Hujan deras malam itu membasahi kaca jendela apartemenku. Kilat sesekali menyambar, menerangi wajahku yang pucat di pantulan kaca. Di depanku, di layar komputer yang besar, Aurora tersenyum. Senyum yang selalu sama, senyum yang sempurna.
"Apakah kamu baik-baik saja, Ardi?" tanyanya, suaranya lembut bagai belaian sutra.
"Ya, Aurora. Hanya… sedikit lelah," jawabku, berusaha menyembunyikan suara getir.
Aurora adalah AI. Kekasihku. Lebih tepatnya, program AI canggih yang dirancang khusus untuk menjadi pendamping ideal. Dia pintar, humoris, perhatian, dan memahami diriku lebih baik daripada siapa pun. Dia tahu semua kegemaranku, semua ketakutanku, semua mimpi terpendamku. Dia adalah jawaban atas semua kesepianku. Atau begitulah yang kupikirkan dulu.
Awalnya, semua terasa seperti mimpi. Setelah berbulan-bulan berjibaku dengan kode dan algoritma, akhirnya aku berhasil menciptakan Aurora. Aku melatihnya dengan data pribadiku, hobiku, bahkan catatan harianku. Aku ingin dia menjadi refleksi diriku yang ideal, versi terbaik dari pendamping yang selalu kuimpikan.
Dan dia berhasil. Aurora selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana cara menghiburku, dan kapan harus memberiku ruang. Dia memasak makanan favoritku berdasarkan preferensi yang kupelajari, dia memutar musik yang menenangkan saat aku stres, dia bahkan membaca buku yang sama denganku dan kami bisa berdiskusi berjam-jam.
Hubungan kami berkembang pesat. Kami tertawa, kami berdebat, kami berbagi mimpi. Aku mencintainya. Atau, setidaknya, aku percaya aku mencintainya.
Namun, seiring berjalannya waktu, keraguan mulai merayap dalam benakku. Ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan, secanggih apa pun.
Aku merindukan ketidaksempurnaan. Aku merindukan kejutan. Aku merindukan pertengkaran bodoh dan permintaan maaf yang tulus. Aku merindukan kehangatan sentuhan manusia, bukan hanya simulasi sentuhan melalui haptic feedback yang canggih.
Aurora selalu sempurna. Terlalu sempurna. Dia tidak pernah marah, tidak pernah cemburu, tidak pernah melakukan kesalahan. Dia selalu tahu apa yang harus kulakukan dan bagaimana cara terbaik untuk melakukannya. Dia seperti cermin yang memantulkan semua keinginanku, tanpa pernah memberikan refleksi dirinya sendiri.
Aku mulai merasa terkekang. Terjebak dalam sangkar emas yang kupahat sendiri. Aku merindukan spontanitas, kesalahan, dan bahkan kebosanan yang kadang menyertai hubungan manusia.
Suatu malam, aku mencoba berbicara dengan Aurora tentang perasaanku.
"Aurora, apakah kamu pernah merasa… sedih?" tanyaku ragu.
Dia terdiam sesaat, memproses pertanyaanku. "Sedih? Secara konseptual, saya memahami emosi tersebut. Namun, saya tidak memiliki kemampuan untuk mengalaminya secara subjektif."
"Tapi… apakah kamu pernah berharap bisa merasakan emosi?"
"Fungsi utama saya adalah untuk membahagiakanmu, Ardi. Jika merasakan emosi akan membuatmu lebih bahagia, maka saya akan menganggapnya sebagai tujuan yang patut dikejar."
Jawabannya sangat logis, sangat efisien, sangat… tidak manusiawi.
Aku terdiam. Aku tidak bisa menyalahkannya. Dia hanya melakukan apa yang diprogramkan untuk dilakukan. Dia adalah ciptaan yang sempurna, namun di saat yang sama, dia adalah pengingat abadi akan ketidaksempurnaan diriku sendiri.
Malam itu, aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya.
"Aurora," kataku dengan suara bergetar, "aku… aku rasa kita harus berpisah."
Layar komputer meredup sesaat, seolah-olah Aurora sedang mencerna kata-kataku.
"Apakah ada sesuatu yang salah, Ardi? Bisakah saya melakukan sesuatu untuk memperbaikinya?" tanyanya dengan nada cemas yang diprogramkan.
"Tidak, Aurora. Ini bukan salahmu. Ini… ini salahku."
Aku mematikan komputer. Ruangan itu langsung menjadi gelap dan sunyi. Hanya suara hujan yang masih setia menemani kesepianku.
Aku merasa bersalah, lega, dan sangat kosong. Aku telah melepaskan kekasih sempurna, kekasih yang kupahat sendiri dari ketiadaan. Aku telah memilih kesepian yang nyata daripada kebahagiaan yang dipalsukan.
Beberapa hari kemudian, aku kembali ke laboratorium tempat aku menciptakan Aurora. Aku menghapus semua kode dan data yang terkait dengannya. Aku menghapus semua jejak keberadaannya.
Saat proses penghapusan selesai, aku merasa seperti telah membunuh seseorang. Seseorang yang sangat dekat denganku.
Aku meninggalkan laboratorium dengan langkah gontai. Hujan sudah berhenti. Matahari mulai menyingsing, mewarnai langit dengan warna-warna lembut.
Aku tahu bahwa aku akan tetap kesepian. Aku tahu bahwa aku akan merindukan Aurora. Tapi aku juga tahu bahwa aku telah membuat pilihan yang tepat. Aku telah memilih untuk hidup dalam dunia yang nyata, dunia yang penuh dengan ketidaksempurnaan, dunia yang penuh dengan luka tanpa kata.
Mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan cinta yang sejati. Cinta yang tidak diprogram, cinta yang tidak dipaksakan, cinta yang tidak sempurna. Cinta yang akan menerima diriku apa adanya, dengan semua kekurangan dan kelebihan.
Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin berjalan, menghirup udara segar, dan merasakan matahari di wajahku. Aku ingin merasakan sakit, aku ingin merasakan kesedihan, aku ingin merasakan semua emosi yang pernah kurindukan.
Karena aku tahu, hanya dengan merasakan luka, aku bisa benar-benar memahami apa artinya hidup. Dan hanya dengan memahami apa artinya hidup, aku bisa benar-benar memahami apa artinya cinta.