Aku berhenti meretas Soulmate AI. Aku ingin hubungan ini menjadi nyata, dibangun di atas dasar kejujuran dan kepercayaan.
Tapi terlambat.
Suatu malam, saat kami sedang makan malam romantis, Lintang menatapku dengan mata berkaca-kaca.
"Aris," katanya dengan suara bergetar, "aku tahu."
Duniaku runtuh.
"Tahu apa?" aku bertanya dengan gugup, meskipun aku sudah tahu jawabannya.
"Aku tahu tentang Soulmate AI," jawabnya. "Aku tahu kamu meretas sistemnya dan memanipulasi perasaanku."
Aku terdiam. Tidak ada yang bisa kukatakan. Kebohonganku telah terungkap.
Lintang melanjutkan, "Awalnya aku marah. Aku merasa dikhianati, dipermainkan. Aku pikir semua yang kita rasakan palsu, rekayasa algoritma."
"Tapi kemudian..." dia menarik napas dalam-dalam, "aku mulai berpikir. Algoritma itu hanya membukakan pintu. Kamulah yang memilih untuk berjalan melaluinya. Kamulah yang membuatku tertawa, membuatku merasa dihargai, membuatku merasa dicintai. Perasaan yang kumiliki padamu, Aris, itu nyata. Terlepas dari apa yang terjadi."
Air mata mengalir di pipiku. Aku tidak pantas mendapatkan pengampunannya.
"Tapi..." Lintang melanjutkan, "ada satu hal yang tidak bisa kumaafkan."
Aku menunduk, menunggu hukuman.
"Kamu meretas Soulmate AI, tapi kamu tidak meretas hatiku," katanya dengan suara tegas. "Kamu memalsukan perasaanku, tapi kamu tidak bisa memalsukan cinta. Cinta itu harus diperjuangkan, Aris. Bukan direkayasa."
Dia bangkit dari kursinya.
"Selamat tinggal, Aris," katanya. "Semoga kamu menemukan cinta yang nyata, yang tidak perlu diretas."
Lintang pergi, meninggalkanku sendirian di tengah restoran yang ramai. Aku telah kehilangan segalanya. Bukan hanya cinta, tapi juga kepercayaan. Aku telah mencuri hatinya dan memalsukannya, dan sebagai ganjarannya, aku kehilangan kesempatan untuk mendapatkan cintanya yang sejati. Algoritma mungkin bisa menemukan jodoh, tapi algoritma tidak bisa menciptakan cinta. Cinta itu lahir dari kejujuran, kepercayaan, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri. Aku telah belajar pelajaran yang sangat mahal. Dan aku takut, luka ini akan membekas selamanya.