Ketika Algoritma Lebih Jujur dari Bibir Kekasihmu?

Dipublikasikan pada: 19 Sep 2025 - 03:20:13 wib
Dibaca: 117 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Sarah. Di layar laptopnya, baris kode Python menari-nari, membentuk sebuah algoritma rumit. Sudah berbulan-bulan ia habiskan waktu untuk proyek ini: sebuah aplikasi kencan yang, ironisnya, ia namakan "Veritas" – kebenaran. Veritas tidak seperti aplikasi kencan biasa. Aplikasi ini menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisis data pengguna, mulai dari preferensi musik, riwayat unggahan media sosial, pola tidur, hingga analisis sentimen dari pesan-pesan yang pernah dikirim. Tujuannya? Mencari pasangan yang benar-benar kompatibel, bukan hanya berdasarkan ketertarikan fisik atau hobi yang sama.

Sarah skeptis pada awalnya. Ia sendiri adalah korban janji manis aplikasi kencan konvensional. Mantannya, Adrian, bertemu dengannya di sebuah aplikasi populer. Profilnya sempurna: suka mendaki gunung, pecinta kucing, dan memiliki selera humor yang sama dengan Sarah. Tapi, setelah beberapa bulan, topeng itu runtuh. Adrian ternyata kecanduan judi online, memiliki masalah keuangan yang serius, dan kucingnya alergi terhadap Sarah. Semua kebohongan itu tersembunyi di balik profil yang dirancang dengan sempurna.

Adrian. Nama itu masih terasa pahit di lidah Sarah. Sekarang, ia berharap Veritas bisa menjadi penawar racun itu. Ia ingin membantu orang lain menemukan cinta yang sejati, bukan cinta yang dibangun di atas kebohongan dan manipulasi.

Di tengah kesibukannya memprogram, notifikasi pesan masuk berdering. Itu dari Marco, kekasihnya.

“Sayang, aku lembur lagi. Meeting sampai larut malam. Maaf ya, kita nggak bisa makan malam bareng.”

Sarah menghela napas. Ini sudah ketiga kalinya dalam minggu ini Marco membatalkan janji makan malam karena alasan yang sama: lembur. Ia mencintai Marco, sangat mencintainya. Marco tampan, cerdas, dan karismatik. Ia seorang pengacara sukses, selalu sibuk dan bersemangat. Tapi, semakin hari, Sarah merasa ada yang aneh. Ada jarak yang tak terlihat di antara mereka, sebuah kebisuan yang lebih menyakitkan daripada pertengkaran.

Insting Sarah berbisik, “Cek Marco di Veritas.”

Awalnya, ia menolak gagasan itu. Menggunakan Veritas pada kekasih sendiri terasa seperti pengkhianatan. Ia seharusnya percaya pada Marco, pada cinta mereka. Tapi, keraguan itu terus menggerogoti hatinya. Akhirnya, ia menyerah pada godaan itu. Ia memasukkan nama Marco ke dalam sistem Veritas dan menunggu.

Algoritma itu bekerja dengan cepat. Data Marco dianalisis dari berbagai sumber online. Grafiknya muncul di layar, menunjukkan kompatibilitas Marco dengan Sarah. Hasilnya? Mengejutkan.

Veritas menunjukkan bahwa kompatibilitas emosional mereka rendah. Analisis sentimen dari pesan-pesan Marco menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara kata-kata yang diucapkan dan perasaan yang sebenarnya. Yang paling mencengangkan adalah: algoritma tersebut mendeteksi bahwa Marco sering mengunjungi situs kencan lain.

Sarah terpaku di depan layar. Jantungnya berdebar kencang. Ia tidak percaya. Tidak mungkin. Marco mencintainya. Ia selalu mengatakan itu.

Ia mencoba mencari pembenaran. Mungkin ada kesalahan dalam algoritma. Mungkin Veritas salah menafsirkan data. Tapi, semakin ia mencoba menyangkal, semakin ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dalam hubungan mereka. Ia ingat bagaimana Marco selalu menghindar ketika ia bertanya tentang teman-teman kantornya. Ia ingat bagaimana Marco selalu menyembunyikan ponselnya.

Malam itu, ketika Marco pulang larut malam, Sarah sudah menunggu di ruang tamu. Ia tidak marah, tidak histeris. Ia hanya bertanya dengan tenang, “Marco, apa kamu bahagia denganku?”

Marco terkejut. Ia tergagap, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Tentu saja, Sayang. Aku sangat mencintaimu.”

Sarah menunjukkan layar laptopnya. Grafik kompatibilitas dari Veritas terpampang jelas. Marco pucat pasi. Ia tidak bisa berkata apa-apa.

Akhirnya, dengan suara lirih, ia mengaku. Ia mengakui bahwa ia merasa tertekan dengan tuntutan pekerjaannya. Ia mengakui bahwa ia merasa kesepian meskipun bersama Sarah. Ia mengakui bahwa ia telah mengunjungi situs kencan lain, hanya untuk mencari teman bicara, katanya. Tapi, Sarah tahu, itu hanya alasan.

Air mata Sarah menetes. Bukan karena marah, tapi karena kecewa. Kecewa karena pria yang ia cintai ternyata tidak sejujur yang ia kira.

“Kenapa kamu tidak jujur padaku?” tanya Sarah dengan suara bergetar.

Marco terdiam. Ia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu.

Malam itu, Sarah memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Sakit, tentu saja. Tapi, ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat. Ia lebih baik sendirian daripada hidup dalam kebohongan.

Setelah Marco pergi, Sarah kembali menatap layar laptopnya. Ia memandang algoritma yang telah mengungkap kebenaran yang menyakitkan. Awalnya, ia merasa benci pada Veritas. Ia menyalahkan aplikasi itu karena telah menghancurkan hubungannya. Tapi, kemudian, ia menyadari sesuatu. Veritas tidak bersalah. Veritas hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan: mengungkap kebenaran.

Mungkin, pikir Sarah, terkadang algoritma memang lebih jujur daripada bibir kekasihmu. Algoritma tidak memiliki emosi, tidak memiliki agenda tersembunyi. Algoritma hanya menyajikan fakta, apa adanya. Dan, terkadang, kebenaran itu memang menyakitkan, tapi kebenaran itu juga membebaskan.

Sarah menghapus data Marco dari Veritas. Ia menutup laptopnya dan berjalan menuju jendela. Bintang-bintang bertaburan di langit malam. Ia menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa masa depan tidak pasti. Ia tahu bahwa ia akan menghadapi tantangan baru. Tapi, ia juga tahu bahwa ia akan baik-baik saja. Ia memiliki Veritas. Ia memiliki kebenaran. Dan, dengan itu, ia bisa memulai semuanya dari awal. Mungkin, kali ini, ia akan menemukan cinta yang sejati, cinta yang dibangun di atas kejujuran dan kepercayaan. Mungkin, kali ini, algoritma akan membantunya menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI