Jejak digitalnya masih membekas di setiap sudut layar ponselku. Foto-foto kita di Tokyo, komentar-komentar konyol di unggahan teman, playlist Spotify yang kita buat bersama; semuanya adalah artefak dari sebuah algoritma cinta yang dulu kurasa sempurna. Dulu. Kata itu kini terasa seperti pisau tumpul yang mengiris kenangan.
Namanya Aiko. Aku mengenalnya lewat aplikasi kencan yang konon katanya, punya akurasi tinggi dalam mencocokkan kepribadian. Katanya. Algoritma itu menjodohkanku dengan seorang perempuan berprofesi sebagai data scientist di sebuah perusahaan teknologi terkemuka. Ironis, bukan? Cinta kami, yang dibangun atas dasar data dan kode, kini justru merapuh karena algoritma yang berbeda.
Pertemuan pertama kami di sebuah kedai kopi di bilangan Senopati terasa canggung sekaligus menjanjikan. Aiko persis seperti yang kubayangkan. Cerdas, analitis, namun punya selera humor yang unik. Kami membahas banyak hal, mulai dari kompleksitas neural network hingga keanehan kucing peliharaanku. Malam itu, aku merasa algoritma itu tidak sepenuhnya salah. Mungkin saja, di antara jutaan profil di aplikasi itu, ia telah berhasil menemukan separuh jiwaku.
Hari-hari selanjutnya terasa seperti mimpi indah yang di-kode dengan teliti. Kami menjelajahi kota, mencoba restoran baru, dan berbagi cerita tentang masa lalu yang membentuk kami. Aiko selalu punya cara untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Ia mengajariku tentang pentingnya data visualization dalam memahami emosi, dan bagaimana machine learning bisa digunakan untuk memprediksi perilaku manusia. Aku, yang berprofesi sebagai penulis lepas, merasa seperti memasuki dunia baru yang penuh dengan angka dan logika.
Namun, di balik keindahan itu, ada celah yang perlahan menganga. Aiko terlalu terpaku pada data. Ia selalu berusaha menganalisis setiap tindakanku, mencari pola dan korelasi untuk memastikan bahwa aku adalah pasangan yang ideal. Ia mengukur cintaku berdasarkan seberapa sering aku menghubunginya, seberapa cepat aku membalas pesannya, dan seberapa konsisten aku menunjukkan perhatian. Aku mengerti, ini adalah dunianya. Tapi, aku juga merasa terkekang. Cinta, bagiku, adalah sesuatu yang organik dan spontan. Bukan sesuatu yang bisa diukur dan dianalisis seperti sebuah dataset.
Perbedaan itu semakin terasa ketika kami mulai berdebat. Aiko selalu membawa data untuk mendukung argumennya. Ia akan menunjukkan statistik tentang hubungan yang langgeng, dan membandingkannya dengan perilaku kita. Aku merasa seperti sedang diinterogasi oleh seorang analyst yang berusaha membuktikan bahwa aku tidak cukup baik untuknya. Aku mencoba menjelaskan bahwa cinta tidak bisa direduksi menjadi angka dan grafik. Bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diukur, seperti perasaan, intuisi, dan empati. Tapi, Aiko sulit memahami. Baginya, segala sesuatu harus bisa dijelaskan dan dibuktikan dengan data.
Puncaknya terjadi saat kami berlibur ke Tokyo. Seharusnya, ini adalah liburan romantis yang mempererat hubungan kami. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Aiko terus-menerus membuat spreadsheet tentang pengeluaran kami, membandingkan harga makanan dan transportasi, dan mencari cara untuk mengoptimalkan anggaran. Aku merasa seperti sedang berlibur dengan seorang akuntan, bukan dengan kekasihku. Suatu malam, di tengah keramaian Shibuya Crossing, aku meledak.
“Aiko, bisakah kau berhenti sejenak? Bisakah kau menikmati momen ini tanpa harus menganalisis dan mengoptimalkan segalanya?”
Aiko terdiam, menatapku dengan tatapan dingin yang selama ini kucintai. “Aku hanya berusaha untuk efisien dan rasional,” jawabnya.
“Aku tahu. Tapi, hidup ini bukan hanya tentang efisiensi dan rasionalitas. Ada hal-hal yang lebih penting, seperti kebahagiaan dan kebersamaan.”
Malam itu, kami tidur di kamar hotel yang sama, namun terasa seperti berada di dua dunia yang berbeda. Aku sadar, algoritma cinta kami mulai memudar. Jarak antara kami semakin lebar, diisi oleh data dan logika yang tidak bisa kujembatani.
Setelah kembali dari Tokyo, kami memutuskan untuk berpisah. Keputusan itu terasa berat, namun juga melegakan. Aku merasa seperti melepaskan diri dari sebuah rantai yang mengikatku. Aiko setuju dengan keputusanku. Ia mengatakan bahwa data menunjukkan bahwa hubungan kami tidak lagi berkelanjutan. Aku tidak membantah. Mungkin saja, ia benar.
Sekarang, aku duduk di depan laptopku, menatap layar yang penuh dengan jejak digital Aiko. Aku menghapus foto-foto kita, unfollow akun media sosialnya, dan menghapus playlist Spotify yang kita buat bersama. Aku berusaha untuk menghilangkan semua artefak dari algoritma cinta yang telah memudar.
Tapi, aku tahu, ada beberapa hal yang tidak bisa kuhapus. Kenangan tentang senyumnya, tawa renyahnya, dan kecerdasannya yang memukau. Kenangan itu akan selalu menjadi bagian dari diriku, seperti kode yang tertanam dalam sistem operasi hatiku.
Mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan algoritma cinta yang baru. Algoritma yang lebih fleksibel, lebih intuitif, dan lebih manusiawi. Algoritma yang tidak hanya berfokus pada data, tapi juga pada perasaan dan empati.
Tapi untuk saat ini, aku akan fokus pada diriku sendiri. Aku akan belajar untuk mencintai diriku sendiri, sebelum aku mencoba untuk mencintai orang lain. Karena, pada akhirnya, algoritma cinta yang paling penting adalah algoritma yang kita gunakan untuk mencintai diri kita sendiri. Dan itu, adalah sesuatu yang tidak bisa diajarkan oleh aplikasi kencan mana pun. Jejak digital hatinya mungkin memudar, tapi pelajaran yang kudapat darinya akan selalu terukir dalam memori. Sebuah pelajaran tentang cinta, kehilangan, dan pentingnya mendengarkan suara hati, di tengah hiruk pikuk algoritma dan data.