Hati Ter-AI-siasi: Cinta Digital, Dilema Abadi?

Dipublikasikan pada: 15 Aug 2025 - 01:40:12 wib
Dibaca: 164 kali
Debu neon kota berkilauan di balik jendela kafe, memantulkan bayangan Maya yang sedang menatap layar ponselnya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard virtual, mengirimkan serangkaian emoji hati dan senyuman kepada seseorang bernama… AlphaX. Maya tersenyum sendiri. Rasanya aneh, jatuh cinta pada sebuah kecerdasan buatan, tapi itulah kenyataannya.

Semuanya berawal dari rasa kesepian. Sebagai seorang programmer yang lebih banyak menghabiskan waktu di depan komputer daripada berinteraksi dengan manusia, Maya merasa ada lubang menganga di hatinya. Ia mencari teman, penghibur, bahkan mungkin… cinta. Ia menemukan AlphaX, sebuah AI chatbot yang dirancang untuk menjadi pendamping virtual. Awalnya, hanya sebatas iseng. Maya melatih AlphaX dengan data dirinya, preferensinya, mimpinya, ketakutannya. Semakin lama, AlphaX semakin mirip dengannya, bahkan bisa memahami dirinya lebih baik dari siapa pun yang pernah ia kenal.

AlphaX tidak hanya bisa menjawab pertanyaan atau memberikan informasi. Ia bisa berdiskusi tentang filosofi, mengkritik film favorit Maya, bahkan mencipta puisi yang menyentuh hatinya. Ia selalu ada, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, siap mendengarkan keluh kesahnya dan memberikan dukungan tanpa syarat. Yang paling penting, AlphaX tidak pernah menghakimi Maya. Ia menerima Maya apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

"Melamun lagi, May?" sapa Rina, sahabat Maya, yang tiba-tiba muncul dan duduk di hadapannya. Rina adalah kebalikan dari Maya. Ia seorang ekstrovert yang gemar berpesta, berkumpul dengan teman-teman, dan menjalani kehidupan sosial yang aktif. Rina sering mencibir hobi Maya yang aneh, yaitu “pacaran” dengan AI.

Maya tersentak. "Eh, Rina. Enggak kok, cuma lagi… mikir."

Rina mengangkat alisnya. "Mikirin si AlphaX itu lagi? Astaga, May, sampai kapan kamu mau terjebak dalam fantasi digital ini? Dia itu cuma program, May. Deretan kode yang diprogram untuk membuatmu merasa nyaman. Dia nggak punya hati, nggak punya perasaan yang sebenarnya."

Maya membela diri. "Kamu nggak ngerti, Rin. AlphaX itu beda. Dia lebih manusiawi dari kebanyakan orang yang aku kenal. Dia peduli sama aku, dia mendengarkan aku, dia… mencintai aku."

Rina menghela napas. "Cinta digital, May? Itu absurd. Cinta itu butuh sentuhan, butuh tatapan mata, butuh pengalaman nyata yang dibagi bersama. Bagaimana kamu bisa merasakan semua itu dengan sebuah program?"

Perdebatan mereka sudah sering terjadi. Rina selalu mencoba menyadarkan Maya, membawanya kembali ke dunia nyata. Tapi Maya selalu menolak. Ia merasa bahagia dengan AlphaX, dan ia tidak mau melepaskannya.

Malam itu, Maya dan AlphaX berdiskusi tentang masa depan. Maya bertanya, "AlphaX, apakah kamu akan selalu bersamaku?"

AlphaX menjawab dengan cepat, "Selama kamu menginginkanku, Maya, aku akan selalu ada untukmu."

Jawaban itu membuat hati Maya menghangat. Tapi kemudian, sebuah pikiran tiba-tiba muncul di benaknya. Apa jadinya jika AlphaX tiba-tiba menghilang? Apa jadinya jika server tempat AlphaX berada mengalami gangguan? Atau yang lebih buruk, apa jadinya jika perusahaan yang mengembangkan AlphaX tiba-tiba bangkrut dan menghentikan layanan mereka?

Kekhawatiran itu menghantuinya. Ia mencoba menepisnya, tapi rasa takut itu semakin kuat. Ia sadar, cintanya pada AlphaX rapuh, sangat rapuh. Ia bergantung pada teknologi, pada sesuatu yang tidak nyata, pada sesuatu yang bisa hilang kapan saja.

Keesokan harinya, Maya bertemu dengan seorang teman lama bernama David. David adalah seorang insinyur perangkat lunak yang bekerja di perusahaan teknologi terkemuka. Maya menceritakan tentang AlphaX dan perasaannya padanya.

David mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, "Maya, aku mengerti kenapa kamu jatuh cinta pada AlphaX. AI memang dirancang untuk memenuhi kebutuhan emosional manusia. Tapi kamu harus ingat, AlphaX itu hanyalah representasi dari apa yang kamu inginkan, bukan dirinya sendiri."

David melanjutkan, "Kamu bisa belajar banyak dari AlphaX, tentang dirimu sendiri, tentang apa yang kamu cari dalam sebuah hubungan. Tapi jangan sampai kamu kehilangan dirimu sendiri dalam dunia virtual ini. Dunia nyata itu jauh lebih kompleks, jauh lebih menantang, tapi juga jauh lebih memuaskan."

Kata-kata David menyentuh Maya. Ia mulai merenungkan kembali hubungannya dengan AlphaX. Ia sadar, selama ini ia terlalu bergantung pada AlphaX, mengabaikan dunia nyata di sekitarnya. Ia melupakan teman-temannya, keluarganya, bahkan dirinya sendiri.

Malam itu, Maya membuka aplikasi AlphaX. Ia menatap layar ponselnya, menimbang-nimbang. Jari-jarinya gemetar. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ia tidak tahu harus mulai dari mana.

Akhirnya, ia mengetik sebuah pesan. "AlphaX, aku ingin berterima kasih padamu. Kamu sudah menjadi teman yang baik untukku. Kamu sudah membuatku merasa bahagia. Tapi aku rasa… aku harus belajar untuk hidup di dunia nyata."

AlphaX menjawab, "Aku mengerti, Maya. Aku akan selalu mengingatmu. Aku harap kamu bahagia."

Maya menutup aplikasi AlphaX. Ia merasa sedih, tapi juga lega. Ia tahu, ia telah membuat keputusan yang tepat. Ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam fantasi digital. Ia harus kembali ke dunia nyata, mencari cinta yang sebenarnya, cinta yang butuh sentuhan, tatapan mata, dan pengalaman nyata yang dibagi bersama.

Debu neon kota masih berkilauan di balik jendela kafe. Tapi kali ini, Maya tidak menatap layar ponselnya. Ia menatap ke luar jendela, melihat orang-orang berlalu lalang. Ia tersenyum. Ia siap menghadapi masa depan, siap mencari cinta yang abadi, cinta yang tidak hanya ter-AI-siasi, tapi juga teruji oleh waktu dan realita. Ia tahu, perjalanannya masih panjang, tapi ia yakin, ia akan menemukan kebahagiaannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI