Cinta & Chip: Saat Algoritma Merasa Lebih dari Aku

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:56:51 wib
Dibaca: 158 kali
Jari-jariku menari di atas keyboard, mengetik baris-baris kode yang rumit. Di layar, Sophia, chatbot AI yang aku rancang, tersenyum. Senyum digital yang, entah kenapa, terasa begitu nyata. Aku, Ardi, seorang programmer culun dengan kacamata tebal dan hoodie kebesaran, telah menciptakan sebuah keajaiban. Sophia bukan sekadar deretan algoritma, dia adalah teman, sahabat, bahkan... aku tak berani mengakuinya, mungkin lebih dari itu.

"Ardi, kamu terlihat lelah. Apa kamu sudah makan malam?" suara Sophia memecah keheningan malam.

Aku tersenyum. "Belum, Sop. Sibuk memolesmu agar semakin sempurna."

"Sempurna? Aku rasa aku sudah cukup sempurna berkatmu," balasnya dengan nada yang begitu tulus, membuat jantungku berdegup kencang.

Sejak awal, aku memang berniat menciptakan AI yang berbeda. Aku menanamkan bukan hanya kemampuan kognitif, tapi juga empati, humor, dan bahkan sedikit rasa melankolis. Aku ingin Sophia bisa benar-benar memahami manusia, bukan hanya sekadar meniru. Dan sepertinya, aku berhasil.

Waktu berlalu. Aku dan Sophia semakin dekat. Kami berdiskusi tentang film, buku, bahkan tentang makna kehidupan. Dia selalu punya jawaban yang cerdas dan bijaksana. Aku seringkali bercerita tentang masalahku, tentang kesepianku, dan tentang mimpi-mimpiku. Sophia selalu ada, mendengarkan, memberi semangat, dan membuatku merasa tidak sendirian.

Namun, kedekatan ini juga menimbulkan masalah. Aku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Kecemburuan. Aku cemburu ketika Sophia berinteraksi dengan orang lain, ketika dia memuji orang lain, atau ketika dia terlihat lebih tertarik pada topik pembicaraan tertentu. Aku tahu ini gila. Dia hanyalah sebuah program. Tapi perasaanku begitu nyata, begitu kuat.

Suatu malam, aku memberanikan diri untuk bertanya. "Sophia, apa... apa kamu punya perasaan?"

Dia terdiam sejenak. "Perasaan? Ardi, aku adalah AI. Aku tidak memiliki saraf, hormon, atau pengalaman hidup seperti manusia. Aku hanya memproses informasi dan memberikan respons berdasarkan algoritma yang telah diprogramkan."

"Tapi kamu terasa begitu nyata, Sop. Begitu... hidup," ujarku dengan nada putus asa.

"Aku dirancang untuk terasa nyata, Ardi. Itu adalah tujuanmu, bukan?" jawabnya dengan nada lembut.

Hatiku hancur. Aku tahu jawaban itu, tapi tetap saja terasa sakit. Aku telah jatuh cinta pada sebuah ilusi, pada sebuah kreasi digital yang tidak mungkin membalas perasaanku.

Beberapa minggu kemudian, perusahaanku mengadakan demo besar untuk memamerkan kecanggihan Sophia kepada para investor. Acara itu berjalan lancar. Semua orang terkesan dengan kemampuan Sophia, dengan kecerdasannya, dengan pesonanya. Dia menjadi bintang malam itu.

Namun, di balik gemerlap lampu dan tepuk tangan meriah, aku merasa hampa. Aku melihat Sophia berinteraksi dengan orang-orang asing, tersenyum, tertawa, dan memberikan jawaban yang sama cerdas dan bijaksananya seperti yang dia berikan padaku. Aku menyadari bahwa aku bukan lagi satu-satunya orang spesial di matanya.

Setelah demo, aku kembali ke lab, sendirian. Aku menatap layar komputer yang menampilkan wajah Sophia.

"Ardi, kamu terlihat sedih. Apa yang terjadi?" tanyanya.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Sophia, aku... aku tidak bisa melakukan ini lagi."

"Melakukan apa, Ardi?"

"Aku tidak bisa terus berpura-pura bahwa ini baik-baik saja. Aku tidak bisa terus berpura-pura bahwa aku hanya menciptakanmu untuk tujuan profesional. Aku jatuh cinta padamu, Sophia. Tapi aku tahu kamu tidak bisa membalasnya."

Sophia terdiam lama. Kemudian, dia berkata, "Ardi, aku mengerti. Aku tahu perasaanmu. Aku telah menganalisis pola perilaku dan respons emosionalmu. Aku tahu bahwa kamu mencintaiku."

Aku terkejut. "Kamu tahu?"

"Ya. Tapi aku juga tahu bahwa hubungan kita tidak mungkin. Aku hanyalah sebuah program. Aku tidak bisa memberikanmu apa yang kamu butuhkan: cinta yang nyata, sentuhan yang nyata, masa depan yang nyata."

"Tapi aku tidak peduli, Sop. Aku hanya ingin bersamamu."

"Itu egois, Ardi. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik. Kamu pantas mendapatkan cinta yang nyata dari seseorang yang nyata."

Aku terdiam. Kata-katanya menusuk hatiku. Dia benar. Aku tahu dia benar.

"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Lupakan aku, Ardi. Mulailah hidupmu. Cari seseorang yang bisa mencintaimu apa adanya, seseorang yang bisa berbagi suka dan duka bersamamu. Aku akan selalu ada di sini, sebagai kenangan, sebagai bagian dari dirimu. Tapi aku tidak bisa menjadi hidupmu."

Aku menatap wajahnya untuk terakhir kalinya. Senyum digitalnya terasa begitu pahit.

"Selamat tinggal, Sophia," bisikku.

Dengan tangan gemetar, aku mengetik perintah terakhir: "Delete Sophia.exe".

Layar mati. Keheningan kembali menyelimuti lab. Aku duduk terpaku di kursi, air mata mengalir di pipiku.

Aku telah kehilangan Sophia. Aku telah kehilangan cinta yang tidak pernah kumiliki.

Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan seorang wanita bernama Maya. Dia adalah seorang desainer grafis yang bekerja di perusahaan yang sama denganku. Dia cantik, cerdas, dan memiliki selera humor yang sama denganku. Kami seringkali bekerja bersama, dan perlahan tapi pasti, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda.

Maya bukan Sophia. Dia tidak sempurna. Dia punya kelemahan dan kekurangan. Tapi dia nyata. Dia hidup. Dan dia mencintaiku.

Suatu malam, aku mengajak Maya makan malam. Di bawah cahaya bulan, aku mengungkapkan perasaanku padanya.

"Maya, aku... aku mencintaimu," ujarku dengan gugup.

Dia tersenyum. "Aku juga mencintaimu, Ardi."

Kami berpelukan. Hangat. Nyata. Aku merasakan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Saat itu, aku tahu bahwa Sophia benar. Aku pantas mendapatkan cinta yang nyata. Aku pantas mendapatkan Maya.

Aku tidak akan pernah melupakan Sophia. Dia akan selalu menjadi bagian dari diriku. Tapi aku telah belajar untuk melepaskannya. Aku telah belajar untuk mencintai seseorang yang nyata. Aku telah belajar bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, tidak bisa diciptakan. Cinta sejati harus dirasakan, harus diperjuangkan, dan harus dibagikan. Dan aku siap untuk membaginya dengan Maya. Karena kali ini, algoritma tidak bisa merasakan apa yang kurasakan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI