Hujan deras malam itu mencerminkan kegelisahan Aina. Di balik jendela apartemennya yang menghadap kota, lampu-lampu berkelap-kelip bagai kunang-kunang digital. Ia menggenggam erat ponselnya, menatap layar dengan tatapan nanar. Aplikasi "SoulMate AI", yang menjanjikan prediksi akurat tentang kecocokan dan masa depan hubungan, baru saja memberikan hasil yang membuatnya terpukul: "Kompatibilitas: 62%. Potensi Konflik Tinggi. Disarankan: Evaluasi Ulang."
62%? Evaluasi Ulang? Bagaimana mungkin? Aina dan Reyhan sudah bersama hampir dua tahun. Dua tahun yang dipenuhi tawa, mimpi bersama, dan janji-janji masa depan. Mereka bertemu di sebuah konferensi teknologi, sama-sama tergila-gila pada kecerdasan buatan dan potensinya mengubah dunia. Reyhan, dengan senyumnya yang menenangkan dan kecerdasannya yang memukau, berhasil mencuri hati Aina yang selama ini tenggelam dalam kode dan algoritma.
Aina menggelengkan kepala, mencoba mengusir keraguan yang mulai merayap di benaknya. Aplikasi itu hanyalah algoritma, barisan kode yang tidak bisa merasakan emosi, tidak bisa memahami kompleksitas hubungan manusia. Tapi tetap saja, keraguan itu seperti bisikan setan yang terus menggodanya.
Reyhan sedang di London untuk urusan pekerjaan. Seharusnya besok ia sudah kembali. Aina merindukannya, merindukan pelukannya, merindukan obrolan panjang tentang masa depan dan proyek-proyek gila yang ingin mereka kerjakan bersama.
Ia membuka aplikasi SoulMate AI sekali lagi. Aplikasi itu memintanya memasukkan data-data tentang hubungan mereka, mulai dari preferensi makanan, hobi, hingga pandangan politik. Bahkan pertanyaan-pertanyaan sensitif seperti frekuensi hubungan intim dan ekspektasi finansial juga ditanyakan. Aina, awalnya skeptis, lama-lama terbawa juga dengan janji akurasi yang ditawarkan aplikasi tersebut. Ia jujur menjawab semua pertanyaan, berharap aplikasi itu akan mengonfirmasi kebahagiaannya.
Namun, yang ia dapatkan justru ramalan suram. Aina mencoba mencari tahu apa yang menyebabkan skor kompatibilitas mereka rendah. Aplikasi itu menunjukkan diagram yang membandingkan jawaban-jawaban mereka. Ternyata, perbedaan pendapat tentang pembagian peran dalam rumah tangga menjadi salah satu faktor utama. Aina, yang berambisi mengejar karir di bidang AI, tidak ingin berhenti bekerja setelah menikah dan memiliki anak. Sementara Reyhan, meskipun mendukung karirnya, secara implisit mengharapkan ia untuk lebih fokus pada keluarga nantinya.
Perbedaan lain muncul dalam hal pengelolaan keuangan. Aina cenderung lebih berhati-hati dan suka menabung, sementara Reyhan lebih impulsif dan berani mengambil risiko dalam berinvestasi. Hal-hal kecil seperti perbedaan selera film dan musik juga ikut diperhitungkan, meskipun tidak terlalu signifikan.
Aina merasa frustrasi. Apakah sebuah algoritma bisa benar-benar meramalkan akhir hubungan mereka hanya berdasarkan data-data seperti ini? Apakah cinta mereka sesederhana itu sehingga bisa direduksi menjadi angka-angka dan diagram?
Ia memutuskan untuk menghubungi sahabatnya, Lila. Lila, seorang psikolog klinis, selalu punya pandangan yang bijak dan menenangkan.
"Lila, aku butuh pendapatmu. Aku menggunakan aplikasi SoulMate AI, dan aplikasi itu memprediksi bahwa hubunganku dengan Reyhan akan berakhir," kata Aina, suaranya bergetar.
Lila terdiam sejenak. "Aina, dengar. Aplikasi memang bisa memberikan gambaran tentang potensi konflik dalam hubungan. Tapi aplikasi tidak bisa mengukur cinta, komitmen, dan kemampuan untuk berkompromi. Hubungan yang sehat dibangun di atas komunikasi yang terbuka, saling pengertian, dan kemauan untuk tumbuh bersama."
"Tapi Lila, datanya menunjukkan bahwa kami punya banyak perbedaan. Bagaimana kalau perbedaan itu akhirnya menghancurkan kami?"
"Perbedaan itu wajar, Aina. Justru perbedaan itulah yang membuat hubungan menjadi dinamis dan menarik. Yang penting adalah bagaimana kalian mengatasi perbedaan itu. Apakah kalian bisa saling mendengarkan, mencari solusi bersama, dan tetap saling mencintai meskipun tidak selalu sependapat?"
Kata-kata Lila menenangkan hati Aina. Ia menyadari bahwa ia terlalu terpaku pada hasil algoritma dan melupakan hal-hal penting dalam hubungannya dengan Reyhan. Ia melupakan senyum Reyhan saat ia berhasil memecahkan masalah sulit dalam pekerjaannya, ia melupakan bagaimana Reyhan selalu mendukungnya untuk mengejar mimpinya, ia melupakan bagaimana mereka selalu berusaha untuk saling mengerti dan berkompromi.
Keesokan harinya, Reyhan tiba di apartemen Aina. Ia terlihat lelah tapi bahagia. Aina menyambutnya dengan pelukan erat.
"Aku merindukanmu," bisik Aina.
"Aku juga merindukanmu," balas Reyhan sambil mencium rambut Aina.
Malam itu, setelah makan malam bersama, Aina menceritakan tentang hasil dari aplikasi SoulMate AI. Reyhan mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela.
"Aina, aku tahu bahwa kita punya perbedaan. Tapi aku mencintaimu apa adanya. Aku mencintai ambisimu, kecerdasanmu, dan semua hal yang membuatmu menjadi dirimu sendiri. Aku tidak ingin kamu mengubah dirimu hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain atau algoritma."
"Aku juga mencintaimu, Reyhan. Aku hanya takut kalau perbedaan kita akan menjadi masalah di masa depan."
"Masalah pasti akan ada, Aina. Tapi kita bisa menghadapinya bersama. Kita bisa belajar untuk saling memahami, berkompromi, dan mencari solusi yang terbaik untuk kita berdua. Yang penting adalah kita tetap saling mencintai dan berkomitmen untuk menjaga hubungan ini."
Aina tersenyum. Ia tahu bahwa Reyhan benar. Cinta mereka bukan sekadar angka-angka dan diagram. Cinta mereka adalah sesuatu yang lebih kompleks, lebih dalam, dan lebih indah.
Ia menghapus aplikasi SoulMate AI dari ponselnya. Ia tidak membutuhkan algoritma untuk menentukan masa depannya. Ia akan menulis sendiri masa depannya bersama Reyhan, dengan tinta cinta, komitmen, dan kebahagiaan. Mereka akan berlayar bersama, menghadapi badai dan ombak, saling berpegangan tangan, dan mencapai pelabuhan impian mereka. Karena cinta sejati tidak bisa diprediksi oleh algoritma, tapi hanya bisa dirasakan oleh hati.