AI Memahami Cintaku, Tapi Bukan Hatiku?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 17:23:30 wib
Dibaca: 159 kali
Aplikasi kencan itu menjanjikan segalanya. Algoritma yang dirancang khusus, AI yang mampu menganalisis kepribadian, minat, dan bahkan kebiasaan tidurku, semuanya demi menemukan belahan jiwa yang sempurna. Aku, Aris, seorang programmer yang lebih nyaman dengan barisan kode daripada interaksi sosial, tentu saja tergiur. Namanya "SoulSync," dan ironisnya, justru membuatku merasa semakin terisolasi.

SoulSync mempertemukanku dengan Anya. Secara statistik, kami adalah pasangan ideal. Anya seorang desainer grafis, menyukai musik indie, gemar mendaki gunung, dan memiliki selera humor yang sejalan denganku—setidaknya, menurut analisis data SoulSync. Profil Anya memang memukau. Foto-fotonya menampilkan senyum menawan dan mata yang seolah berbicara banyak hal. Setelah beberapa pesan singkat, kami sepakat untuk bertemu.

Pertemuan pertama di sebuah kedai kopi terasa canggung, namun menjanjikan. Anya memang secantik fotonya. Kami membicarakan banyak hal, mulai dari film favorit hingga buku yang sedang kami baca. Semua percakapan terasa mengalir, seolah kami memang ditakdirkan untuk bersama. SoulSync benar, kami memiliki banyak kesamaan.

Minggu-minggu berikutnya dipenuhi kencan yang terasa seperti mimpi. Kami mengunjungi museum seni, menonton konser band indie, dan bahkan mendaki gunung bersama. Anya selalu ceria, penuh energi, dan membuatku merasa nyaman. Aku mulai jatuh cinta.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang tidak bisa didefinisikan oleh algoritma manapun. Aku merasa seperti sedang memainkan peran, mengikuti naskah yang ditulis oleh SoulSync. Setiap kali aku mencoba untuk jujur tentang perasaanku yang sebenarnya, tentang keraguan dan ketakutanku, Anya seolah menghindar. Dia selalu mengembalikan percakapan ke topik yang telah diprediksi oleh aplikasi, topik yang terasa aman dan nyaman.

Suatu malam, setelah makan malam romantis di restoran mahal yang direkomendasikan SoulSync, aku mencoba untuk terbuka. “Anya, aku merasa… seperti ada tembok antara kita,” ujarku, gugup.

Anya tersenyum, senyum yang selalu kurindukan, tapi kali ini terasa hambar. “Aris, apa yang kau bicarakan? Kita sangat cocok. SoulSync telah membuktikannya. Kita memiliki semua yang dibutuhkan untuk bahagia.”

“Tapi, apakah kita benar-benar bahagia?” tanyaku, suaraku bergetar. “Atau kita hanya memenuhi ekspektasi sebuah algoritma?”

Anya terdiam. Aku bisa melihat kebingungan di matanya. Dia tidak mengerti apa yang kumaksud. Dia terlalu percaya pada SoulSync, terlalu terpaku pada kesempurnaan yang telah diciptakan oleh teknologi.

Aku mencoba menjelaskan, tentang bagaimana aku merasa kehilangan identitasku, tentang bagaimana aku merindukan hubungan yang otentik, hubungan yang dibangun di atas kejujuran dan kerentanan, bukan hanya data dan analisis. Tapi, kata-kataku terasa sia-sia. Anya tidak bisa memahami apa yang kurasakan.

“Aris, kau terlalu banyak berpikir,” ujarnya akhirnya. “Nikmati saja apa yang kita miliki. SoulSync telah melakukan pekerjaannya dengan baik. Jangan merusaknya dengan keraguanmu.”

Malam itu, aku pulang dengan perasaan hancur. Aku menyadari bahwa SoulSync memang telah menemukan seseorang yang sempurna untukku secara statistik, namun tidak untuk hatiku. Aplikasi itu telah memahami cintaku, namun tidak jiwaku.

Aku mulai menjauhi Anya. Aku berhenti menuruti rekomendasi SoulSync. Aku mulai melakukan hal-hal yang benar-benar aku sukai, tanpa mempedulikan apakah itu sesuai dengan profil Anya atau tidak. Aku kembali menekuni proyek-proyek coding yang terbengkalai, membaca buku-buku filsafat yang berat, dan menghabiskan waktu bersama teman-teman lama.

Anya tentu saja menyadarinya. Dia menghubungiku beberapa kali, menanyakan apa yang terjadi. Aku mencoba menjelaskan, tapi sia-sia. Dia tetap berpegang pada keyakinannya bahwa SoulSync adalah kunci kebahagiaan kami.

Akhirnya, kami putus. Bukan dengan pertengkaran hebat, melainkan dengan kesadaran yang menyakitkan bahwa kami memang tidak ditakdirkan untuk bersama, meskipun algoritma telah mengatakan sebaliknya.

Setelah putus, aku menghapus SoulSync dari ponselku. Aku memutuskan untuk berhenti mencari cinta melalui aplikasi dan kembali ke cara lama, bertemu orang secara organik, tanpa bantuan teknologi. Aku tahu ini akan sulit, tapi aku yakin bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan dalam barisan kode.

Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan seorang wanita di sebuah toko buku. Namanya Maya. Dia tidak tahu apa-apa tentang SoulSync atau algoritmaku. Dia tertarik padaku karena aku adalah aku, dengan segala kekurangan dan keunikanku. Kami membicarakan banyak hal, bukan hanya film favorit dan buku yang sedang kami baca, tapi juga mimpi, harapan, dan ketakutan kami.

Hubunganku dengan Maya tidak sempurna. Kami sering berdebat, tidak selalu sependapat, dan kadang-kadang bahkan saling membuat kesal. Tapi, di sanalah letak keindahan hubungan kami. Kami saling menerima apa adanya, tanpa pretensi, tanpa naskah yang harus diikuti.

Aku belajar bahwa cinta sejati bukan tentang menemukan seseorang yang sempurna secara statistik, melainkan tentang menemukan seseorang yang bersedia menerima ketidaksempurnaanmu. Cinta sejati bukan tentang mengikuti algoritma, melainkan tentang mengikuti kata hati.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku yakin bahwa aku telah menemukan kebahagiaan yang selama ini kucari. Kebahagiaan yang tidak bisa didefinisikan oleh AI, melainkan oleh hati yang tulus. Dan itu, bagiku, sudah lebih dari cukup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI