Debu digital menari-nari di layar laptop Clara, membentuk pola abstrak yang seolah mengejek kesendiriannya. Di usia 28, dengan karir cemerlang sebagai data scientist di perusahaan teknologi raksasa, Algoritma Cinta masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Clara tertawa getir, menyadari ironi profesinya. Ia piawai mengurai kompleksitas data, memprediksi tren pasar, bahkan memetakan perilaku konsumen. Tapi, urusan hati? Nol besar.
"Lagi coding sampai malam, Clar?" sapa Maya, rekan kerjanya yang sudah bersiap pulang. Maya adalah antitesis Clara. Ceria, mudah bergaul, dan memiliki deretan mantan pacar yang panjangnya bisa menyaingi kode program yang ditulis Clara setiap hari.
Clara mengangguk lesu. "Lagi coba algoritma baru buat analisis sentimen pasar. Kamu sendiri?"
"Mau dinner date sama Alex," jawab Maya sambil mengedipkan mata. "Kamu kapan nyusul? Udah cantik, pintar, karir bagus. Kurang apa lagi?"
Clara hanya mengangkat bahu. Kurang algoritma yang tepat, mungkin? Ia sudah mencoba berbagai aplikasi kencan, mengisi profil dengan jujur, bahkan mengikuti saran Maya untuk tampil lebih "menarik" – yang diterjemahkan Clara sebagai memakai lipstik merah dan rok selutut. Hasilnya? Tetap saja nihil. Ia hanya menarik perhatian para pria yang tertarik pada otak cerdasnya, bukan pada dirinya seutuhnya.
Malam itu, Clara memutuskan untuk melakukan eksperimen. Ia akan membuat sendiri algoritma kencan, berbekal data yang ia kumpulkan dari berbagai aplikasi dan pengalamannya sendiri. Ia akan memetakan preferensinya, mengidentifikasi pola yang membuatnya tertarik pada seseorang, dan menemukan kandidat ideal berdasarkan kriteria tersebut.
Prosesnya panjang dan melelahkan. Clara menghabiskan berhari-hari di depan layar, memilah data, menulis kode, dan melakukan pengujian. Ia memasukkan semua yang ia tahu tentang dirinya: kecintaannya pada buku fiksi ilmiah, kegemarannya mendaki gunung, ketidakmampuannya menoleransi orang yang meremehkan perempuan. Ia juga memasukkan kriteria pria idealnya: cerdas, humoris, menghargai kesetaraan gender, dan memiliki passion di luar pekerjaan.
Setelah berminggu-minggu berkutat dengan kode, akhirnya Algoritma Hati selesai. Dengan jantung berdebar, Clara menjalankan program tersebut. Algoritma itu memproses jutaan data profil pengguna dari berbagai aplikasi kencan dan media sosial. Hasilnya? Satu nama muncul: Adrian.
Adrian adalah seorang arsitek lanskap yang juga seorang programmer open source di waktu luangnya. Profilnya penuh dengan foto-foto taman indah yang ia rancang, kode program yang ia bagikan, dan petualangan mendakinya di berbagai gunung. Clara terkejut. Adrian memenuhi semua kriterianya, bahkan lebih.
Dengan gugup, Clara mengirimkan pesan kepada Adrian melalui aplikasi kencan. Ia tidak menyebutkan tentang Algoritma Hati, hanya memperkenalkan diri dan mengungkapkan kekagumannya pada karya-karya Adrian.
Adrian membalas pesannya dengan ramah. Mereka mulai bertukar pesan setiap hari, membahas arsitektur, pemrograman, dan filosofi hidup. Clara terkejut betapa mudahnya mereka terhubung, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.
Setelah dua minggu bertukar pesan, Adrian mengajak Clara untuk bertemu. Mereka janjian di sebuah kedai kopi yang terletak di taman kota. Clara gugup, merasa seperti akan mengikuti ujian penting.
Ketika Adrian datang, Clara terpana. Ia lebih tampan dari foto-fotonya. Senyumnya tulus dan matanya berbinar-binar. Mereka mengobrol selama berjam-jam, membahas segala hal dari buku favorit hingga impian masa depan. Clara merasa nyaman dan bahagia berada di dekat Adrian. Ia tertawa lepas, berbagi cerita tentang dirinya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa diterima apa adanya.
Beberapa bulan kemudian, Clara dan Adrian semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, mendaki gunung, menonton film fiksi ilmiah, dan saling mendukung dalam pekerjaan. Clara menyadari bahwa ia jatuh cinta pada Adrian, bukan hanya karena Algoritma Hati, tetapi karena ia adalah Adrian, seorang pria yang cerdas, humoris, dan penuh semangat.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di teras apartemen Clara sambil menatap bintang-bintang, Clara memutuskan untuk mengungkapkan rahasianya.
"Adrian, ada sesuatu yang ingin kukatakan," kata Clara dengan gugup.
Adrian menatapnya dengan penuh perhatian. "Ada apa, Clar?"
Clara menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku membuat algoritma kencan untuk mencari pasangan. Dan algoritma itu membawaku padamu."
Adrian terdiam sejenak, lalu tertawa. "Serius? Kamu membuat algoritma kencan?"
Clara mengangguk malu. "Aku tahu ini aneh, tapi aku benar-benar kesulitan mencari cinta. Aku hanya ingin mencari tahu apa yang sebenarnya kucari."
Adrian memegang tangannya. "Clar, itu jenius. Aku tidak pernah menyangka. Tapi, jujur, aku tidak peduli bagaimana kamu menemukanku. Yang penting adalah kita bertemu."
Clara menatap mata Adrian. "Jadi, kamu tidak marah?"
Adrian tersenyum. "Kenapa aku harus marah? Kamu seorang data scientist, itu cara kerjamu. Dan aku senang algoritma itu membawaku padamu. Mungkin algoritma itu lebih pintar dariku dalam urusan cinta."
Clara tersenyum lega. "Jadi, apakah ini berarti...?"
"Ini berarti," kata Adrian sambil mendekatkan wajahnya, "algoritma hatimu bekerja dengan sempurna."
Mereka berciuman di bawah bintang-bintang, melupakan piksel dan data, hanya merasakan kehangatan dan cinta yang tulus. Algoritma Hati mungkin telah menemukan mereka, tetapi cinta sejati adalah sesuatu yang mereka bangun bersama, di antara piksel dan data, di antara kode dan mimpi. Clara akhirnya mengerti, cinta sejati tidak bisa diprediksi atau diprogram, tetapi bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, bahkan di antara barisan kode dan algoritma. Bahwa, kadang, yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk menjalankan program, dan kepercayaan bahwa alam semesta memiliki kode rahasianya sendiri untuk menyatukan dua hati yang ditakdirkan.