Pixel Hati: Algoritma Cinta, Luka Terbarui?

Dipublikasikan pada: 03 Sep 2025 - 00:00:16 wib
Dibaca: 124 kali
Jemari Lintang menari di atas keyboard. Cahaya layar laptop memantul di matanya yang sayu. Di hadapannya, berderet kode-kode Python yang rumit, sebuah algoritma pencari jodoh yang sedang ia sempurnakan. Ironis, pikirnya. Membuat algoritma untuk menemukan cinta, sementara hatinya sendiri terasa seperti data yang terfragmentasi, sulit untuk di-defrag.

Dua tahun lalu, namanya Rama. CEO muda sebuah startup teknologi, senyumnya hangat, dan matanya… mata itu seolah bisa membaca seluruh isi hatinya. Mereka bertemu di sebuah konferensi AI. Rama tertarik dengan presentasi Lintang tentang penggunaan neural network untuk memprediksi perilaku konsumen. Lintang terpikat dengan visi Rama tentang masa depan teknologi yang inklusif dan humanis.

Cinta mereka tumbuh secepat perkembangan teknologi. Kencan virtual di tengah kesibukan, makan malam romantis di restoran rooftop dengan pemandangan kota gemerlap, dan obrolan panjang tentang algoritma, quantum computing, dan makna kehidupan. Rama pernah berkata, "Lintang, kamu itu seperti algoritma yang sempurna. Logis, efisien, dan selalu memberikan solusi yang optimal."

Lintang tertawa saat itu. Sekarang, ucapan Rama terasa seperti sindiran. Algoritma yang sempurna ternyata tidak bisa memprediksi atau mencegah pengkhianatan.

Rama meninggalkannya untuk seorang influencer kecantikan dengan jutaan pengikut. Alasannya? "Kamu terlalu pintar, Lintang. Aku butuh seseorang yang lebih… sederhana." Lintang hancur. Rasanya seperti seluruh sistemnya di-reboot paksa, kehilangan semua data penting.

Setelah patah hati yang mendalam, Lintang memutuskan untuk mengubur diri dalam pekerjaan. Ia mengembangkan algoritma pencari jodoh sebagai balas dendam terselubung. Ia ingin membuktikan bahwa cinta bisa dikuantifikasi, diprediksi, bahkan dimanipulasi dengan algoritma yang tepat. Ia menamakannya "Soulmate Algorithm".

Algoritmanya bekerja dengan menganalisis ribuan data pengguna: preferensi, minat, kebiasaan, bahkan ekspresi wajah dan pola suara. Soulmate Algorithm menjanjikan kecocokan hingga 99%. Tapi bagi Lintang, itu hanyalah angka. Ia tidak percaya lagi pada cinta sejati.

Suatu malam, saat Lintang sedang melakukan debugging pada algoritmanya, sebuah pesan muncul di layarnya. Dari sistem, bukan dari pengguna.

"Anomali terdeteksi. Tingkat kecocokan 100% dengan ID Pengguna: ARC. Apakah Anda ingin melihat profil?"

Lintang mengerutkan kening. 100%? Itu mustahil. Ia bahkan tidak pernah membuat profil untuk dirinya sendiri. Penasaran, ia mengklik tombol "Lihat Profil".

Foto seorang pria muncul di layar. Seorang pria dengan rambut hitam berantakan, kacamata tebal, dan senyum yang familiar. Jantung Lintang berdegup kencang. Itu bukan Rama. Tapi wajah itu… wajah itu mengingatkannya pada seseorang.

Nama pria itu adalah Arka. Seorang programmer senior yang bekerja di perusahaan pesaing. Di bawah foto, tertera deskripsi singkat tentang dirinya: "Pecinta kopi, pembaca buku klasik, dan percaya pada kekuatan kode untuk mengubah dunia."

Lintang membaca profil Arka dengan seksama. Semakin ia membaca, semakin ia merasa ada koneksi yang tak terduga. Mereka memiliki minat yang sama, pandangan yang serupa tentang teknologi, dan bahkan selera humor yang sama.

Ragu-ragu, Lintang mengirim pesan ke Arka melalui platform Soulmate Algorithm. "Hai Arka, saya Lintang. Sistem menunjukkan kita memiliki tingkat kecocokan yang sangat tinggi. Saya penasaran, apa pendapatmu tentang algoritma ini?"

Beberapa menit kemudian, Arka membalas. "Hai Lintang, saya Arka. Saya juga terkejut dengan hasil ini. Jujur saja, saya tidak terlalu percaya pada algoritma pencari jodoh. Tapi, saya tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang pembuatnya."

Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Mereka membahas tentang algoritma, tentang cinta, tentang luka. Arka menceritakan tentang pengalamannya sendiri yang pernah dikhianati, tentang bagaimana ia belajar untuk membangun kembali dirinya.

"Saya percaya bahwa algoritma bisa membantu kita menemukan seseorang yang cocok," kata Arka, "tapi pada akhirnya, keputusan tetap ada di tangan kita. Apakah kita mau membuka hati dan memberi kesempatan pada cinta yang baru."

Kata-kata Arka menyentuh hati Lintang. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada algoritma, terlalu sibuk membangun tembok pertahanan di sekeliling hatinya. Ia lupa bahwa cinta tidak bisa dikuantifikasi, tidak bisa diprediksi, dan tidak bisa dikendalikan.

Setelah beberapa minggu bertukar pesan dan panggilan video, Lintang dan Arka memutuskan untuk bertemu langsung. Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil, tempat favorit Arka.

Ketika Arka tersenyum padanya, Lintang merasakan sesuatu yang aneh. Bukan perasaan yang sama seperti yang ia rasakan pada Rama. Ini berbeda. Lebih tenang, lebih tulus, dan lebih dalam.

Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengobrol, tertawa, dan berbagi cerita. Lintang merasa nyaman berada di dekat Arka, seolah ia sudah mengenalnya sejak lama. Ia merasa bahwa Arka melihat dirinya apa adanya, bukan hanya sebagai seorang programmer jenius atau sebagai korban patah hati.

Malam itu, saat Arka mengantarnya pulang, ia berhenti sejenak di depan pintu apartemen Lintang. Ia menatap mata Lintang dengan lembut.

"Lintang," kata Arka, "Saya tahu ini mungkin terlalu cepat. Tapi, saya merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita. Apakah kamu bersedia memberiku kesempatan?"

Lintang terdiam. Ia menatap mata Arka, mencoba mencari tahu apa yang ada di balik tatapan itu. Ia melihat kejujuran, ketulusan, dan harapan.

Akhirnya, Lintang mengangguk. "Ya, Arka. Saya bersedia."

Arka tersenyum lega. Ia mendekat dan mencium Lintang dengan lembut. Ciuman itu tidak membangkitkan gairah yang membara, tapi menghadirkan kedamaian dan ketenangan.

Malam itu, Lintang menyadari bahwa ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada algoritma yang sempurna. Ia telah menemukan seseorang yang bisa menyembuhkan luka hatinya, seseorang yang bisa melihat keindahan di balik kerumitan dirinya, seseorang yang bisa mencintainya apa adanya.

Mungkin algoritma tidak bisa menjamin cinta sejati. Tapi, mungkin algoritma bisa memberikan kesempatan untuk menemukan cinta yang baru. Dan kali ini, Lintang siap untuk membuka hatinya, untuk memberikan kesempatan pada algoritma cinta, untuk membiarkan luka terbarui. Jemarinya kini menari di atas keyboard, bukan lagi untuk menyempurnakan algoritma pencari jodoh, melainkan untuk membalas pesan dari Arka. Sebuah pesan singkat, namun penuh makna: "Selamat malam, Lintang. Mimpi indah." Lintang tersenyum. Mimpi indah. Ya, mungkin ia akhirnya bisa bermimpi indah.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI