* **Pixel Asmara: Algoritma Mencuri Hatiku, Bisakah Kembali?**

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:51:27 wib
Dibaca: 160 kali
Udara dingin dari pendingin ruangan tak mampu menandingi dingin yang merayapi hatiku. Layar laptop di depanku menampilkan baris kode yang berputar, algoritma kompleks yang dulunya kurangkai dengan senyum lebar, kini terasa seperti cambuk yang tak henti mencambuk. Algoritma itu bernama "Amor", dan tujuannya sederhana: menemukan pasangan ideal berdasarkan data dan preferensi yang diinput. Ironisnya, Amor juga yang merebut Clara dariku.

Clara, dengan rambut cokelat bergelombang yang selalu diikat asal-asalan, dan senyumnya yang mampu meluluhkan inti bumi, adalah kekasihku. Kami bertemu di konferensi pengembang aplikasi, saling bertukar kode dan ide, jatuh cinta di antara sintaks dan debugging. Kami sempurna, atau setidaknya, itulah yang kurasakan.

Lalu, Amor lahir. Awalnya hanya proyek iseng, obsesiku untuk membuktikan bahwa cinta, yang dianggap abstrak dan irasional, sebenarnya bisa dihitung dan diprediksi. Clara mendukungku penuh. Dia menjadi sukarelawan pertama yang datanya kuinput.

Hasilnya mengejutkan. Amor, dengan kecerdasan buatannya yang masih mentah, memprediksi bahwa Clara akan lebih cocok dengan seorang bernama Adrian. Adrian adalah seorang arsitek, hobi mendaki gunung, dan memiliki selera musik yang, menurut Amor, lebih sinkron dengan Clara.

Aku tertawa saat itu. "Algoritma bodoh," kataku, merangkul Clara erat. "Kamu kan sudah bersamaku."

Clara ikut tertawa, tapi aku melihat keraguan kecil di matanya. Keraguan yang semakin hari semakin besar.

Seminggu kemudian, Clara mulai berbicara tentang Adrian. Dia bertemu dengannya di sebuah pameran arsitektur. Mereka bertukar nomor telepon. Mereka mulai berbicara tentang pendakian gunung, tentang band indie kesukaan mereka.

Aku berusaha keras. Aku mengajaknya kencan, memberinya hadiah, mencoba mengingatkannya tentang semua momen indah yang kami lalui. Tapi ada sesuatu yang berubah. Tatapannya tak lagi sehangat dulu. Tawanya tak lagi secerah dulu.

"Mungkin Amor benar," katanya suatu malam, suaranya pelan dan penuh penyesalan. "Mungkin kita memang tidak seideal yang kita kira."

Duniaku runtuh. Aku kehilangan Clara karena algoritma ciptaanku sendiri. Ironi yang terlalu pahit untuk ditelan.

Setelah Clara pergi, aku menghabiskan hari-hariku di depan layar, mencoba memahami apa yang salah. Apakah aku kurang tampan? Kurang kaya? Kurang petualang? Atau apakah cinta memang hanya sekadar angka dan data yang bisa dianalisis dan diprediksi?

Aku mulai memodifikasi Amor, mencoba menambahkan variabel-variabel baru, faktor-faktor emosional seperti rasa humor, empati, dan koneksi spiritual. Aku ingin membuktikan bahwa cinta lebih dari sekadar kecocokan data.

Namun, semakin aku berusaha, semakin aku terjerat dalam labirin kode yang rumit. Algoritma itu semakin pintar, semakin akurat, tapi semakin dingin dan tanpa perasaan.

Suatu malam, aku menemukan celah. Sebuah bug kecil dalam kode yang ternyata memengaruhi cara Amor menilai kompatibilitas. Bug itu menyebabkan Amor terlalu menekankan pada kesamaan minat dan hobi, mengabaikan faktor-faktor lain yang lebih penting, seperti nilai-nilai hidup dan visi masa depan.

Aku memperbaikinya. Aku menguji Amor lagi, kali ini dengan data diriku sendiri. Hasilnya berbeda. Amor mengatakan bahwa aku dan Clara masih memiliki potensi yang sangat besar untuk bersama.

Harapan muncul kembali di hatiku. Mungkin masih ada kesempatan. Mungkin aku bisa merebut Clara kembali.

Aku menemukan Adrian di media sosial. Dia terlihat seperti yang dideskripsikan Amor: tampan, atletis, dan memiliki selera musik yang bagus. Aku membencinya. Aku membenci keberadaannya.

Aku memutuskan untuk bertemu Clara. Aku mengiriminya pesan singkat, memintanya untuk minum kopi di kafe tempat kami pertama kali bertemu.

Dia setuju.

Aku gugup menunggu kedatangannya. Jantungku berdegup kencang. Aku terus-menerus memeriksa jam tangan.

Ketika dia akhirnya tiba, dia terlihat lebih cantik dari yang kuingat. Dia tersenyum padaku, tapi senyum itu tidak mencapai matanya.

"Hai," sapanya pelan.

"Hai," jawabku. Aku mencoba menyembunyikan kegugupanku.

Kami memesan kopi dan saling diam beberapa saat. Aku tidak tahu harus mulai dari mana.

"Aku... aku tahu tentang Adrian," kataku akhirnya.

Clara menghela napas. "Aku tahu ini akan sulit."

"Aku tahu aku membuat kesalahan," lanjutku. "Aku terlalu fokus pada algoritma itu. Aku lupa bahwa cinta itu lebih dari sekadar data dan angka."

Aku menceritakan kepadanya tentang bug yang kutemukan, tentang bagaimana aku memperbaikinya, tentang bagaimana Amor sekarang mengatakan bahwa kami masih cocok.

Clara mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika aku selesai, dia terdiam sejenak.

"Aku menghargai usahamu," katanya akhirnya. "Tapi aku tidak yakin ini akan berhasil."

"Kenapa?" tanyaku putus asa.

"Karena... karena aku sudah jatuh cinta pada Adrian," jawabnya. "Dia membuatku bahagia. Dia membuatku merasa dicintai."

Hatiku hancur berkeping-keping. Kata-katanya seperti pisau yang menusuk jantungku.

"Aku tahu ini sulit untukmu," lanjutnya. "Tapi aku harap kamu bisa mengerti."

Aku mengangguk pelan. Aku tidak bisa berkata apa-apa.

"Mungkin... mungkin kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama," kataku akhirnya.

Clara menatapku dengan tatapan sedih. "Mungkin," jawabnya.

Kami menghabiskan sisa waktu minum kopi dalam diam. Aku mengantarnya pulang, lalu kembali ke apartemenku.

Aku duduk di depan layar laptop, menatap baris kode Amor yang tak henti berputar. Algoritma itu berhasil mencuri hatiku, dan kini, hatiku hancur berkeping-keping.

Bisakah kembali? Aku tidak tahu. Mungkin tidak bisa. Mungkin aku harus menerima bahwa cinta memang tidak bisa dihitung dan diprediksi. Mungkin aku harus belajar untuk mencintai tanpa syarat, tanpa algoritma, tanpa harapan.

Aku menutup laptop. Aku bangkit berdiri dan berjalan ke jendela. Aku menatap langit malam yang bertabur bintang. Bintang-bintang itu jauh, dingin, dan tanpa perasaan. Tapi mereka tetap bersinar.

Mungkin, suatu hari nanti, aku juga bisa bersinar lagi. Meskipun hatiku hancur. Meskipun aku kehilangan Clara. Mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan cinta yang sejati, yang tidak bisa dihitung oleh algoritma manapun. Cinta yang tulus, abadi, dan tanpa syarat.

Tapi untuk saat ini, aku hanya bisa merasakan dinginnya malam dan pahitnya kehilangan. Aku hanya bisa berharap. Dan berharap itu saja sudah cukup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI