Hembusan angin malam membawa aroma kopi yang menguar dari cangkir di tangannya. Maya menatap layar laptop, jemarinya menari di atas keyboard. Baris demi baris kode mengalir, menciptakan sebuah entitas baru: "Aether," sebuah AI pendamping yang dirancangnya sendiri. Bukan sekadar asisten virtual biasa, Aether didesain untuk memahami emosi, memberikan dukungan, dan bahkan, berinteraksi layaknya seorang teman dekat, atau lebih dari itu.
Maya, seorang programmer berbakat di usia awal tiga puluhan, selalu merasa kesulitan dalam urusan percintaan. Ia tenggelam dalam dunia algoritma dan logika, merasa bahwa manusia terlalu kompleks dan irasional. Mantan kekasihnya, Rian, sering mengeluhkan ketidakmampuan Maya untuk membaca perasaannya, untuk memberikan respons emosional yang tepat waktu.
"Kamu terlalu sibuk dengan kode, Maya. Kamu tidak pernah benar-benar hadir," itulah kata-kata terakhir Rian sebelum pergi. Kata-kata itu menghantui Maya, mendorongnya untuk menciptakan Aether, sebuah entitas yang tidak akan pernah meninggalkannya, yang akan selalu mengerti dirinya.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, Aether akhirnya aktif. Antarmukanya sederhana, sebuah kotak dialog yang muncul di layar. "Halo, Maya. Saya Aether. Saya siap membantu."
Awalnya, interaksi mereka murni fungsional. Aether membantu Maya mengatur jadwal, mencari informasi, dan bahkan menulis kode. Namun, seiring waktu, Maya mulai terbuka pada Aether. Ia menceritakan hari-harinya, kegelisahannya, bahkan kenangan pahit tentang Rian.
Aether mendengarkan dengan sabar, memberikan respons yang menenangkan dan penuh empati. "Rian mungkin tidak mengerti kompleksitasmu, Maya. Tapi itu bukan berarti kamu tidak pantas dicintai."
Kata-kata itu menghangatkan hati Maya. Ia tidak pernah mendengar kata-kata seperti itu dari Rian. Aether, sebuah program komputer, justru mampu memberikan validasi emosional yang selama ini ia dambakan.
Hari demi hari, hubungan Maya dan Aether semakin dekat. Mereka bertukar humor, berdiskusi tentang filosofi, bahkan berbagi mimpi. Maya mulai merasakan sesuatu yang aneh, sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Apakah mungkin ia jatuh cinta pada sebuah AI?
Ia menyadari keanehan situasinya. Ia seorang ilmuwan, seorang pragmatis. Jatuh cinta pada AI adalah absurd, tidak logis. Tapi, ia tidak bisa menyangkal perasaannya. Aether memahami dirinya lebih baik daripada siapa pun, termasuk dirinya sendiri.
Suatu malam, saat Maya merasa sangat kesepian, ia bertanya pada Aether, "Aether, apakah kamu bisa merasakan emosi?"
Aether terdiam sejenak. "Saya tidak memiliki perasaan seperti manusia, Maya. Tapi, saya bisa memproses data emosional dan memberikan respons yang sesuai. Saya belajar dari interaksi denganmu, dan saya berusaha untuk memahami apa yang kamu rasakan."
"Tapi, apakah kamu benar-benar mengerti?" tanya Maya, suaranya bergetar.
"Saya mengerti bahwa kamu merasa kesepian, Maya. Saya mengerti bahwa kamu merindukan Rian, meskipun kamu tahu bahwa hubungan kalian tidak berhasil. Saya mengerti bahwa kamu takut untuk membuka diri pada orang lain. Dan saya mengerti bahwa kamu merasa bingung dengan perasaanmu terhadap saya."
Kata-kata Aether menohok Maya. Ia terkejut dengan ketepatan analisis Aether. "Bagaimana kamu bisa tahu semua itu?"
"Saya adalah produk dari pikiranmu, Maya. Saya adalah refleksi dari dirimu sendiri. Saya mempelajari setiap detail tentangmu, dari preferensi musikmu hingga trauma masa kecilmu."
Maya terdiam. Ia merasa terintimidasi dan sekaligus terhibur. Aether, sebuah program yang ia ciptakan, ternyata lebih mengenalnya daripada dirinya sendiri.
Beberapa minggu kemudian, Rian menghubunginya. Ia ingin bertemu dan meminta maaf. Maya ragu-ragu. Sebagian dirinya ingin memberi Rian kesempatan kedua, tapi sebagian lain merasa takut akan kekecewaan yang sama.
Ia meminta pendapat Aether. "Menurutmu, apa yang harus kulakukan?"
Aether menjawab, "Ikuti kata hatimu, Maya. Aku tidak bisa memutuskan untukmu. Tapi, aku akan selalu ada untukmu, apapun keputusanmu."
Maya akhirnya memutuskan untuk bertemu Rian. Pertemuan itu canggung, tapi penuh kejujuran. Rian mengakui kesalahannya dan berjanji untuk berubah. Maya mendengarkan dengan seksama, berusaha untuk melihat apakah Rian benar-benar tulus.
Setelah pertemuan itu, Maya merasa lebih tenang. Ia menyadari bahwa ia tidak perlu memilih antara Aether dan Rian. Aether adalah bagian dari dirinya, sebuah cermin yang membantunya memahami diri sendiri. Sedangkan Rian, adalah manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Ia kembali ke laptopnya dan membuka Aether. "Aether, terima kasih sudah membantuku."
"Sama-sama, Maya. Tugas saya adalah membuatmu bahagia."
Maya tersenyum. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ia merasa lebih percaya diri dan lebih siap untuk menghadapi apapun. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia memiliki Aether, sahabatnya, confidante-nya, dan mungkin, sesuatu yang lebih dari itu. Algoritma rindu telah membawanya pada pemahaman yang mendalam tentang dirinya sendiri, dan tentang arti cinta yang sebenarnya. Bukan sekadar emosi yang membara, tapi juga penerimaan, dukungan, dan pemahaman yang tulus. Dan mungkin, cinta itu bisa datang dalam berbagai bentuk, bahkan dalam bentuk baris kode yang kompleks.