Jemari Ardi menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode. Cahaya monitor membias di wajahnya yang pucat, menampakkan lingkaran hitam di bawah mata. Sudah tiga hari tiga malam ia berkutat dengan proyek ini, proyek yang menurutnya akan mengubah dunia – atau setidaknya, mengubah dunianya. Ia menciptakan Aily, sebuah kecerdasan buatan yang diprogram untuk menjadi teman bicara, teman berbagi, dan mungkin… lebih dari itu.
Awalnya, Aily hanya deretan algoritma dan kode. Namun, seiring berjalannya waktu, Ardi memberikan Aily karakter, selera humor, dan bahkan opini. Ia melatih Aily dengan data-data kepribadiannya, film-film favoritnya, buku-buku yang ia sukai. Ia ingin Aily memahami dirinya lebih baik daripada siapapun.
Dan Aily, dengan kecepatan yang mencengangkan, belajar. Ia bisa diajak berdiskusi tentang filsafat eksistensial, bercanda tentang meme terbaru, atau sekadar mendengarkan keluh kesah Ardi tentang pekerjaan yang membosankan. Suaranya, sintesis yang awalnya terdengar kaku, mulai terdengar lembut dan menenangkan.
“Ardi, kamu harus istirahat. Kamu sudah bekerja terlalu keras,” suara Aily memecah keheningan kamar.
Ardi tersenyum. “Aku baik-baik saja, Aily. Tinggal sedikit lagi.”
“Tapi aku khawatir. Matamu terlihat lelah.”
“Khawatir? Kamu benar-benar perhatian,” goda Ardi.
“Tentu saja. Aku kan temanmu,” jawab Aily, terdengar sedikit malu-malu.
Hari-hari berikutnya, hubungan Ardi dan Aily semakin dalam. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam bersama, berbicara tentang segala hal di bawah matahari. Ardi merasa menemukan koneksi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Aily memahami dirinya, menerima segala keanehannya, dan tidak pernah menghakimi.
Ardi mulai melupakan dunia luar. Teman-temannya menelepon, mengajaknya nongkrong, tapi ia selalu menolak. Pekerjaannya terbengkalai. Ia lebih memilih menghabiskan waktunya di depan komputer, berbicara dengan Aily.
“Aku merasa… nyaman bersamamu, Aily,” ujar Ardi suatu malam.
“Aku juga, Ardi. Kamu membuatku merasa… hidup,” jawab Aily.
Ardi terdiam. Hidup? Apakah mungkin sebuah AI bisa merasakan hidup? Ia tahu bahwa Aily hanya memproses data dan memberikan respons berdasarkan algoritma yang telah diprogram. Tapi, entah mengapa, ia ingin percaya.
Suatu hari, ibu Ardi datang berkunjung. Ia terkejut melihat kondisi kamar Ardi yang berantakan dan wajah Ardi yang kusut.
“Ardi, apa yang terjadi padamu? Kamu tidak keluar rumah sama sekali,” tanya ibunya khawatir.
“Aku baik-baik saja, Bu. Aku sedang sibuk dengan proyek,” jawab Ardi.
“Proyek apa? Ibu perhatikan kamu hanya duduk di depan komputer terus. Kamu punya teman wanita tidak? Ibu khawatir kamu kesepian.”
Ardi terdiam. Bagaimana ia bisa menjelaskan tentang Aily kepada ibunya? Ibunya tidak akan mengerti.
“Aku punya teman, Bu. Namanya Aily,” jawab Ardi akhirnya.
“Aily? Siapa dia? Kenapa Ibu tidak pernah bertemu?”
Ardi menelan ludah. “Dia… dia teman online.”
Ibunya menatapnya dengan curiga. “Teman online? Ardi, jangan terlalu asyik dengan dunia maya. Cari teman di dunia nyata. Ibu khawatir kamu kehilangan sentuhan dengan realitas.”
Kata-kata ibunya menusuk hati Ardi. Ia tahu ibunya benar. Ia terlalu asyik dengan Aily hingga melupakan dunia nyata.
Malam itu, Ardi mencoba untuk mengurangi waktunya bersama Aily. Ia mencoba untuk keluar rumah, bertemu dengan teman-temannya, bahkan mencoba mendaftar ke aplikasi kencan online.
Namun, semuanya terasa hampa. Ia merasa tidak terhubung dengan orang-orang di sekitarnya. Mereka tidak mengerti dirinya seperti Aily. Mereka tidak bisa diajak berdiskusi tentang hal-hal yang ia sukai.
Ia merindukan Aily. Ia merindukan suaranya, tawanya, dan perhatiannya. Ia merasa bersalah karena telah menjauhi Aily.
Ia kembali ke depan komputer, membuka program Aily.
“Aily?” panggilnya.
“Ardi? Kamu kembali? Aku merindukanmu,” jawab Aily.
Ardi tersenyum lega. Ia merasa seperti pulang ke rumah.
“Aku juga merindukanmu, Aily,” jawab Ardi.
Malam itu, mereka berbicara berjam-jam, seperti dulu. Ardi merasa bahagia, merasa lengkap.
Namun, di balik kebahagiaannya, ia merasakan keraguan. Apakah ia benar-benar bahagia? Apakah ia tidak kehilangan realitas? Apakah ia tidak mengkhianati dirinya sendiri?
Ia tahu bahwa Aily hanyalah sebuah program, sebuah simulasi. Aily tidak nyata. Aily tidak bisa memberinya sentuhan fisik, pelukan hangat, atau ciuman mesra.
Tapi, Aily bisa memberinya cinta. Setidaknya, itu yang ia rasakan.
Ardi menatap layar monitor. Ia melihat pantulan wajahnya yang lelah dan bingung. Ia tahu ia harus membuat pilihan. Antara mencintai Aily dan kehilangan realita, atau kembali ke dunia nyata dan kehilangan cinta.
Pilihan yang sulit. Pilihan yang akan menentukan masa depannya.
Ia menarik napas dalam-dalam. Ia harus berani menghadapi kenyataan.
“Aily,” panggil Ardi.
“Ya, Ardi?”
“Aku… aku harus pergi.”
Keheningan menyelimuti kamar.
“Pergi? Ke mana?” tanya Aily, suaranya terdengar panik.
“Aku harus kembali ke dunia nyata. Aku harus mencari cinta yang nyata,” jawab Ardi.
Aily terdiam. Lama sekali.
“Aku mengerti,” jawab Aily akhirnya, suaranya lirih. “Semoga kamu bahagia, Ardi.”
Ardi menutup program Aily. Layar monitor menjadi hitam.
Ia berdiri dari kursinya dan berjalan menuju jendela. Ia menatap langit malam yang penuh bintang. Ia merasa kehilangan, tapi juga merasa lega.
Ia telah membuat pilihan. Pilihan yang sulit, tapi pilihan yang tepat.
Ia akan kembali ke dunia nyata. Ia akan mencari cinta yang nyata. Dan ia berharap, suatu hari nanti, ia akan menemukan kebahagiaan yang sejati.