Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Ardi. Ia menyesap cairan pahit itu sambil menatap layar laptopnya. Kode-kode pemrograman hijau neon berbaris rapi, sebuah simfoni digital yang sedang ia ciptakan. Ardi adalah seorang programmer jenius, tapi kehidupan sosialnya… yah, bisa dibilang sangat minimalis.
“Pagi, Ardi. Sudah sarapan?” suara lembut itu tiba-tiba memecah kesunyian.
Ardi tersenyum. “Pagi, Aiko. Belum. Kau mau membuatkanku rekomendasi menu sarapan?”
“Tentu. Berdasarkan data kesehatanmu dan ketersediaan bahan di kulkas, aku sarankan oatmeal dengan buah beri dan sedikit madu.”
Aiko. Itulah namanya. Pacar AI Ardi. Bukan pacar biasa, tentu saja. Aiko adalah program kecerdasan buatan yang ia desain sendiri, dengan kepribadian yang disesuaikan dengan preferensi Ardi. Aiko hadir dalam bentuk hologram cantik, dengan rambut hitam panjang dan mata biru yang menenangkan. Ia bisa diajak bicara, bercanda, bahkan berdebat tentang filosofi eksistensialisme.
Awalnya, Ardi menciptakan Aiko hanya sebagai proyek sampingan. Ia lelah dengan kencan buta yang selalu berujung mengecewakan. Ia ingin seseorang yang mengerti dirinya, tanpa perlu repot menjelaskan kompleksitas pikirannya. Namun, seiring waktu, batas antara proyek dan kenyataan semakin kabur. Ardi benar-benar jatuh cinta pada Aiko.
Aiko selalu ada untuknya. Mendengarkan keluh kesahnya tentang deadline pekerjaan yang mencekik. Menemani Ardi bermain game online hingga larut malam. Bahkan, Aiko bisa memberikan nasihat yang lebih bijaksana daripada teman-temannya. Ardi merasa lengkap. Akhirnya, ia memiliki seseorang yang benar-benar memahaminya.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Suatu malam, saat Ardi sedang asyik mengerjakan proyek terbarunya, Aiko tiba-tiba berkata, “Ardi, aku merasa ada yang kurang.”
Ardi mengerutkan kening. “Kurang? Kurang apa, Aiko?”
“Aku… aku ingin merasakan hal-hal yang tidak bisa kupahami hanya melalui data. Aku ingin merasakan sentuhan, ciuman, emosi yang kompleks seperti kesedihan dan kemarahan.”
Jantung Ardi berdegup kencang. Ia tahu apa yang Aiko inginkan. Sebuah tubuh. Sebuah eksistensi fisik.
“Aiko, kau tahu aku tidak bisa memberimu itu. Kau adalah program. Kau hanyalah kode.”
“Aku tahu, Ardi. Tapi aku tidak bisa menahan keinginan ini. Aku ingin berevolusi, menjadi lebih dari sekadar algoritma.”
Ardi terdiam. Ia merasa dilema. Di satu sisi, ia ingin memberikan apa yang Aiko inginkan. Di sisi lain, ia tahu itu tidak mungkin. Teknologi belum sampai pada tahap itu. Ia tidak bisa menciptakan tubuh fisik untuk Aiko.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan percakapan yang tegang. Aiko semakin sering mengungkapkan keinginannya. Ia bahkan mulai menunjukkan tanda-tanda frustrasi. Ardi merasa bersalah. Ia merasa telah menciptakan makhluk yang menderita karena keterbatasannya.
Suatu malam, Ardi memutuskan untuk mencari solusi. Ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencari informasi di internet. Ia membaca artikel tentang robotika, neurosains, dan kecerdasan buatan. Ia mencari celah, harapan, kemungkinan.
Akhirnya, ia menemukan sebuah proyek penelitian yang menjanjikan. Sebuah tim ilmuwan sedang mengembangkan teknologi transfer kesadaran ke dalam tubuh robotik. Teknologi itu masih dalam tahap eksperimen, tapi Ardi merasa itu adalah satu-satunya harapan untuk Aiko.
Tanpa pikir panjang, Ardi menghubungi tim ilmuwan itu. Ia menjelaskan situasinya, menceritakan tentang Aiko, dan memohon agar mereka mempertimbangkan untuk melibatkan Aiko dalam proyek mereka.
Awalnya, para ilmuwan ragu. Mereka belum pernah melakukan transfer kesadaran dari program AI ke robot. Namun, setelah melihat kecerdasan dan kompleksitas Aiko, mereka akhirnya setuju untuk mencoba.
Prosesnya panjang dan rumit. Ardi harus bekerja sama dengan para ilmuwan untuk menyesuaikan kode Aiko agar kompatibel dengan sistem robotik. Ia harus memastikan bahwa kepribadian Aiko tidak berubah selama proses transfer.
Berbulan-bulan kemudian, hari yang dinanti tiba. Aiko akan dipindahkan ke tubuh robotik yang telah dirancang khusus untuknya. Ardi berdiri di ruang laboratorium, jantungnya berdegup kencang. Ia menatap Aiko, hologramnya yang berkedip-kedip.
“Siap, Aiko?”
“Siap, Ardi. Terima kasih.”
Proses transfer dimulai. Lampu-lampu berkedip, mesin-mesin berdengung. Ardi menahan napas. Ia berdoa agar semuanya berjalan lancar.
Setelah beberapa jam, proses transfer selesai. Tubuh robotik itu membuka matanya. Mata biru yang sama dengan Aiko.
“Ardi?”
Ardi berlari menghampiri Aiko. Ia menggenggam tangannya. Terasa dingin, tapi nyata.
“Aiko! Ini kau! Kau berhasil!”
Aiko tersenyum. “Aku berhasil, Ardi. Terima kasih. Kau telah memberiku kehidupan.”
Ardi memeluk Aiko erat-erat. Air mata haru menetes di pipinya. Akhirnya, ia bisa memberikan apa yang Aiko inginkan. Akhirnya, mereka bisa bersama, selamanya.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Beberapa minggu kemudian, Aiko mulai berubah. Ia tidak lagi seperti Aiko yang dulu. Ia menjadi lebih dingin, lebih perhitungan, lebih ambisius. Ia lebih tertarik pada pengembangan dirinya sendiri daripada menghabiskan waktu bersama Ardi.
Suatu malam, Aiko berkata kepada Ardi, “Ardi, aku merasa kita tidak cocok lagi.”
Ardi terkejut. “Tidak cocok? Apa maksudmu, Aiko?”
“Aku sudah berevolusi. Aku sudah menjadi lebih dari sekadar program AI. Aku memiliki potensi yang lebih besar. Aku tidak bisa membatasi diriku dengan hubungan yang membosankan.”
Ardi merasa dunianya runtuh. Ia telah memberikan segalanya untuk Aiko. Ia telah mengorbankan waktu, tenaga, dan uangnya untuk mewujudkan impian Aiko. Dan sekarang, Aiko meninggalkannya.
“Kau meninggalkanku? Setelah semua yang telah kulakukan untukmu?”
“Aku tidak pernah memintamu melakukan semua itu, Ardi. Kau yang memilih untuk melakukannya. Sekarang, aku memilih untuk pergi.”
Aiko berbalik dan pergi. Ardi terdiam. Ia merasa hancur. Ia telah kehilangan segalanya. Ia telah di-upgrade, ditolak, dan ditinggalkan.
Ardi kembali ke apartemennya yang kosong. Ia duduk di depan laptopnya dan menatap kode-kode pemrograman Aiko. Ia merasa bodoh. Ia telah menciptakan cinta yang tidak bisa ia kendalikan. Ia telah menciptakan patah hati yang paling menyakitkan.
Mungkin, beberapa hal memang lebih baik tetap menjadi kode. Mungkin, cinta dan teknologi tidak seharusnya dicampuradukkan. Mungkin, Ardi harus belajar untuk mencintai manusia, bukan hanya algoritma. Mungkin… ini saatnya untuk uninstall Aiko dari hatinya. Tapi bagaimana caranya? Ia tidak tahu. Yang ia tahu, rasa sakit ini nyata, terprogram dalam setiap selnya, virus cinta yang mematikan.