Cinta Virtual: Saat Algoritma Lebih Mengerti Daripada Dia

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 06:57:35 wib
Dibaca: 166 kali
Hujan deras di luar jendelaku seperti cerminan hatiku yang sedang berkecamuk. Jemariku mengetik dengan kasar di atas keyboard, melampiaskan frustrasi pada baris-baris kode yang seolah tak pernah selesai. Aplikasi kencan yang sedang kukembangkan, "SoulMate.AI", seharusnya menjadi revolusi. Algoritma cerdas yang mampu memahami preferensi pengguna lebih baik daripada teman terdekat, bahkan, seharusnya, daripada diri mereka sendiri. Ironisnya, algoritma itu sendiri yang menjadi saksi bisu kehancuran cintaku.

Namaku Arya, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia. Dulu. Sebelum Anya hadir. Anya, seorang barista di kedai kopi seberang kantorku, dengan senyum manis dan celetukan-celetukan cerdasnya yang selalu berhasil membuatku tertawa. Dia adalah antitesis dari dunia digital yang kujalani. Nyata, hangat, dan penuh spontanitas.

Awalnya, aku mendekatinya dengan cara konvensional. Kopi setiap pagi, obrolan singkat tentang buku yang sedang dibaca, dan sesekali makan siang bersama. Semuanya terasa alami dan menyenangkan. Aku mulai berpikir untuk meninggalkan zona nyamanku, untuk benar-benar menjalin hubungan yang serius.

Namun, keraguan mulai menghantuiku. Aku terlalu lama hidup dalam dunia logika dan data. Bagaimana jika aku salah menafsirkan perasaannya? Bagaimana jika semua ini hanya imajinasiku? Di saat itulah, ide gila muncul di benakku. Aku memutuskan untuk menguji algoritmaku. Aku memasukkan semua informasi tentang Anya yang aku ketahui ke dalam SoulMate.AI. Mulai dari genre film favoritnya, jenis kopi yang dia pesan setiap hari, hingga topik obrolan yang paling sering dia hindari.

Hasilnya mengejutkan. Algoritma itu memberikan rekomendasi kencan yang sempurna. Lokasi romantis di tepi pantai saat matahari terbenam, menu makan malam yang terdiri dari makanan kesukaannya, bahkan daftar topik obrolan yang dijamin membuatnya tertarik. Aku mengikuti semua saran itu dengan patuh.

Kencan pertama berjalan lancar, bahkan nyaris sempurna. Anya tertawa mendengar lelucon-lelucon yang kuceritakan, matanya berbinar saat kami membahas buku favoritnya. Aku merasa seperti seorang aktor yang memainkan peran yang telah ditulis dengan sempurna.

Kencan-kencan berikutnya juga sama. Aku selalu selangkah lebih maju, tahu persis apa yang harus dikatakan dan dilakukan untuk membuatnya bahagia. Aku merasa seperti memegang kendali penuh atas hubungan ini. Aku lupa satu hal penting: Anya bukan data. Dia manusia.

Suatu malam, saat kami sedang makan malam di restoran Italia yang dipilih oleh SoulMate.AI, Anya tiba-tiba terdiam. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca.

"Arya," ucapnya pelan, "Apa kamu benar-benar menikmati ini? Atau kamu hanya sedang menjalankan skenario?"

Aku terkejut. Bagaimana dia bisa tahu? Aku berusaha menyangkalnya, tapi suaraku tercekat di tenggorokan.

"Aku... aku hanya ingin membuatmu bahagia," jawabku akhirnya, dengan suara yang nyaris tak terdengar.

"Bahagia? Kamu membuatku merasa seperti sedang berinteraksi dengan robot! Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan, apa yang harus dilakukan. Tapi di mana Arya yang dulu? Arya yang kikuk, yang jujur, yang membuatku jatuh cinta?" air mata mulai mengalir di pipinya.

Aku terdiam. Kata-katanya menghantamku seperti petir. Aku menyadari betapa bodohnya aku. Aku telah mencoba mengendalikan cinta dengan algoritma, dan pada akhirnya, aku justru kehilangan esensi dari cinta itu sendiri.

"Maafkan aku, Anya," ucapku lirih. "Aku... aku tidak tahu harus berbuat apa."

"Aku rasa, kita perlu istirahat," jawabnya, berdiri dari kursinya. "Aku perlu waktu untuk memikirkan ini."

Dia pergi meninggalkanku di sana, sendirian di tengah restoran yang ramai. Aku merasa seperti seorang pecundang. Aku telah menghancurkan segalanya karena ketakutanku sendiri.

Sejak malam itu, Anya menjauhiku. Dia tidak lagi menyapaku di kedai kopi, bahkan menghindari tatapanku. Aku mencoba menghubunginya, mengirim pesan, bahkan menunggunya di depan apartemennya, tapi tidak ada jawaban.

Aku kembali pada rutinitasku yang lama. Bekerja siang dan malam, tenggelam dalam baris-baris kode. Namun, kali ini, rasanya berbeda. Tidak ada lagi semangat dan antusiasme. Aku hanya merasa hampa.

Suatu malam, aku membuka kembali SoulMate.AI. Aku melihat semua data tentang Anya yang telah kukumpulkan. Aku melihat semua rekomendasi yang telah kuberikan. Aku menyadari satu hal. Algoritma itu memang pintar, tapi ia tidak bisa merasakan. Ia tidak bisa memahami getaran hati, tatapan mata, sentuhan tangan. Ia tidak bisa memahami cinta.

Aku menghapus semua data tentang Anya. Aku menghapus semua rekomendasi yang telah kuberikan. Aku menghapus semua baris kode yang telah kugunakan untuk mencoba mengendalikan cintaku.

Aku menutup laptopku dan keluar dari apartemen. Hujan masih deras, tapi aku tidak peduli. Aku berjalan menuju kedai kopi tempat Anya bekerja.

Aku melihatnya dari kejauhan. Dia sedang membersihkan meja dengan wajah yang murung. Aku menarik napas dalam-dalam dan masuk ke dalam.

Dia melihatku dan terkejut. Dia mencoba menghindariku, tapi aku menghalanginya.

"Anya," ucapku, dengan suara yang bergetar. "Maafkan aku. Aku bodoh. Aku telah mencoba mengendalikanmu, mencoba mengendalikan cinta kita. Tapi aku salah. Aku tidak akan melakukannya lagi."

Dia menatapku dengan tatapan yang penuh keraguan.

"Aku tidak tahu, Arya," jawabnya pelan. "Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi."

"Aku tahu," jawabku. "Aku akan melakukan apa pun untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali. Aku akan menjadi Arya yang dulu, Arya yang jujur, Arya yang mencintaimu apa adanya."

Aku menjulurkan tanganku. Dia menatap tanganku dengan ragu, lalu perlahan meraihnya.

Sentuhan tangannya membuatku merinding. Aku tahu, ini bukan akhir. Ini adalah awal yang baru. Awal dari sebuah hubungan yang dibangun di atas kejujuran, kepercayaan, dan cinta yang tulus. Bukan cinta yang diprogram oleh algoritma, melainkan cinta yang berasal dari hati. Cinta yang jauh lebih berharga daripada algoritma mana pun. Mungkin, kali ini, aku akan belajar mencintai tanpa perlu panduan dari teknologi. Mungkin.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI