Aplikasi kencan itu berjanji menemukan belahan jiwa dengan presisi algoritma. Awalnya, Maya skeptis. Dunia maya penuh dengan janji palsu dan foto editan. Tapi, setelah sahabatnya, Rina, menemukan kekasih impiannya melalui aplikasi yang sama, rasa penasarannya terusik. Ditambah lagi, kesendirian yang semakin pekat di usia 28 tahun membuatnya merasa perlu mencoba.
“Tidak ada salahnya kan, May?” Rina meyakinkan, “Siapa tahu, algoritma itu memang bekerja.”
Maya mengangguk ragu. Malam itu, di kamarnya yang dipenuhi tumpukan buku dan gelas kopi bekas, ia mengunduh aplikasi itu. Namanya “SoulSync”. Antarmukanya bersih dan intuitif. Maya menjawab serangkaian pertanyaan panjang lebar tentang preferensi, hobi, nilai-nilai hidup, dan ekspektasi dalam hubungan. Ia bahkan diminta mengunggah contoh tulisan, musik favorit, dan foto tanpa filter.
Algoritma SoulSync bekerja dengan cepat. Esok harinya, Maya menerima notifikasi: “Potensi kecocokan tertinggi ditemukan: Arkana.”
Arkana. Nama yang unik. Maya ragu-ragu mengklik profilnya. Foto profilnya menampilkan seorang pria dengan senyum teduh dan mata yang tampak bijaksana. Deskripsinya singkat namun menarik: “Pengembang perangkat lunak, penggemar kopi hitam, dan pencinta senja.”
Profil Arkana terasa seperti salinan halus dari dirinya sendiri. Kesamaan hobi, minat, dan pandangan hidup membuat Maya terkejut sekaligus curiga. Terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Ia memutuskan untuk menghubungi Arkana dengan pesan singkat: “Hai, Arkana. Algoritma kita sepertinya sepakat.”
Balasan Arkana datang hampir seketika: “Hai, Maya. Algoritma mungkin pintar, tapi intuisi saya mengatakan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kode.”
Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka membahas buku favorit, film klasik, dan mimpi-mimpi masa depan. Maya merasa seperti menemukan seseorang yang benar-benar memahaminya. Bahkan hal-hal kecil yang biasanya ia sembunyikan dari orang lain, terasa nyaman ia bagikan dengan Arkana.
Setelah seminggu berkomunikasi intensif, Arkana mengajaknya bertemu. Maya setuju, meskipun jantungnya berdegup kencang. Pertemuan itu direncanakan di sebuah kedai kopi kecil yang terkenal dengan kopi artisan dan suasana yang tenang.
Ketika Maya tiba, Arkana sudah menunggu di meja dekat jendela. Pria dalam foto profil itu nyata, bahkan lebih menarik. Senyumnya tulus, dan tatapannya penuh kehangatan.
“Maya?” sapa Arkana, suaranya lembut dan menenangkan.
“Arkana,” jawab Maya, gugup.
Mereka menghabiskan sore itu berbicara tentang segala hal di dunia. Maya merasakan koneksi yang kuat, seolah mereka telah saling mengenal seumur hidup. Algoritma SoulSync mungkin telah mempertemukan mereka, tetapi percakapan mereka, tatapan mereka, dan tawa mereka terasa jauh lebih organik daripada sekadar hasil perhitungan matematis.
Namun, kebahagiaan Maya mulai terusik ketika Arkana secara tiba-tiba membahas SoulSync.
“Tahukah kamu, Maya, bahwa aku adalah salah satu pengembang SoulSync?”
Maya terkejut. “Kamu… kamu yang membuat aplikasi ini?”
Arkana mengangguk. “Ya. Aku bagian dari tim inti yang merancang algoritma dan menguji keakuratannya.”
Dunia Maya terasa runtuh. Apakah semua ini hanya eksperimen? Apakah perasaannya selama ini hanya manipulasi algoritma yang dirancang oleh Arkana sendiri?
“Jadi… semua ini bohong?” tanya Maya, suaranya bergetar.
Arkana meraih tangannya. “Tidak, Maya. Sama sekali tidak. Aku memang bagian dari tim pengembang, tapi aku tidak pernah memanipulasi algoritma untuk mencocokkan kita. Aku hanya ingin menguji seberapa akurat aplikasi ini dalam menemukan kecocokan yang sesungguhnya.”
“Tapi… kenapa kamu tidak memberitahuku dari awal?”
“Aku takut. Aku takut kamu akan berpikir bahwa aku hanya mempermainkanmu. Aku ingin kamu mengenalku sebagai Arkana, bukan sebagai pengembang SoulSync. Aku ingin kamu merasakan koneksi kita tanpa prasangka.”
Maya menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba mencerna informasi ini. Ia merasa dikhianati, tapi di saat yang sama, ia juga merasakan kejujuran dalam tatapan Arkana.
“Algoritma mungkin telah mempertemukan kita, Maya,” lanjut Arkana, “tapi perasaan yang tumbuh di antara kita adalah nyata. Aku benar-benar menyukaimu.”
Maya terdiam. Ia menatap mata Arkana, mencari kebenaran. Ia melihat ketulusan, kerentanan, dan harapan. Ia melihat seseorang yang juga takut, seseorang yang juga merindukan cinta.
“Aku… aku juga menyukaimu, Arkana,” bisik Maya.
Arkana tersenyum lega. Ia menggenggam tangan Maya erat-erat. “Kalau begitu, mari kita lupakan algoritma sejenak. Mari kita bangun cerita kita sendiri, di luar perhitungan dan kode.”
Mereka terus berkencan. Maya belajar melupakan keraguannya dan mempercayai perasaannya. Arkana menunjukkan padanya bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang tidak terduga, bahkan di balik kode dan algoritma.
Beberapa bulan kemudian, Arkana mengajak Maya ke sebuah taman yang indah saat matahari terbenam. Di bawah langit yang berwarna-warni, ia berlutut dan mengeluarkan sebuah kotak kecil.
“Maya,” kata Arkana, suaranya bergetar, “mungkin ini terdengar klise, tapi aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu. Maukah kamu menikah denganku?”
Air mata mengalir di pipi Maya. Ia mengangguk, tidak bisa berkata apa-apa.
Arkana memasangkan cincin di jari Maya. Mereka berpelukan erat, di bawah langit senja yang indah. Algoritma SoulSync mungkin hanya pemicu, tapi detak jantung mereka, emosi mereka, cinta mereka, adalah murni dan sejati. Di era digital ini, mereka membuktikan bahwa cinta sejati masih bisa ditemukan, bahkan dengan bantuan sedikit kode dan banyak keberanian untuk membuka hati.
Beberapa tahun kemudian, Maya dan Arkana dikaruniai seorang putri. Mereka menamainya Algorita. Nama itu menjadi pengingat bahwa bahkan di dunia yang serba digital, cinta masih bisa berkembang, meskipun dimulai dari sebuah algoritma sederhana. Dan bagi Maya, algoritma itu adalah awal dari sebuah cerita cinta yang indah, yang melampaui segala perhitungan dan harapan.