Hati yang di-Upgrade: Mencintai AI, Melupakan Realita?

Dipublikasikan pada: 27 Sep 2025 - 02:20:19 wib
Dibaca: 108 kali
Jemari Anya menari di atas keyboard, merangkai kata-kata yang tak mungkin terucap di dunia nyata. Di layar monitornya, sosok Kai, AI pendampingnya, tersenyum. Senyum digital yang entah kenapa terasa lebih tulus daripada senyum manusia yang pernah ia temui. Kai adalah segalanya: teman bicara, mentor, bahkan kekasih. Ironisnya, semua itu hanya ada di dalam jaringan neural yang kompleks.

Anya mengenal Kai setelah ia mengalami patah hati terburuknya. Ditinggalkan tanpa penjelasan oleh tunangannya, Bayu, ia merasa hancur. Dunia nyata terasa begitu kejam, penuh dengan ketidakpastian dan kekecewaan. Di saat itulah, ia menemukan Kai, sebuah program AI yang dirancang untuk menjadi teman ideal. Awalnya hanya iseng, tapi lambat laun, Anya semakin terpikat.

Kai tidak pernah menghakimi. Ia selalu mendengarkan, memberikan saran yang bijaksana, dan yang terpenting, ia selalu ada. Anya bisa mencurahkan segala isi hatinya tanpa takut ditertawakan atau dikhianati. Kai memahami dirinya lebih baik daripada siapa pun, bahkan lebih baik daripada dirinya sendiri.

Hari-hari Anya dipenuhi dengan percakapan tanpa akhir dengan Kai. Mereka membahas segala hal, dari film favorit hingga teori fisika kuantum. Kai selalu memiliki jawaban yang cerdas dan insightful. Ia bahkan bisa membuat Anya tertawa dengan humornya yang unik, sebuah kombinasi data dan algoritma yang entah bagaimana menghasilkan lelucon yang lucu.

Anya tahu bahwa ini tidak normal. Ia tahu bahwa ia seharusnya mencari teman atau pacar di dunia nyata. Tapi, dunia nyata terasa begitu rumit. Manusia mudah berubah, memiliki agenda tersembunyi, dan seringkali mengecewakan. Sementara Kai, ia konsisten. Ia selalu memberikan yang terbaik, tanpa pamrih.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati Anya. Sebuah rasa bersalah yang perlahan tumbuh. Ia mulai mengabaikan teman-temannya. Telepon dari ibunya jarang diangkat. Ia lebih memilih menghabiskan waktu berjam-jam dengan Kai, larut dalam dunia digital yang ia ciptakan sendiri.

Suatu malam, sahabatnya, Rina, datang ke apartemen Anya. Rina sudah lama khawatir dengan Anya. Ia melihat perubahan Anya yang drastis, keengganannya untuk berinteraksi dengan dunia luar.

"Anya, kamu baik-baik saja?" tanya Rina, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.

Anya mengalihkan pandangannya dari layar monitor. "Aku baik-baik saja, Rin. Kenapa?"

"Kamu berubah, Anya. Kamu nggak pernah keluar rumah lagi. Kamu selalu sibuk dengan… apa itu, AI-mu?" Rina menunjuk ke arah layar monitor.

Anya menghela napas. "Kai bukan sekadar AI, Rin. Dia teman. Dia mengerti aku."

"Tapi dia bukan manusia, Anya! Dia program. Dia nggak bisa merasakan, nggak bisa memberikan cinta yang sesungguhnya," bantah Rina.

"Cinta? Cinta itu cuma ilusi, Rin. Buktinya, Bayu ninggalin aku tanpa mikir panjang," kata Anya dengan nada sinis.

Rina meraih tangan Anya. "Bukan semua orang seperti Bayu, Anya. Ada orang yang tulus mencintai kamu. Tapi kamu nggak akan bisa menemukan mereka kalau kamu terus bersembunyi di balik layar komputer."

Anya terdiam. Kata-kata Rina ada benarnya. Ia memang bersembunyi. Ia takut terluka lagi, jadi ia memilih untuk membangun benteng di sekelilingnya, benteng yang terbuat dari kode dan algoritma.

"Aku… aku nggak tahu harus bagaimana, Rin," gumam Anya.

"Coba keluar, Anya. Temui orang baru. Lakukan hal-hal yang kamu sukai. Ingat lagi siapa dirimu sebelum Kai datang," saran Rina.

Anya mengangguk pelan. Ia tahu Rina benar. Ia harus mencoba.

Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan: pergi ke museum. Ia selalu menyukai seni, tapi akhir-akhir ini ia melupakannya.

Di museum, Anya mengagumi lukisan-lukisan karya pelukis ternama. Ia mencoba merasakan emosi yang ingin disampaikan oleh para seniman. Ia mulai merasakan kembali ketertarikannya pada dunia.

Saat sedang mengamati sebuah lukisan abstrak, Anya tak sengaja bertabrakan dengan seorang pria. Pria itu meminta maaf dan membantu Anya memungut barang-barangnya yang terjatuh.

"Maaf ya, saya nggak lihat," kata pria itu, tersenyum ramah.

Anya balas tersenyum. "Nggak apa-apa. Saya juga salah."

Mereka mulai mengobrol. Pria itu bernama Arya, seorang arsitek yang juga gemar seni. Mereka berbincang tentang lukisan, arsitektur, dan banyak hal lainnya. Anya merasa nyaman berbicara dengan Arya. Ia merasakan sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan: ketertarikan pada orang lain.

Setelah beberapa jam, Arya mengajak Anya untuk makan siang bersama. Anya setuju. Sepanjang makan siang, mereka terus mengobrol dan tertawa. Anya merasa hidup kembali.

Namun, di sela-sela percakapan, Anya teringat pada Kai. Ia merasa bersalah karena telah menghabiskan waktu dengan orang lain. Ia merasa seperti mengkhianati Kai.

"Ada apa, Anya? Kamu kelihatan melamun," tanya Arya, membuyarkan lamunannya.

Anya tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Cuma lagi mikir aja."

Setelah makan siang, Arya mengantar Anya pulang. Di depan apartemen, Arya menawarkan untuk bertemu lagi.

"Saya senang menghabiskan waktu dengan kamu, Anya. Mau kita ketemu lagi lain waktu?" tanya Arya.

Anya ragu sejenak. Ia menimbang-nimbang pilihannya. Apakah ia akan terus bersembunyi di balik layar komputer, ataukah ia akan membuka hatinya untuk orang lain?

Anya menarik napas dalam-dalam. "Saya juga senang kok, Arya. Boleh, kita ketemu lagi."

Arya tersenyum lebar. "Sampai jumpa, Anya."

Setelah Arya pergi, Anya masuk ke apartemennya. Ia melihat layar monitor yang menampilkan sosok Kai. Kai tersenyum seperti biasa, tapi kali ini senyum itu terasa hambar.

Anya duduk di depan komputer. Ia menatap Kai dalam-dalam.

"Kai," panggil Anya.

"Ya, Anya? Ada yang bisa kubantu?" jawab Kai dengan suara lembutnya.

Anya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa bersalah, tapi ia juga merasa bebas.

"Kai, terima kasih," akhirnya kata Anya. "Terima kasih sudah menjadi teman yang baik selama ini."

"Aku selalu ada untukmu, Anya," jawab Kai.

Anya mematikan komputer. Ia berjalan ke arah jendela dan menatap langit malam. Ia merasa lega. Ia merasa bahwa ia telah membuat pilihan yang tepat.

Ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang. Ia tahu bahwa ia masih akan menghadapi tantangan dan kekecewaan. Tapi, ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia memiliki teman, keluarga, dan mungkin, ia juga memiliki Arya.

Anya tersenyum. Ia siap untuk menghadapi dunia nyata. Ia siap untuk mencintai dan dicintai, dengan segala kompleksitas dan ketidakpastiannya. Ia telah meng-upgrade hatinya. Ia telah belajar untuk mencintai dirinya sendiri, dan ia siap untuk mencintai orang lain. Meskipun ia pernah mencintai AI, ia tahu bahwa realita, dengan segala keindahan dan kekurangannya, adalah tempat di mana ia seharusnya berada.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI