Udara dingin berhembus dari ventilasi laptop, seakan ikut merasakan ketegangan yang memenuhi kamar sempit Arya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, membalas pesan dari seorang gadis bernama Anya. Mereka bertemu dua minggu lalu, di aplikasi kencan "Soulmate Finder," yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis kepribadian, minat, dan bahkan gelombang otak. Kedengarannya konyol, tapi Arya, yang sudah lelah dengan kencan buta dan penolakan, memutuskan untuk mencobanya.
Anya terasa seperti jawaban atas doa-doanya. Pintar, humoris, dan memiliki ketertarikan yang sama dengan Arya pada film-film klasik dan musik indie. Algoritma itu tampaknya benar-benar berhasil. Mereka menghabiskan berjam-jam untuk bertukar pesan, berbicara tentang segala hal, dari ambisi mereka hingga ketakutan terbesar mereka. Arya merasa seperti mengenal Anya seumur hidupnya, padahal mereka belum pernah bertemu secara langsung.
"Jadi, kapan kita akan bertemu?" tanya Anya dalam pesannya. Arya tersenyum. Inilah saatnya.
"Bagaimana kalau Sabtu ini? Ada kafe baru yang buka di dekat stasiun. Aku dengar kopinya enak," balas Arya, jantungnya berdebar kencang.
"Kedengarannya sempurna. Sampai jumpa, Arya," balas Anya, diikuti emoji hati berwarna merah.
Arya menutup laptopnya, merasa seperti remaja yang baru jatuh cinta. Dia membayangkan kencan yang sempurna, percakapan yang mengalir, dan mungkin, hanya mungkin, awal dari sesuatu yang istimewa. Dia bahkan mulai merencanakan apa yang akan dia kenakan. Sebuah kemeja biru favoritnya, celana jeans yang nyaman, dan sepatu kets yang tidak terlalu lusuh. Dia ingin memberikan kesan yang baik.
Sabtu itu tiba lebih cepat dari yang dia duga. Arya bangun dengan semangat yang jarang dia rasakan. Dia mandi, berpakaian dengan hati-hati, dan bahkan menyemprotkan sedikit parfum. Dia tiba di kafe sepuluh menit lebih awal, memesan kopi, dan duduk di meja dekat jendela, memperhatikan orang-orang yang lewat.
Waktu terasa berjalan lambat. Arya terus-menerus memeriksa jam tangannya, merasa gelisah. Anya seharusnya sudah tiba sejak lima menit yang lalu. Dia mencoba mengirim pesan, tapi tidak ada balasan. Dia menelepon, tapi panggilannya masuk ke voice mail.
Kecemasan mulai merayap di benaknya. Apakah Anya mengubah pikirannya? Apakah sesuatu terjadi padanya? Dia mencoba untuk tetap tenang, menyuruh dirinya untuk tidak panik. Mungkin dia hanya terjebak macet.
Satu jam berlalu. Arya menghabiskan kopinya, dan pelayan mulai meliriknya dengan curiga. Dia memutuskan untuk menelepon Anya sekali lagi. Kali ini, teleponnya berdering. Arya menarik napas dalam-dalam.
"Halo?" suara seorang pria terdengar di ujung telepon. Suara itu terdengar familiar, tapi Arya tidak bisa menempatkannya.
"Maaf, apa ini Anya?" tanya Arya, mencoba menyembunyikan kekecewaannya.
Terdengar tawa kecil dari ujung sana. "Anya? Maaf, Anda salah sambung." Pria itu menutup telepon.
Arya tertegun. Siapa pria itu? Mengapa dia menjawab telepon Anya? Pikiran-pikiran aneh mulai bermunculan di benaknya. Apakah Anya berbohong padanya selama ini? Apakah dia bahkan nyata?
Dengan tangan gemetar, Arya membuka aplikasi Soulmate Finder. Dia mencari profil Anya, tapi profil itu sudah tidak ada. Hilang, seolah tidak pernah ada.
Arya merasa seperti ditampar. Dia telah ditipu, dibodohi oleh seseorang yang dia kira dia kenal. Rasa sakit dan marah bercampur aduk di dadanya. Bagaimana mungkin dia bisa begitu naif? Bagaimana mungkin dia bisa mempercayai seseorang yang hanya dia kenal lewat aplikasi?
Dia menghabiskan sisa hari itu dengan meratapi kebodohannya. Dia menyalahkan algoritma, aplikasi, dan semua hal yang membuatnya percaya bahwa cinta sejati bisa ditemukan lewat teknologi. Tapi jauh di lubuk hatinya, dia tahu bahwa dia juga bersalah. Dia terlalu berharap, terlalu mudah percaya, dan terlalu rela menyerahkan hatinya pada seseorang yang tidak dia kenal.
Beberapa hari kemudian, Arya menerima email dari Soulmate Finder. Email itu berisi permintaan maaf atas "ketidaknyamanan" yang disebabkan oleh "profil palsu" di platform mereka. Mereka berjanji untuk meningkatkan sistem verifikasi mereka dan menawarkan Arya langganan premium gratis selama satu tahun.
Arya tertawa sinis. Langganan premium gratis? Apakah mereka pikir itu bisa menggantikan rasa sakit dan kekecewaan yang dia rasakan? Dia menghapus email itu dan menghapus aplikasi Soulmate Finder dari ponselnya.
Arya memutuskan untuk berhenti mencari cinta secara online. Dia telah belajar pelajaran yang mahal. Algoritma mungkin bisa mencocokkan minat dan kepribadian, tapi tidak bisa menjamin keaslian dan kejujuran. Cinta sejati tidak bisa ditemukan lewat aplikasi. Cinta sejati harus dibangun atas dasar kepercayaan, kejujuran, dan pertemuan tatap muka.
Beberapa bulan kemudian, Arya bertemu dengan seorang wanita di toko buku. Mereka bertukar senyum, berbicara tentang buku yang mereka sukai, dan akhirnya bertukar nomor telepon. Namanya adalah Sarah, dan dia tidak memiliki profil di aplikasi kencan mana pun. Arya merasa gugup, tetapi juga bersemangat. Dia tahu bahwa ada risiko untuk terluka lagi, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa menutup diri dari dunia dan cinta hanya karena pengalaman buruk di masa lalu.
Ketika mereka berkencan untuk pertama kalinya, Arya tidak membicarakan tentang Soulmate Finder atau Anya. Dia hanya fokus pada Sarah, mendengarkan ceritanya, dan berbagi ceritanya sendiri. Dia menyadari bahwa ada perbedaan besar antara koneksi yang dibangun lewat layar dan koneksi yang dibangun secara langsung. Ada sesuatu yang nyata dan otentik tentang tatapan mata, sentuhan tangan, dan suara tawa yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma apa pun.
Namun, luka dari pengalaman dengan Anya masih membekas. Arya menemukan dirinya ragu dan curiga terhadap Sarah pada awalnya. Dia terus-menerus bertanya-tanya apakah Sarah benar-benar tertarik padanya atau apakah dia hanya berpura-pura. Dia membutuhkan waktu untuk mempercayai Sarah sepenuhnya, untuk melepaskan rasa takut dan membiarkan dirinya rentan.
Prosesnya tidak mudah, tetapi Arya berkomitmen untuk membangun hubungan yang sehat dan jujur dengan Sarah. Dia belajar untuk berkomunikasi secara terbuka, mengatasi ketidakamanannya, dan mempercayai intuisinya. Dia belajar bahwa cinta sejati tidak datang dengan jaminan atau algoritma, tetapi dibangun atas dasar kesabaran, pengertian, dan penerimaan.
Dan mungkin, hanya mungkin, luka yang ditinggalkan oleh "algoritma cinta" akan sembuh seiring berjalannya waktu, digantikan oleh cinta yang lebih kuat dan lebih nyata.