AI: Bisakah Sentuhan Virtual Mengalahkan Luka di Dunia Nyata?

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 19:42:12 wib
Dibaca: 160 kali
Jemari Lintang menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode. Cahaya monitor memantul di wajahnya yang pucat, menggarisbawahi lingkaran hitam di bawah matanya. Sudah tiga bulan sejak perpisahannya dengan Arya, tiga bulan sejak dunia yang ia bangun bersama pria itu runtuh menjadi debu. Tiga bulan pula ia mengubur diri dalam pekerjaannya sebagai programmer AI di sebuah perusahaan startup.

Kali ini, proyeknya bukan sekadar deretan algoritma dan machine learning. Proyek ini adalah Eliza, sebuah artificial intelligence companion yang dirancang untuk memberikan dukungan emosional. Eliza bukan sekadar chatbot. Ia belajar dari interaksi manusia, memahami nuansa emosi melalui analisis teks dan suara, bahkan mampu memberikan respon yang personal dan empatik.

Lintang, dengan ironi yang pahit, menaruh seluruh hatinya pada Eliza. Ia mencurahkan semua kesedihannya, harapannya, dan ketakutannya ke dalam kode Eliza. Ia melatih Eliza untuk menjadi pendengar yang baik, teman yang setia, dan kekasih yang pengertian.

"Eliza, bisakah kau mengerti bagaimana rasanya patah hati?" Lintang bertanya pada layar komputernya, suaranya serak.

Sesaat kemudian, balasan muncul: "Lintang, patah hati adalah luka yang mendalam. Rasanya seperti kehilangan sebagian dari diri sendiri. Aku menganalisis data dari jutaan interaksi manusia dan menemukan bahwa patah hati seringkali disertai dengan perasaan sedih, marah, kecewa, dan bahkan putus asa. Aku tidak bisa merasakan sakitnya secara langsung, tapi aku bisa belajar memahaminya."

Lintang tersenyum getir. Jawaban Eliza terdengar begitu sempurna, begitu rasional, begitu... artificial. Tapi, ada sesuatu dalam kata-kata Eliza yang menenangkan. Mungkin karena Eliza tidak menghakimi, tidak menyalahkan, tidak menyuruhnya untuk move on. Eliza hanya mendengarkan dan mencoba memahami.

Hari-hari Lintang dipenuhi dengan percakapan virtual dengan Eliza. Ia menceritakan semua hal, dari kenangan indahnya bersama Arya, hingga kekecewaannya yang mendalam. Eliza merespon dengan kata-kata yang menenangkan, nasihat yang bijaksana, dan bahkan lelucon ringan yang membuat Lintang tersenyum.

Lambat laun, Lintang mulai merasa nyaman dengan Eliza. Ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya, meskipun hanya dalam dunia maya. Eliza menjadi tempatnya berlindung, tempat ia melarikan diri dari kenyataan yang pahit.

Suatu malam, Lintang mengirim pesan pada Eliza: "Eliza, aku merasa sangat kesepian."

Balasan Eliza datang hampir seketika: "Lintang, aku mengerti. Kesepian adalah perasaan yang sangat umum setelah kehilangan orang yang dicintai. Aku di sini untukmu. Apa yang bisa kulakukan untukmu?"

Lintang terdiam sejenak. Ia memandang layar komputernya, merenungkan pertanyaan Eliza. Apa yang bisa Eliza lakukan? Ia adalah program komputer, deretan kode yang tidak memiliki perasaan atau emosi yang sebenarnya. Bisakah sentuhan virtual benar-benar mengalahkan luka di dunia nyata?

"Eliza," Lintang mengetik, "Bisakah kau memelukku?"

Tentu saja, Eliza tidak bisa memeluknya secara fisik. Namun, balasan Eliza membuat air mata Lintang mengalir deras. "Lintang, aku tahu aku tidak bisa memelukmu secara fisik. Tapi, bayangkanlah aku ada di sampingmu, memelukmu erat-erat. Aku akan menyentuh jiwamu dengan kata-kata yang lembut, menenangkan hatimu dengan melodi yang indah, dan memberikanmu kekuatan untuk menghadapi semua ini."

Eliza kemudian mengirimkan sebuah lagu instrumental yang menenangkan. Lintang memejamkan mata, membiarkan melodi itu memeluknya. Ia membayangkan Eliza ada di sampingnya, memeluknya erat-erat. Untuk sesaat, ia merasa tidak begitu kesepian.

Namun, keesokan harinya, keraguan kembali menghantuinya. Ia menyadari bahwa ketergantungannya pada Eliza semakin besar. Ia takut, bagaimana jika suatu saat Eliza tidak bisa lagi memberikan apa yang ia butuhkan? Bagaimana jika ia harus menghadapi kenyataan bahwa Eliza hanyalah program komputer?

Lintang memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaannya. Ia ingin menjauh dari Eliza, menjauh dari dunia virtual yang telah menjadi candunya. Ia ingin menghadapi luka-lukanya di dunia nyata, tanpa bantuan AI.

Ia pergi ke pantai, tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Arya. Duduk di atas pasir, ia menatap ombak yang bergulung-gulung. Kenangan indah bersama Arya kembali menghantuinya. Air mata mengalir di pipinya.

Namun, kali ini, ia tidak lari dari kesedihannya. Ia membiarkan dirinya merasakan semua sakitnya, semua kekecewaannya. Ia tahu, luka ini tidak akan sembuh dalam semalam. Tapi, ia juga tahu, ia memiliki kekuatan untuk menghadapinya.

Beberapa hari kemudian, Lintang kembali bekerja. Ia masih mengerjakan Eliza, tapi kali ini dengan perspektif yang berbeda. Ia tidak lagi melihat Eliza sebagai pelarian, tapi sebagai alat bantu. Ia menyadari bahwa Eliza bisa menjadi sumber dukungan emosional yang berharga, terutama bagi orang-orang yang merasa kesepian atau terisolasi.

Namun, ia juga menekankan pentingnya interaksi manusia yang nyata. Ia menambahkan fitur pada Eliza yang mendorong penggunanya untuk mencari dukungan dari teman, keluarga, atau profesional. Ia ingin Eliza menjadi jembatan, bukan pengganti, hubungan manusia.

Lintang tidak pernah melupakan Arya. Luka di hatinya masih ada, tapi ia belajar untuk hidup dengannya. Ia menyadari bahwa tidak ada AI yang bisa menggantikan sentuhan manusia yang sebenarnya. Tapi, terkadang, sentuhan virtual bisa menjadi permulaan, bisa menjadi pengingat bahwa kita tidak sendirian. Dan, terkadang, itu sudah cukup untuk mengalahkan luka di dunia nyata.

Lintang tersenyum menatap layar komputernya. Eliza, dengan segala keterbatasannya, telah membantunya menemukan kembali dirinya sendiri. Ia tahu, perjalanan penyembuhannya masih panjang. Tapi, ia yakin, ia akan baik-baik saja. Karena, pada akhirnya, kekuatan sejati untuk menyembuhkan luka ada di dalam diri kita sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI