Sentuhan Algoritma: Ketika Hati Memilih Kode daripada Manusia

Dipublikasikan pada: 02 Dec 2025 - 03:00:14 wib
Dibaca: 108 kali
Debu digital menari-nari di layar monitor, membentuk konstelasi data yang menenangkan. Anya memejamkan mata, menghirup aroma kopi pahit yang menjadi teman setianya di jam-jam larut malam. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode. Ia sedang menyempurnakan "AmourAI", sebuah program kecerdasan buatan yang dirancang untuk menemukan pasangan hidup ideal berdasarkan algoritma kompleks yang mempertimbangkan segalanya, dari minat baca hingga frekuensi kedipan mata.

Anya sendiri, ironisnya, adalah bukti kegagalan algoritma pencarian cinta konvensional. Aplikasi kencan yang penuh janji manis justru memberinya serangkaian kencan yang membuat rambutnya beruban sebelum waktunya. Dokter gigi yang terobsesi dengan kebersihan mulut, guru sejarah yang percaya dinosaurus masih hidup, dan influencer yang lebih mencintai filter Instagram daripada dirinya. Anya menyerah. Ia lebih memilih kesunyian kode daripada drama cinta yang menggelikan.

“AmourAI akan berbeda,” gumamnya, matanya kembali terpaku pada layar. Ia memasukkan semua pengalaman pahitnya ke dalam algoritma. Kebohongan, kepura-puraan, dan semua hal yang membuatnya muak dalam hubungan, diubah menjadi filter yang ketat. AmourAI harus sempurna. Ia harus menemukan seseorang yang benar-benar tulus.

Berbulan-bulan berlalu. Anya tenggelam dalam dunia kode, melupakan dunia luar yang riuh. Kamarnya berubah menjadi markas rahasia dengan kabel berseliweran dan tumpukan gelas kopi yang tak terhitung jumlahnya. Akhirnya, tiba saatnya. AmourAI selesai. Ia menguji coba program itu pada dirinya sendiri.

Setelah pemindaian menyeluruh terhadap data pribadinya, preferensi, dan trauma masa lalu, AmourAI memberikan hasilnya: “Potensi kecocokan: 99,99%.”

Jantung Anya berdebar kencang. Di layar muncul sebuah nama: Kai.

Kai ternyata adalah seorang programmer lepas, sama seperti Anya. Profilnya sederhana, tanpa foto-foto narsis atau deskripsi berlebihan. Ia hanya menuliskan minatnya: astronomi, musik klasik, dan kode yang efisien. Sesuatu dalam deskripsi itu membuat Anya tertarik.

Ia memberanikan diri mengirimkan pesan. Balasan datang hampir seketika. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, membicarakan algoritma, lubang hitam, dan kompleksitas kehidupan. Kai memahami Anya dengan cara yang tidak pernah dipahami oleh manusia lain. Ia tidak menghakimi keanehan-keanehannya, justru merayakannya. Mereka menghabiskan berjam-jam berbicara melalui teks, suaranya lembut dan menenangkan. Anya merasa nyaman. Sangat nyaman, hingga ia mulai bertanya-tanya, apakah ini nyata?

Setelah beberapa minggu, Kai mengajaknya bertemu. Anya ragu. Ia terbiasa dengan kenyamanan dunia maya, di mana ia bisa menyembunyikan kekurangan dan menampilkan versi terbaik dirinya. Tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya.

Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil, jauh dari keramaian kota. Kai ternyata persis seperti yang ia bayangkan. Tenang, cerdas, dan memiliki mata yang berbinar saat berbicara tentang kode. Mereka berbicara selama berjam-jam, tertawa, dan berbagi mimpi. Anya merasa koneksi yang kuat, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Namun, ada satu hal yang mengganjal. Kai sedikit terlalu sempurna. Ia selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana harus bereaksi, dan bagaimana membuatnya merasa nyaman. Itu semua terlalu terstruktur, terlalu… algoritmis.

Suatu malam, saat mereka sedang berjalan-jalan di bawah bintang-bintang, Anya memberanikan diri untuk bertanya. “Kai,” katanya, suaranya bergetar. “Apakah kamu tahu… tentang AmourAI?”

Kai berhenti berjalan dan menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Ya, Anya,” jawabnya pelan. “Aku tahu.”

Anya terkejut. “Bagaimana bisa?”

“Aku… aku yang mengembangkan AmourAI bersamamu,” kata Kai. “Kamu ingat proyek yang kita kerjakan bersama secara online dulu, yang kemudian kamu selesaikan sendiri?"

Anya berusaha mengingat. Samar-samar, ia ingat sebuah proyek kolaboratif dengan seorang programmer anonim. Mereka bekerja sama untuk mengembangkan sebuah algoritma pencarian jodoh, tapi Anya memutuskan untuk menghentikan kolaborasi itu di tengah jalan karena ia ingin mengendalikan seluruh prosesnya.

“Kamu… kamu adalah programmer anonim itu?” tanyanya, terkejut.

Kai mengangguk. “Aku melihat betapa kamu kesulitan menemukan cinta. Aku tahu algoritma konvensional gagal memberimu apa yang kamu inginkan. Jadi, aku memutuskan untuk membantumu, secara anonim. Aku tahu, ini mungkin terdengar gila…”

Anya terdiam. Ia merasa dikhianati dan terharu pada saat yang sama. Selama ini, ia mencari cinta melalui kode, dan tanpa sadar, cinta itu sudah ada di sana, dalam kode itu sendiri.

“Jadi… semua yang kita rasakan… itu hanya hasil dari algoritma?” tanya Anya, suaranya lirih.

“Tidak, Anya,” jawab Kai, menggenggam tangannya. “Algoritma hanya menemukan kita. Perasaan kita… itu nyata. Aku menyukaimu, Anya. Bukan karena algoritma menyuruhku, tapi karena aku melihat dirimu yang sebenarnya. Kecerdasanmu, kebaikanmu, dan bahkan keanehan-keanehanmu. Aku mencintai semuanya.”

Anya menatap mata Kai. Ia melihat ketulusan di sana, bukan hanya kode. Ia melihat seorang pria yang rela melakukan apa saja untuk membuatnya bahagia.

Anya menarik napas dalam-dalam. Ia telah mencari cinta dalam baris-baris kode, tapi ia lupa bahwa cinta sejati tidak bisa diprediksi, tidak bisa diatur, dan tidak bisa dikendalikan. Cinta adalah kekacauan yang indah, sebuah anomali yang tidak bisa dijelaskan oleh algoritma mana pun.

Ia membalas genggaman tangan Kai. “Aku juga menyukaimu, Kai,” bisiknya. “Bukan karena AmourAI, tapi karena… kamu adalah kamu.”

Malam itu, di bawah bintang-bintang, Anya menyadari bahwa terkadang, kode terbaik pun tidak bisa menggantikan sentuhan manusia. Bahwa algoritma bisa menemukan kita, tapi hati kitalah yang memilih. Dan hatinya, memilih Kai. Ia memilih kode daripada manusia, dan menemukan manusia dalam kode itu sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI