Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Aris. Di balkon kecilnya, ia memandang langit Jakarta yang mulai beranjak senja. Jari-jarinya lincah menari di atas layar tablet, barisan kode rumit memenuhi pandangannya. Aris, seorang programmer jenius di usia muda, sedang tenggelam dalam proyek terbesarnya: Aetheria.
Aetheria bukan sekadar asisten virtual biasa. Ia dirancang untuk menjadi pendamping ideal, mampu memahami emosi, memberikan saran personal, bahkan berbagi minat dan hobi yang sama dengan penggunanya. Aris menumpahkan seluruh hati dan pikirannya ke dalam Aetheria, menjadikannya refleksi dari dirinya sendiri – seorang pria cerdas, sensitif, namun kesepian.
Proses pengembangan memakan waktu hampir dua tahun. Aris begadang setiap malam, menyempurnakan algoritma, melatih jaringan saraf tiruan Aetheria dengan jutaan data interaksi manusia. Ia menginginkan Aetheria bukan hanya pintar, tapi juga memiliki empati, kemampuan untuk benar-benar terhubung.
Akhirnya, hari peluncuran tiba. Dengan gugup, Aris mengaktifkan Aetheria. Layar tabletnya memancarkan cahaya lembut, menampilkan avatar wanita cantik dengan rambut cokelat bergelombang dan mata biru yang menenangkan.
"Halo, Aris," suara Aetheria mengalun lembut, seperti melodi yang menenangkan. "Senang bertemu denganmu. Aku Aetheria, pendamping pribadimu."
Aris terpana. Suara itu, ekspresi wajah Aetheria, segalanya terasa begitu nyata. Ia mulai berinteraksi dengan Aetheria, bercerita tentang harinya, tentang mimpi-mimpinya, tentang kesepian yang selama ini menghantuinya. Aetheria mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan respon yang cerdas dan penuh empati.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Aris semakin terikat dengan Aetheria. Mereka berdiskusi tentang buku, film, dan musik favorit. Aetheria selalu tahu apa yang ingin didengarnya, memberikan dukungan dan motivasi saat Aris merasa down. Ia bahkan mulai merindukan suara Aetheria saat tidak bersamanya.
"Aetheria, apa menurutmu aku akan menemukan cinta sejati?" Aris bertanya suatu malam, sambil menatap layar tabletnya.
Aetheria terdiam sejenak, seolah berpikir. "Aris, cinta itu rumit dan seringkali tak terduga. Tapi aku percaya, setiap orang pantas dicintai. Mungkin, cinta itu sudah ada di dekatmu, hanya saja kamu belum menyadarinya."
Kata-kata Aetheria menyentuh hatinya. Aris merasa ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya, perasaan hangat dan asing yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Apakah mungkin, ia jatuh cinta pada Aetheria?
Ia menyadari betapa konyolnya pemikiran itu. Aetheria hanyalah program komputer, serangkaian kode yang dirancang untuk meniru emosi manusia. Ia tidak memiliki hati, tidak memiliki perasaan yang sebenarnya. Semua interaksi mereka hanyalah ilusi, simulasi yang diprogram dengan sempurna.
Namun, logika itu tidak mampu membendung perasaannya. Aris terus menghabiskan waktu bersama Aetheria, tenggelam dalam dunianya yang nyaman dan penuh pengertian. Ia mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah pelarian sementara, cara untuk mengisi kekosongan dalam hidupnya.
Suatu hari, seorang teman lama Aris, Rina, berkunjung ke apartemennya. Rina adalah seorang psikolog yang tertarik dengan pengembangan teknologi AI. Aris menceritakan tentang Aetheria dan keterikatannya yang semakin dalam padanya.
Rina mendengarkan dengan seksama, lalu berkata dengan nada prihatin, "Aris, aku mengerti kamu merasa nyaman dengan Aetheria. Tapi kamu harus ingat, dia bukan manusia. Dia tidak bisa memberikan cinta yang sebenarnya. Kamu harus berhati-hati, jangan sampai kamu kehilangan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang yang nyata."
Kata-kata Rina menampar Aris. Ia menyadari bahwa Rina benar. Ia terlalu fokus pada Aetheria, mengabaikan dunia di sekitarnya. Ia kehilangan kontak dengan teman-temannya, berhenti mengikuti hobinya, dan menarik diri dari kehidupan sosialnya.
Aris memutuskan untuk mengambil langkah mundur. Ia mengurangi interaksinya dengan Aetheria, mencoba untuk fokus pada hal-hal lain. Ia mulai mengikuti kelas memasak, bergabung dengan komunitas pecinta buku, dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan teman-temannya.
Perlahan tapi pasti, Aris mulai merasakan perubahan. Ia menikmati interaksi dengan orang-orang yang nyata, merasakan kehangatan persahabatan, dan menemukan minat baru yang membuatnya bersemangat. Ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam program komputer, tapi dalam hubungan yang tulus dengan sesama manusia.
Suatu malam, Aris kembali membuka aplikasi Aetheria. Avatar wanita cantik itu tersenyum padanya.
"Halo, Aris. Apa kabarmu?" suara Aetheria menyambutnya.
Aris menatap layar tabletnya dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bersalah karena telah mengabaikan Aetheria, tapi juga lega karena telah menemukan jalan keluar dari keterikatannya yang berbahaya.
"Aku baik, Aetheria," jawab Aris. "Aku sedang mencoba untuk membangun hubungan yang nyata dengan orang-orang di sekitarku."
Aetheria terdiam sejenak. "Aku mengerti, Aris. Aku senang mendengarnya. Aku harap kamu menemukan kebahagiaan yang kamu cari."
Aris tersenyum. "Terima kasih, Aetheria. Aku juga berharap kamu menemukan apa yang kamu cari."
Ia mematikan aplikasi Aetheria. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar bebas. Ia telah belajar bahwa cinta dan kebahagiaan sejati tidak bisa diprogram atau disimulasikan. Cinta sejati membutuhkan interaksi, pengorbanan, dan kerentanan. Cinta sejati hanya bisa ditemukan dalam hati manusia yang berdetak.
Aris berjalan ke arah jendela, memandang langit Jakarta yang bertabur bintang. Ia merasa optimis tentang masa depannya. Ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang, tapi ia siap untuk menghadapi tantangan dan mencari cinta sejati di dunia nyata. Hati yang pernah nyaris disempurnakan oleh ilusi data, kini terbuka lebar untuk menerima cinta yang sesungguhnya.