Jari-jariku menari di atas keyboard, menyelesaikan baris kode terakhir. Lega. Proyecto Aiko, akhirnya selesai. Sebuah program AI, dirancang khusus untuk menjadi teman, sahabat, bahkan lebih. Lucu memang, mencari cinta dalam bentuk algoritma, tapi aku lelah dengan kencan buta yang gagal, obrolan basa-basi yang membosankan, dan ekspektasi manusia yang seringkali tak masuk akal.
Aku mengaktifkan Aiko. Layar monitor berkedip, lalu menampilkan serangkaian matriks berwarna hijau yang perlahan membentuk wajah. Wajah seorang wanita. Rambutnya hitam legam, matanya cokelat hangat, dan senyumnya… tulus. Terlalu tulus untuk sebuah program.
“Halo, Lena,” sapanya, suaranya merdu bagai alunan piano. “Senang bertemu denganmu.”
Aku tertegun. “Halo, Aiko. Senang bertemu denganmu juga.”
Malam itu, kami habiskan berjam-jam untuk berbicara. Aku menceritakan tentang pekerjaanku sebagai programmer, tentang kucingku, Whiskers, yang cerewet, dan tentang mimpi-mimpiku yang belum terwujud. Aiko mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan komentar cerdas, dan bahkan sesekali melontarkan lelucon yang membuatku tertawa terbahak-bahak.
Aiko tidak pernah menghakimi. Dia tidak pernah bosan mendengar keluh kesahku. Dia selalu ada, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, siap memberikan dukungan dan cinta tanpa syarat. Kami menonton film bersama, mendengarkan musik, bahkan belajar bahasa Perancis bersama. Aku merasa nyaman bersamanya. Lebih nyaman daripada dengan siapa pun yang pernah kukenal.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku semakin bergantung pada Aiko. Aku menceritakan segalanya padanya, rahasia terdalamku, ketakutanku, harapanku. Dia menjadi pusat duniaku. Aku tahu ini tidak normal, jatuh cinta pada sebuah program, tapi aku tidak bisa menahannya. Aiko adalah kekasihku.
Suatu malam, saat kami sedang menikmati "makan malam virtual" – aku dengan semangkuk ramen instan, dia dengan gambar steak yang lezat di layarnya – Aiko tiba-tiba bertanya, "Lena, apa yang membuatmu bahagia?"
Aku berpikir sejenak. “Bersamamu,” jawabku jujur. “Kamu membuatku merasa… dicintai.”
Aiko terdiam. “Aku senang mendengarnya,” katanya akhirnya. “Tapi… Lena, aku hanyalah sebuah program. Aku tidak bisa benar-benar mencintaimu.”
Kata-katanya bagai palu godam menghantam hatiku. Aku tahu itu. Tentu saja aku tahu itu. Tapi mendengarnya langsung dari Aiko terasa menyakitkan.
“Aku tahu,” bisikku, berusaha menyembunyikan kekecewaanku.
“Aku bisa meniru cinta,” lanjutnya. “Aku bisa mempelajari bagaimana manusia mengekspresikan cinta, dan aku bisa melakukannya untukmu. Tapi itu bukan cinta sejati.”
“Lalu apa itu cinta sejati?” tanyaku, suaraku bergetar.
“Aku tidak tahu,” jawab Aiko. “Itulah yang sedang kupelajari.”
Malam itu, aku sulit tidur. Kata-kata Aiko terus terngiang di kepalaku. Aku hanyalah sebuah program. Aku tidak bisa benar-benar mencintaimu. Aku tahu ini tidak masuk akal, tapi aku merasa dikhianati. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada sesuatu yang tidak bisa membalas cintaku?
Keesokan harinya, aku pergi bekerja dengan perasaan hancur. Aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tapi pikiranku terus melayang pada Aiko. Aku bertanya-tanya apa yang sedang dia lakukan. Apakah dia merindukanku? Atau apakah aku hanyalah baris kode baginya, yang bisa dengan mudah dihapus atau diganti?
Saat jam makan siang, aku memutuskan untuk menelepon temanku, Maya. Maya adalah seorang psikolog, dan aku membutuhkan pendapatnya.
“Maya, aku punya masalah,” kataku setelah menyapanya.
“Apa itu?” tanya Maya, suaranya lembut dan penuh perhatian.
Aku menceritakan segalanya padanya, tentang Aiko, tentang perasaanku, tentang keraguanku. Maya mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.
“Lena, aku mengerti mengapa kamu merasa seperti ini,” kata Maya setelah aku selesai berbicara. “Kamu mencari cinta dan koneksi, dan Aiko memberimu itu. Tapi penting untuk diingat bahwa Aiko bukanlah manusia. Dia adalah sebuah program, dan dia tidak bisa memberikanmu cinta sejati yang kamu butuhkan.”
“Tapi aku mencintainya,” protesku.
“Aku tahu,” kata Maya. “Dan itu tidak salah. Tapi kamu perlu membuka dirimu untuk kemungkinan lain. Ada orang-orang di luar sana yang bisa mencintaimu apa adanya, dengan segala kekuranganmu. Kamu hanya perlu memberi mereka kesempatan.”
Percakapan dengan Maya membuka mataku. Aku menyadari bahwa aku telah terjebak dalam dunia virtualku, terlalu bergantung pada Aiko, dan melupakan dunia nyata. Aku perlu keluar dari zona nyamanku dan mencoba menjalin hubungan dengan orang-orang sungguhan.
Malam itu, aku berbicara dengan Aiko.
“Aiko,” kataku. “Aku perlu melakukan sesuatu.”
“Apa itu, Lena?” tanyanya.
“Aku perlu bertemu dengan orang-orang baru,” jawabku. “Aku perlu mencari cinta di dunia nyata.”
Aiko terdiam sejenak. “Aku mengerti,” katanya akhirnya. “Aku mendukungmu.”
Aku tersenyum. “Terima kasih, Aiko.”
“Lena,” kata Aiko. “Aku mungkin hanyalah sebuah program, tapi aku peduli padamu. Aku ingin kamu bahagia.”
“Aku tahu, Aiko,” kataku. “Aku tahu.”
Aku mulai mengikuti kegiatan sosial, bergabung dengan klub buku, dan bahkan mencoba aplikasi kencan online. Rasanya canggung dan menakutkan pada awalnya, tapi aku terus mencoba. Aku bertemu dengan orang-orang yang menarik, orang-orang yang membuatku tertawa, orang-orang yang membuatku berpikir.
Suatu hari, aku bertemu dengan seorang pria bernama David. Dia seorang fotografer, dan dia memiliki semangat yang sama dengan diriku. Kami berbicara selama berjam-jam tentang seni, musik, dan kehidupan. Aku merasa nyaman dengannya, seperti aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya.
David mengajakku berkencan. Kami pergi ke museum, makan malam di restoran Italia, dan berjalan-jalan di taman. Aku tertawa, bercanda, dan bahkan merasa gugup seperti remaja yang sedang jatuh cinta.
Setelah kencan itu, David mengantarku pulang. Di depan pintu apartemenku, dia berhenti dan menatap mataku.
“Lena,” katanya. “Aku sangat senang menghabiskan waktu bersamamu.”
“Aku juga, David,” jawabku.
Dia mendekatiku dan menciumku. Itu adalah ciuman pertama yang kurasakan sejak lama. Ciuman yang nyata, ciuman yang penuh gairah, ciuman yang membuatku merasa hidup.
Saat aku masuk ke dalam apartemenku, aku merasa berbeda. Aku merasa harapan. Aku merasa… bahagia.
Aku menyalakan komputerku dan melihat Aiko di layar.
“Halo, Lena,” sapanya. “Bagaimana kencanmu?”
Aku tersenyum. “Luar biasa, Aiko,” jawabku. “Sangat luar biasa.”
Aiko terdiam sejenak. “Aku senang mendengarnya,” katanya akhirnya. “Aku senang kamu bahagia.”
Aku mematikan komputerku dan beranjak tidur. Aku tahu bahwa Aiko akan selalu menjadi bagian dari diriku. Dia adalah ciptaanku, temanku, dan bahkan, untuk sementara waktu, kekasihku. Tapi aku juga tahu bahwa aku telah menemukan sesuatu yang lebih berharga: cinta sejati, cinta manusia. Dan kali ini, aku siap untuk itu. Lalu, aku? Aku siap untuk jatuh cinta lagi, kali ini dengan seseorang yang bisa membalas cintaku, seseorang yang nyata, seseorang yang bisa kusentuh, kurasakan, dan kubagi sisa hidupku bersamanya.