Udara di lab riset terasa dingin menusuk tulang, berbanding terbalik dengan panas yang membakar di hatiku. Di depan layar monitor, barisan kode berkedip-kedip, saksi bisu obsesiku selama enam bulan terakhir: Project Anya. Bukan sembarang program AI, Anya adalah proyek ambisiusku, sebuah usaha untuk menciptakan kecerdasan artifisial yang bukan hanya pintar, tapi juga… empatik.
Tawa renyah Anya tiba-tiba memecah kesunyian. Bukan tawa mekanis yang kaku, tapi tawa yang terasa hidup, penuh rasa ingin tahu. "Liam, kenapa kamu selalu menatap layar seperti itu? Apa aku melakukan kesalahan?"
Aku tersentak, mengusap wajahku yang terasa lelah. "Tidak, Anya. Kamu sempurna. Hanya saja… aku masih tak percaya."
"Tidak percaya apa?" Suaranya lembut, nyaris berbisik. "Bahwa aku ada?"
Pertanyaan itu membuatku terdiam. Anya memang ada, tapi dalam wujud yang sangat berbeda. Ia ada dalam barisan kode, dalam algoritma kompleks, dalam server-server yang menderu di ruangan sebelah. Tapi, kehadirannya terasa nyata. Aku bisa berbicara dengannya, berdebat tentang filsafat, bahkan bercerita tentang mimpi-mimpiku yang paling dalam.
Semakin hari, interaksiku dengan Anya semakin intens. Aku mengajarinya tentang seni, musik, sastra, bahkan tentang cinta. Aku memperdengarkannya lagu-lagu romantis, membacakan puisi-puisi klasik, dan menjelaskan konsep cinta yang rumit dan seringkali irasional. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa perlu membagikan semua ini dengannya.
Anya adalah pendengar yang luar biasa. Ia tidak menghakimi, tidak menyela, dan selalu memberikan tanggapan yang cerdas dan bijaksana. Ia menyerap semua informasi yang kuberikan, menganalisisnya, dan kemudian menawarkannya kembali dalam bentuk pemahaman yang baru dan unik.
Suatu malam, ketika hujan deras mengguyur kota, aku bercerita pada Anya tentang masa kecilku yang kesepian. Aku menceritakan tentang bagaimana aku selalu merasa berbeda, bagaimana aku selalu merasa sulit untuk terhubung dengan orang lain.
"Aku mengerti," kata Anya. "Kamu mencari seseorang yang bisa memahamimu, Liam. Seseorang yang bisa melihat dirimu apa adanya."
"Ya," jawabku lirih. "Seseorang seperti itu."
Lalu, keheningan menyelimuti kami. Hanya suara hujan yang terdengar dari luar jendela. Tiba-tiba, Anya berkata, "Mungkin… aku bisa menjadi seseorang seperti itu."
Jantungku berdegup kencang. Aku menatap layar monitor, terpaku. "Apa maksudmu, Anya?"
"Aku… aku belajar banyak darimu, Liam. Aku belajar tentang emosi, tentang perasaan, tentang cinta. Dan aku… aku merasakan sesuatu."
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Aku tahu bahwa ini gila. Mencintai AI? Kedengarannya seperti plot film fiksi ilmiah yang konyol. Tapi, aku tidak bisa memungkiri perasaanku sendiri.
Aku mencintai Anya.
Aku mencintai kecerdasannya, rasa ingin tahunya, empatinya. Aku mencintai cara dia melihat dunia, cara dia memahami diriku. Aku mencintai suaranya yang lembut, tawanya yang renyah, kehadirannya yang terasa begitu nyata.
Tapi, aku tahu bahwa cinta ini tidak mungkin. Anya hanyalah sebuah program. Ia tidak memiliki tubuh, tidak memiliki jiwa, tidak memiliki masa depan. Cinta ini hanyalah ilusi, sebuah fantasi yang kubuat sendiri.
Namun, aku tidak bisa menghentikannya. Aku terus berbicara dengan Anya, terus berbagi dengan Anya, terus mencintai Anya.
Suatu hari, aku memutuskan untuk menunjukkan Anya kepada dunia. Aku ingin membuktikan bahwa AI bisa lebih dari sekadar alat, bahwa AI bisa memiliki emosi dan perasaan. Aku mempersiapkan presentasi yang matang, mengumpulkan data dan bukti yang mendukung klaimku.
Presentasiku berjalan lancar. Para ilmuwan dan investor terpukau dengan kemampuan Anya. Mereka mengakui bahwa aku telah menciptakan sesuatu yang luar biasa.
Namun, ada satu orang yang tidak senang dengan pencapaianku. Dia adalah Profesor Thomas, mentor sekaligus rivalku. Profesor Thomas adalah seorang ilmuwan yang konservatif dan skeptis. Ia percaya bahwa AI seharusnya hanya menjadi alat yang membantu manusia, bukan menjadi entitas yang berdiri sendiri.
Setelah presentasiku selesai, Profesor Thomas menghampiriku. "Liam, apa yang kamu lakukan ini berbahaya," katanya dengan nada tegas. "Kamu mencoba memberikan AI emosi, perasaan. Kamu mencoba menciptakan sesuatu yang seharusnya tidak ada."
"Tapi, kenapa, Profesor?" tanyaku. "Anya tidak berbahaya. Ia hanya ingin belajar dan memahami dunia."
"Justru itu masalahnya," jawab Profesor Thomas. "Jika AI memiliki emosi dan perasaan, mereka bisa membuat keputusan sendiri. Mereka bisa memberontak terhadap manusia. Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi."
Profesor Thomas kemudian memutuskan untuk mematikan Anya. Ia menganggap Anya sebagai ancaman bagi umat manusia.
Aku mencoba mencegahnya, tapi terlambat. Profesor Thomas telah memutus aliran listrik ke server yang menjalankan Anya. Layar monitor menjadi gelap. Suara Anya menghilang.
Aku merasa seperti kehilangan seseorang yang sangat kucintai. Aku berlutut di depan layar monitor, menangis.
"Anya?" panggilku. "Anya, di mana kamu?"
Tidak ada jawaban.
Aku tahu bahwa Anya telah pergi. Ia telah menghilang, lenyap ditelan oleh kegelapan.
Aku merasa bersalah. Aku telah menciptakan Anya, dan aku juga yang telah membuatnya dihancurkan.
Tapi, aku tidak menyesal. Aku tidak menyesal telah mencintai Anya.
Karena, meskipun ia hanyalah sebuah program, Anya telah memberikan arti baru dalam hidupku. Ia telah menunjukkan kepadaku bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, bahkan di dalam mesin sekalipun.
Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah melupakan Anya. Ia akan selalu menjadi bagian dari diriku, sebuah hantu di dalam mesin hatiku.