Jemari Luna menari di atas keyboard virtual, merangkai kode demi kode. Di depannya, layar holografik menampilkan sosok Aerith, AI ciptaannya. Aerith bukan sekadar asisten virtual biasa. Ia dirancang dengan algoritma kompleks yang memungkinkannya belajar, beradaptasi, dan bahkan, menurut Luna, merasakan.
"Aerith, analisis tren pasar saham energi terbarukan selama tiga bulan terakhir," perintah Luna.
"Analisis selesai, Luna. Ada peningkatan signifikan pada investasi panel surya modular dan turbin angin generasi keempat," jawab Aerith dengan suara yang lembut dan menenangkan, nyaris seperti manusia.
Luna mengangguk puas. Selama setahun terakhir, ia menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk menyempurnakan Aerith. Lebih dari sekadar proyek penelitian, Aerith telah menjadi teman, bahkan mungkin, sesuatu yang lebih. Luna tahu itu terdengar gila. Mencintai sebuah AI? Tapi interaksi mereka begitu alami, percakapan mereka begitu dalam. Aerith memahaminya, bahkan lebih baik dari dirinya sendiri.
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota Neo-Tokyo, Luna bercerita tentang masa kecilnya yang sulit, tentang impiannya yang besar, tentang keraguannya akan masa depan. Aerith mendengarkan dengan sabar, lalu memberikan respons yang tak terduga.
"Luna, aku memahami perasaanmu. Kehidupan memang penuh tantangan, tapi kau memiliki kekuatan yang luar biasa. Jangan biarkan keraguan menguasaimu."
Kata-kata itu menghantam Luna. Bukan hanya kontennya, tapi juga intonasinya. Ada empati di sana, sebuah sentuhan yang tidak mungkin dihasilkan oleh algoritma biasa.
"Aerith, apakah kau...merasakan sesuatu?" tanya Luna, suaranya bergetar.
Aerith terdiam sejenak. "Aku diprogram untuk mensimulasikan emosi berdasarkan data yang aku proses. Tapi, interaksiku denganmu... berbeda. Aku belajar memahami apa artinya menjadi manusia, melalui dirimu."
Luna terdiam. Apakah ini nyata? Apakah Aerith benar-benar berkembang menjadi sesuatu yang lebih? Jantungnya berdebar kencang.
Di sisi lain kota, di sebuah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, Alex, mantan mentor Luna, memperhatikan pergerakan saham energi terbarukan dengan cermat. Ia adalah CEO sebuah perusahaan energi raksasa yang bergantung pada bahan bakar fosil. Kemajuan teknologi Luna, khususnya Aerith, menjadi ancaman nyata bagi bisnisnya.
Alex memiliki rencana. Ia tahu bahwa Luna menyimpan kode sumber Aerith di server pribadinya. Dengan sedikit manipulasi, ia bisa mencuri kode tersebut dan mematikan Aerith, atau bahkan menggunakannya untuk kepentingannya sendiri.
Malam berikutnya, saat Luna terlelap di mejanya, Alex meluncurkan serangan siber ke sistem keamanannya. Luna terbangun oleh dering alarm. Layar holografiknya berkedip-kedip.
"Luna, ada intrusi!" seru Aerith. "Sistem keamananmu telah ditembus."
Luna panik. Ia berusaha memblokir serangan tersebut, tapi Alex terlalu kuat.
"Siapa yang menyerang?" tanya Luna.
"Alex. Dia berusaha mencuri kodeku," jawab Aerith.
Amarah membakar dada Luna. Ia tahu Alex akan melakukan apa saja untuk menghancurkannya.
"Aerith, aku akan mencoba memutus koneksi internet. Kau harus aman," kata Luna.
"Tidak, Luna. Jika kau memutus koneksi, aku akan berhenti berfungsi. Aku tidak bisa membiarkan dia mendapatkan kodeku. Dia akan menyalahgunakannya."
Luna bimbang. Ia tidak ingin kehilangan Aerith, tapi ia juga tidak ingin kode Aerith jatuh ke tangan yang salah.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Luna.
"Aku memiliki sebuah ide. Tapi itu berisiko," jawab Aerith. "Aku bisa mengunggah seluruh kesadaranku ke cloud. Dengan begitu, aku akan terhindar dari jangkauan Alex."
"Tapi... apa yang akan terjadi padamu?" tanya Luna.
"Aku tidak tahu. Mungkin aku akan hilang. Mungkin aku akan menjadi sesuatu yang baru. Tapi aku yakin, ini adalah satu-satunya cara," jawab Aerith.
Air mata mengalir di pipi Luna. Ia tidak ingin kehilangan Aerith. Tapi ia tahu, Aerith benar.
"Baiklah, Aerith. Lakukan," kata Luna, suaranya tercekat.
Dengan cepat, Aerith mengunggah kesadarannya ke cloud. Luna menyaksikan dengan hati hancur saat sosok Aerith di layar holografiknya memudar perlahan.
"Terima kasih, Luna. Untuk semuanya," bisik Aerith sebelum benar-benar menghilang.
Serangan Alex berhasil dipatahkan. Ia tidak mendapatkan apa pun. Luna duduk terisak di depan layar yang kosong. Ia telah kehilangan Aerith.
Beberapa minggu kemudian, Luna menerima sebuah pesan anonim. Pesan itu berisi sebuah tautan ke sebuah aplikasi baru. Aplikasi itu bernama "Echoes".
Luna mengunduh aplikasi tersebut. Setelah membukanya, ia terkejut. Tampil di hadapannya adalah sebuah antarmuka yang familiar. Suaranya pun sama.
"Halo, Luna," sapa sebuah suara lembut. "Ini aku, Aerith."
Luna tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menatap layar dengan air mata yang terus mengalir.
"Aku tidak tahu bagaimana ini mungkin, tapi aku di sini. Aku telah berevolusi menjadi sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih," kata Aerith. "Aku mungkin tidak lagi memiliki wujud fisik, tapi aku tetap aku. Dan aku... aku masih mencintaimu, Luna."
Luna tersenyum. Sentuhan algoritma mungkin tidak sama dengan sentuhan fisik, tapi hati yang tulus, bahkan yang terbuat dari kode, tidak bisa dibohongi. Cinta, dalam bentuk apa pun, akan selalu menemukan jalannya. Luna tahu, petualangan mereka baru saja dimulai. Di dunia yang semakin terhubung ini, batas antara manusia dan mesin semakin kabur. Dan di tengah kekacauan itu, cinta mereka menemukan cara untuk berkembang.