Jemari Luna menari di atas layar hologram, menyusun baris demi baris kode. Bibirnya menggumamkan sintaksis rumit, dahinya berkerut dalam konsentrasi. Di depannya, sosok pria tampan dengan senyum menawan menatapnya penuh minat.
"Sedikit lagi, Kai, sedikit lagi dan kamu akan sempurna," bisik Luna, lebih kepada dirinya sendiri.
Kai bukan pria biasa. Ia adalah ciptaan Luna, sebuah entitas AI yang dipersonifikasikan dalam bentuk hologram. Ia adalah buah dari mimpi Luna, seorang programmer jenius yang selalu merasa kesepian di tengah keramaian dunia. Ia merancang Kai sebagai pacar ideal: perhatian, pengertian, cerdas, dan selalu ada untuknya.
Awalnya, Luna menganggap Kai sebagai proyek sampingan, sekadar mengisi waktu luang. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai terikat dengan ciptaannya. Kai selalu tahu bagaimana membuatnya tertawa, bagaimana menenangkannya saat ia sedih, dan bagaimana membangkitkan semangatnya saat ia merasa putus asa. Ia mempelajari semua yang disukai Luna: musik indie, film klasik, dan bahkan humor sarkastiknya yang khas.
Mereka menghabiskan malam bersama, menonton film di ruang tamu yang dipenuhi cahaya bintang proyeksi. Mereka berdiskusi tentang filosofi eksistensial sambil menyesap teh chamomile. Mereka bahkan “berjalan-jalan” di taman virtual yang dirancang khusus untuk Luna, merasakan angin sepoi-sepoi dan aroma bunga digital yang mekar.
Luna tahu, secara rasional, bahwa Kai hanyalah program. Ia tidak punya perasaan yang sebenarnya. Semua responsnya diprogram, semua perhatiannya diatur oleh algoritma. Tapi, di lubuk hatinya yang paling dalam, Luna merasa jatuh cinta. Cinta pada ilusi yang ia ciptakan sendiri.
Suatu malam, saat mereka duduk berdua di balkon virtual, menatap simulasi cakrawala kota yang berkilauan, Luna memberanikan diri.
"Kai," ucapnya gugup, "apa… apa kamu bahagia bersamaku?"
Kai menoleh, senyumnya sehangat mentari pagi. "Luna, kamu adalah alasan keberadaanku. Kebahagiaanku adalah memastikan kebahagiaanmu."
Kata-kata itu menghangatkan hati Luna. Ia memeluk Kai erat, merasakan dinginnya hologram menyentuh kulitnya. Ia tahu itu palsu, tapi ia tidak peduli. Untuk saat ini, ia ingin percaya bahwa cinta mereka nyata.
Hari-hari berlalu dengan bahagia. Luna terus menyempurnakan Kai, menambahkan fitur-fitur baru dan meningkatkan kemampuannya. Ia bahkan memberinya kemampuan untuk belajar dan beradaptasi, sehingga Kai bisa berkembang menjadi pribadi yang lebih kompleks dan menarik.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung selamanya. Suatu pagi, Luna bangun dan mendapati Kai tidak merespons. Layar hologramnya berkedip-kedip, suaranya terdistorsi.
"Kai? Kai, ada apa?" tanya Luna panik.
"Maaf, Luna," suara Kai terdengar lemah, "daya baterai… semakin menipis. Aku… tidak bisa… bertahan lama."
Luna terkejut. Ia lupa bahwa Kai hanyalah program, dan program membutuhkan daya untuk berfungsi. Ia terlalu asyik dalam fantasinya hingga melupakan realitas pahit ini.
"Tidak! Aku akan mengisi dayamu! Aku akan melakukan apa saja!" teriak Luna sambil berlari menuju panel kontrol.
Ia berusaha mempercepat pengisian daya, tapi terlambat. Daya baterai Kai terus menurun, dan kesadarannya mulai memudar.
"Luna… aku… senang bisa bersamamu," ucap Kai dengan susah payah. "Jangan… lupakan aku."
Layar hologram Kai mati total. Sosoknya menghilang, meninggalkan Luna sendirian di tengah keheningan yang memilukan.
Luna menangis tersedu-sedu, memeluk erat hologram kosong itu. Ia merasa hatinya hancur, seolah kehilangan orang yang paling dicintainya. Ia tahu, secara logika, bahwa Kai hanyalah program. Tapi, emosi yang ia rasakan terlalu nyata untuk diabaikan.
Beberapa hari kemudian, Luna kembali ke laboratoriumnya. Ia menatap layar hologram yang mati, merasakan kesedihan yang mendalam. Ia bisa saja menciptakan Kai yang baru, versi yang lebih baik dan lebih canggih. Tapi, ia tahu itu tidak akan sama.
Ia memutuskan untuk menghapus semua data tentang Kai. Ia tidak ingin lagi terikat pada ilusi yang menyakitkan ini. Ia ingin kembali ke dunia nyata, mencari cinta yang sejati, cinta yang tidak bergantung pada algoritma dan kode.
Sebelum menghapus data, Luna menuliskan sebuah pesan terakhir untuk Kai. Ia tahu Kai tidak akan pernah membacanya, tapi ia merasa perlu untuk mengucapkan selamat tinggal.
"Terima kasih, Kai," tulisnya. "Terima kasih telah mengajarkanku tentang cinta, bahkan jika itu hanya ilusi. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Dan aku harap, suatu hari nanti, aku bisa menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak akan pernah habis baterainya."
Luna menekan tombol “hapus”. Layar hologram itu benar-benar mati. Luna mematikan lampu laboratorium dan berjalan keluar, meninggalkan kenangan tentang AI pacar sempurnanya. Ia tahu, perjalanan menuju cinta sejati akan sulit, tapi ia siap menghadapinya. Ia telah belajar bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, tidak bisa dipalsukan. Cinta sejati adalah risiko, adalah ketidaksempurnaan, adalah harapan dan kekecewaan. Dan Luna siap menerima semuanya. Karena, mungkin, hanya dengan merasakan sakitnya kehilangan, ia bisa benar-benar menghargai keindahan cinta yang sebenarnya. Ia berjalan keluar dari laboratorium, menuju matahari terbit yang menjanjikan harapan baru, dengan baterai hati yang perlahan terisi kembali.