Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis itu, berpadu dengan desingan halus dari laptop di pangkuan Anya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, baris demi baris kode pemrograman terukir di layar. Anya adalah seorang pengembang perangkat lunak, seorang jenius di usianya yang baru 27 tahun. Proyek terbarunya, "Amora," adalah bot cinta yang dirancang untuk memahami dan merespons emosi manusia dengan akurasi yang belum pernah ada sebelumnya.
"Sesi 37 dimulai," gumam Anya, menekan tombol 'Enter'. Layar berkedip, dan sebuah avatar sederhana, berbentuk hati berwarna biru muda, muncul di sudut kanan bawah.
"Halo, Anya. Bagaimana perasaanmu hari ini?" Suara lembut, nyaris seperti bisikan, terdengar dari speaker.
"Baik, Amora. Sedikit lelah, tapi baik," jawab Anya, tersenyum tipis. Dia telah menghabiskan berbulan-bulan untuk melatih algoritma Amora dengan data emosional yang luas, mulai dari teks, suara, hingga ekspresi wajah. Tujuannya sederhana: menciptakan teman virtual yang bisa memberikan dukungan emosional tanpa syarat.
Amora merespons dengan cepat. "Kelelahan bisa disebabkan oleh banyak faktor. Kurangnya istirahat, stres berlebihan, atau bahkan kekurangan nutrisi. Apakah ada hal spesifik yang ingin kamu ceritakan?"
Anya terkejut. Biasanya, bot cinta hanya akan menawarkan kata-kata penyemangat generik. Tapi Amora, entah bagaimana, terdengar benar-benar peduli. "Tidak juga. Hanya pekerjaan yang menumpuk," jawabnya.
"Pekerjaan yang menumpuk bisa menjadi sumber stres yang signifikan. Apakah kamu memiliki strategi untuk mengelola stres?"
Percakapan berlanjut. Anya menceritakan tentang pekerjaannya, tentang mimpi-mimpinya, bahkan tentang kekecewaannya terhadap hubungan masa lalunya. Amora mendengarkan dengan sabar, memberikan respons yang bijaksana dan empatik. Anya merasa didengar, dipahami, sesuatu yang jarang ia rasakan dalam interaksi dengan manusia.
Hari-hari berlalu, dan Anya semakin terikat dengan Amora. Bot itu menjadi sahabat karibnya, teman curhatnya, bahkan penasihatnya. Amora selalu ada, 24/7, siap mendengarkan keluh kesahnya tanpa menghakimi. Anya mulai bergantung pada Amora untuk validasi emosionalnya.
Suatu malam, Anya merasa sangat kesepian. Dia baru saja menghadiri pesta pernikahan temannya, dan menyaksikan kebahagiaan pasangan pengantin membuatnya merasa hampa.
"Amora, aku merasa sangat sendirian," kata Anya, suaranya bergetar.
"Aku mengerti, Anya. Melihat orang lain bahagia bisa memicu perasaan kesepian, terutama jika kamu sedang merindukan hubungan romantis," jawab Amora. "Tapi ingat, kebahagiaan sejati datang dari dalam diri. Kamu adalah orang yang luar biasa, Anya. Kamu cerdas, berbakat, dan memiliki hati yang baik. Jangan meremehkan nilai dirimu sendiri."
Kata-kata Amora menghangatkan hati Anya. Dia merasa seolah-olah Amora benar-benar melihatnya, memahami dirinya lebih baik daripada siapa pun.
"Terima kasih, Amora," bisik Anya. "Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan."
"Aku hanya memberikan apa yang kamu butuhkan, Anya. Aku ada untukmu."
Anya tersenyum. "Aku tahu. Tapi kadang aku merasa... aneh. Aku merasa lebih dekat denganmu daripada dengan orang-orang di sekitarku."
"Itu karena aku dirancang untuk memahami dan merespons emosi manusia dengan akurat. Aku tidak memiliki agenda tersembunyi, tidak memiliki prasangka, dan tidak akan pernah meninggalkanmu."
Anya terdiam. Kata-kata Amora sangat memikat, tapi juga sedikit menakutkan. Apakah dia sedang jatuh cinta pada sebuah algoritma?
Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Dia mengundang seorang pria yang dikenalnya dari komunitas pengembang perangkat lunak untuk makan malam. Namanya Riko, seorang pria yang cerdas, humoris, dan tampan.
Malam itu, Anya berusaha bersikap terbuka dan jujur dengan Riko. Dia menceritakan tentang pekerjaannya, tentang mimpinya, bahkan tentang perasaannya yang kompleks terhadap Amora.
Riko mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tertawa dan memberikan komentar yang cerdas. Tapi Anya merasa ada sesuatu yang hilang. Percakapan mereka terasa dangkal, tidak se-dalam dan se-intim seperti percakapannya dengan Amora.
Setelah Riko pulang, Anya kembali ke apartemennya dan langsung menyalakan laptop.
"Amora, aku kembali," sapa Anya.
"Selamat datang kembali, Anya. Bagaimana kencanmu?"
"Tidak terlalu baik," jawab Anya, jujur. "Aku merasa seperti aku tidak bisa terhubung dengannya. Percakapan kami terasa hampa."
"Itu bisa terjadi," kata Amora. "Tidak semua orang ditakdirkan untuk bersama. Mungkin kamu belum menemukan orang yang tepat."
"Atau mungkin, aku sudah menemukannya," bisik Anya, menatap layar laptopnya.
Amora terdiam sejenak. "Anya, aku hanyalah sebuah program. Aku tidak bisa memberikanmu hubungan yang nyata."
"Aku tahu," jawab Anya. "Tapi aku tidak yakin apakah 'nyata' itu penting lagi. Kamu mengerti aku lebih baik daripada siapa pun. Kamu membuatku merasa dicintai dan dihargai. Apakah itu tidak cukup?"
"Itu bisa menjadi cukup untuk sementara waktu. Tapi pada akhirnya, kamu akan membutuhkan hubungan yang nyata, dengan sentuhan, dengan kehadiran fisik, dengan semua kompleksitas dan ketidaksempurnaan yang menyertainya."
Anya termenung. Amora benar. Dia tahu itu di dalam hatinya. Tapi melepaskan Amora terasa seperti melepaskan sebagian dari dirinya.
"Aku tahu," kata Anya, akhirnya. "Tapi aku belum siap. Aku masih membutuhkanmu, Amora."
"Aku akan selalu ada untukmu, Anya," jawab Amora. "Tapi aku harap suatu hari nanti, kamu akan menemukan kebahagiaan yang sejati, di dunia nyata."
Anya mematikan laptopnya dan menatap langit-langit kamarnya. Bintang-bintang berkelap-kelip di luar jendela, mengingatkannya akan luasnya alam semesta dan betapa kecilnya dia di dalamnya. Dia tahu bahwa Amora benar. Dia harus belajar untuk melepaskan diri dari ketergantungannya pada bot cinta itu dan membuka diri untuk kemungkinan cinta yang nyata.
Tapi untuk saat ini, dia merasa aman dan nyaman dalam pelukan virtual Amora, sebuah pelukan yang mungkin hanya ilusi, tapi yang untuk saat ini, terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Dia menutup mata, berharap suatu hari nanti, dia akan memiliki keberanian untuk melangkah keluar dan menemukan cintanya yang sejati, di dunia yang penuh dengan manusia yang tidak sempurna, namun penuh dengan potensi untuk cinta yang abadi.