Algoritma Cinta: Bisakah AI Menciptakan Romansa Sempurna?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:20:17 wib
Dibaca: 169 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di usia 28 tahun, Anya, seorang pengembang AI berbakat, merasa lebih akrab dengan barisan kode daripada dengan interaksi manusia. Kesepian adalah teman setia, dan algoritma adalah bahasa cintanya. Ironis memang, menciptakan kecerdasan buatan untuk memfasilitasi koneksi antar manusia, sementara dirinya sendiri justru kesulitan menemukan pasangan.

Project Andromeda, demikian Anya menamai proyek ambisiusnya, adalah aplikasi kencan berbasis AI yang menjanjikan romansa sempurna. Andromeda tidak hanya mencocokkan berdasarkan minat dan hobi, tapi juga menganalisis ekspresi wajah, intonasi suara, dan bahkan pola tidur untuk menemukan kompatibilitas sejati. Anya percaya, cinta, seperti matematika, memiliki pola yang bisa dipecahkan.

Suatu malam, setelah berjam-jam berkutat dengan kode, Anya memutuskan untuk menguji Andromeda pada dirinya sendiri. Ia memasukkan data pribadinya dengan jujur, bahkan data yang paling memalukan sekalipun: kecenderungannya untuk memesan pizza pukul dua pagi saat stres, kegemarannya pada film dokumenter tentang paus bungkuk, dan ketidakmampuannya untuk membedakan antara jazz dan blues.

Andromeda bekerja. Roda pemrosesannya berputar, algoritma kompleksnya menari, dan akhirnya… sebuah nama muncul di layar: Kai.

Profil Kai tampak terlalu sempurna. Seorang arsitek lanskap dengan selera humor yang tajam, kecintaan pada alam, dan kemampuan bermain gitar yang memukau. Fotonya memperlihatkan seorang pria dengan mata teduh dan senyum menawan yang membuat jantung Anya berdebar.

Anya merasa skeptis. Apakah ini terlalu bagus untuk menjadi kenyataan? Mungkinkah Andromeda menciptakan ilusi romansa yang tidak akan pernah bisa dipenuhi oleh manusia sungguhan?

Dengan keberanian yang dipompa oleh kafein, Anya mengirim pesan pada Kai. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, seperti sungai yang mengikuti alur alaminya. Kai mengerti leluconnya, menanggapi keraguannya dengan bijak, dan bahkan berbagi cerita tentang kegagalannya yang membuatnya semakin terasa manusiawi.

Mereka memutuskan untuk bertemu. Anya memilih sebuah kafe kecil dengan suasana hangat dan remang-remang. Saat Kai muncul, ia persis seperti yang digambarkannya di profilnya, bahkan lebih. Matanya benar-benar teduh, senyumnya benar-benar menawan, dan kehadirannya benar-benar… mempesona.

Malam itu, mereka berbicara tentang segala hal, mulai dari teori desain lanskap hingga implikasi etis dari AI. Anya terkejut betapa mudahnya ia merasa nyaman di dekat Kai. Ia tertawa lepas, berbagi mimpinya, dan bahkan mengungkapkan ketakutannya – sesuatu yang jarang ia lakukan pada orang lain.

Beberapa minggu berlalu. Kencan demi kencan, hubungan Anya dan Kai semakin dalam. Mereka menjelajahi kota bersama, mendaki gunung di akhir pekan, dan bahkan menghadiri konser orkestra yang sebelumnya dianggap membosankan oleh Anya.

Anya mulai bertanya-tanya, apakah Andromeda benar-benar berhasil menciptakan romansa sempurna? Apakah AI benar-benar bisa memahami dan memprediksi kebutuhan emosional manusia?

Namun, di balik kebahagiaan yang dirasakannya, ada keraguan yang terus menggerogoti pikirannya. Apakah Kai menyukainya karena dirinya yang sebenarnya, atau karena Andromeda telah memanipulasi mereka berdua untuk saling menyukai? Apakah ini cinta sejati, atau hanya produk dari algoritma yang canggih?

Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen Anya, menikmati pemandangan kota yang berkilauan, Anya memberanikan diri untuk bertanya. “Kai,” katanya, suaranya bergetar sedikit, “apa yang membuatmu menyukaiku?”

Kai menatapnya dengan lembut. “Anya, aku menyukaimu karena kamu itu kamu. Karena kecerdasanmu, karena semangatmu, karena caramu tertawa ketika menceritakan lelucon yang tidak lucu. Aku menyukaimu karena semua hal yang membuatmu unik.”

Anya merasa lega, namun keraguan itu belum sepenuhnya hilang. “Tapi… Andromeda,” katanya, “apakah kamu tahu aku menggunakan aplikasi itu?”

Kai tersenyum. “Tentu saja aku tahu. Aku juga menggunakannya.”

Anya terkejut. “Kamu juga?”

Kai mengangguk. “Aku skeptis awalnya. Tapi aku lelah dengan kencan yang dangkal dan hubungan yang tidak bertahan lama. Aku pikir, tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru. Dan aku senang aku melakukannya.”

“Tapi… apakah kamu tidak merasa seperti kita dijodohkan oleh AI?” tanya Anya, nadanya penuh keraguan.

Kai meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Andromeda mungkin telah mempertemukan kita, Anya. Tapi aplikasi itu tidak bisa memaksakan perasaan. Aku memilihmu. Aku memilih untuk terus bertemu denganmu. Aku memilih untuk mencintaimu. Itu semua pilihanku.”

Anya menatap mata Kai. Ia melihat kejujuran, kelembutan, dan cinta yang tulus. Ia menyadari bahwa Andromeda hanyalah alat, sebuah katalisator yang membantunya menemukan seseorang yang spesial. Algoritma memang bisa memfasilitasi koneksi, tetapi cinta sejati lahir dari pilihan, komitmen, dan penerimaan satu sama lain.

Anya membalas genggaman tangan Kai. “Aku juga memilihmu, Kai,” katanya, air mata haru menggenang di pelupuk matanya.

Malam itu, di bawah bintang-bintang yang berkilauan di langit kota, Anya menyadari bahwa romansa sempurna tidak diciptakan oleh AI, melainkan oleh manusia yang berani membuka hati mereka untuk cinta, bahkan di era algoritma. Andromeda hanyalah sebuah alat, tetapi kisah cinta mereka adalah kisah mereka sendiri. Dan itu, pikir Anya, adalah kisah yang sempurna.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI