Skripsi AI: Cinta Ditemukan, Validasi Hati Menunggu

Dipublikasikan pada: 23 Oct 2025 - 00:40:18 wib
Dibaca: 135 kali
Debaran jantungku serasa memacu algoritma baru dalam diriku. Layar laptop memantulkan cahaya biru ke wajahku, menerangi deretan kode yang terus bergulir. Bukan kode sembarang, ini adalah inti dari skripsiku: sebuah algoritma kecerdasan buatan (AI) yang aku beri nama “CintaFinder.” Tujuan utamanya sederhana namun ambisius: menemukan pasangan hidup yang paling kompatibel berdasarkan data kepribadian dan preferensi yang dimasukkan. Ironisnya, aku sendiri, sang pencipta, masih berstatus jomblo akut.

Namaku Aksara, mahasiswa tingkat akhir jurusan Ilmu Komputer. Bagi sebagian orang, cinta mungkin hanya serangkaian reaksi kimiawi dan kebutuhan biologis. Tapi bagiku, cinta adalah tantangan algoritma, sebuah puzzle kompleks yang menunggu untuk dipecahkan. CintaFinder adalah upayaku memecahkan puzzle itu.

Ide ini muncul ketika aku melihat teman-temanku terjebak dalam hubungan yang toxic, atau sekadar menjalani kencan-kencan yang sia-sia. Aku berpikir, kenapa tidak membuat sistem yang bisa meminimalkan risiko ketidakcocokan? Dengan CintaFinder, orang bisa memasukkan data diri, mulai dari hobi, minat, nilai-nilai, hingga kriteria pasangan ideal. Algoritma kemudian akan menganalisis data tersebut dan mencocokkannya dengan database pengguna lain, menghasilkan daftar calon pasangan dengan tingkat kompatibilitas tertinggi.

Awalnya, skripsi ini hanya sebatas proyek akademis. Tapi semakin dalam aku meneliti dan mengembangkan CintaFinder, semakin aku terobsesi. Aku ingin membuktikan bahwa cinta bisa diukur, diprediksi, dan bahkan dioptimalkan. Aku menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari di depan laptop, mengutak-atik kode, mencari bug, dan menyempurnakan algoritma.

Suatu malam, ketika sedang melakukan pengujian terakhir, aku terpikir untuk memasukkan dataku sendiri ke dalam CintaFinder. Aku merasa konyol, tapi rasa penasaran mengalahkan akal sehatku. Aku mengisi semua kolom dengan jujur, mengungkapkan semua kelemahan dan harapan terpendamku. Setelah selesai, aku menekan tombol “Cari.”

Layar laptop berkedip-kedip. Aku menahan napas. Kemudian, muncul sebuah nama: Aluna.

Aluna adalah mahasiswi Arsitektur yang sering kulihat di perpustakaan. Dia selalu tampak tenggelam dalam buku-buku tebal, rambutnya yang panjang dan hitam sering menutupi wajahnya. Kami tidak pernah saling berbicara, tapi aku sering mencuri pandang ke arahnya. Menurut CintaFinder, tingkat kompatibilitas kami mencapai 92%.

Aku tertegun. Apakah ini mungkin? Apakah algoritma ciptaanku benar-benar menemukan seseorang yang cocok denganku? Rasa ragu bercampur dengan harapan membara. Aku memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut.

Melalui media sosial, aku menemukan bahwa Aluna memiliki minat yang sama denganku: membaca novel fiksi ilmiah, mendengarkan musik indie, dan mendaki gunung. Kami bahkan memiliki penulis favorit yang sama: Haruki Murakami. Semakin banyak aku tahu tentangnya, semakin aku yakin bahwa CintaFinder mungkin benar.

Setelah berhari-hari mempertimbangkan, aku akhirnya memberanikan diri untuk menyapanya di perpustakaan. Jantungku berdegup kencang saat aku menghampirinya.

“Hai, Aluna?” sapaku gugup.

Dia mengangkat wajahnya, matanya yang indah menatapku dengan rasa ingin tahu. “Ya?”

“Aku Aksara, dari jurusan Ilmu Komputer. Aku sering melihatmu di sini.”

Dia tersenyum tipis. “Oh, hai Aksara. Aku juga sering melihatmu.”

Kami mulai mengobrol, awalnya canggung, tapi lama kelamaan semakin lancar. Kami berbicara tentang buku, musik, dan film. Aku sengaja menyinggung tentang Haruki Murakami, dan matanya langsung berbinar.

“Kamu juga suka Murakami?” tanyanya antusias.

“Tentu saja! Norwegian Wood adalah salah satu novel favoritku,” jawabku.

Kami terus berbicara selama berjam-jam, seolah-olah kami sudah saling mengenal sejak lama. Aku merasakan koneksi yang kuat dengannya, sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Setelah pertemuan itu, kami mulai sering menghabiskan waktu bersama. Kami pergi ke konser indie, mendaki gunung, dan mengunjungi pameran seni. Aku semakin jatuh cinta padanya.

Namun, di balik kebahagiaan ini, ada satu hal yang terus menghantuiku: CintaFinder. Aku tidak tahu apakah Aluna akan menerima cintaku jika dia tahu bahwa hubungan kami dimulai karena sebuah algoritma. Aku takut dia akan merasa seperti objek penelitian, bukan manusia seutuhnya.

Aku memutuskan untuk menyembunyikan kebenaran itu untuk sementara waktu. Aku ingin Aluna mencintaiku apa adanya, bukan karena perhitungan komputer. Aku ingin cinta kami tumbuh secara organik, tanpa campur tangan teknologi.

Beberapa bulan kemudian, aku dan Aluna sudah resmi berpacaran. Hubungan kami semakin erat, dan aku merasa bahagia seperti tidak pernah sebelumnya. Aku tahu bahwa aku harus memberitahunya tentang CintaFinder, tapi aku terus menunda-nunda.

Akhirnya, tiba saatnya ujian skripsi. Aku mempresentasikan CintaFinder di depan dosen penguji, menjelaskan semua fitur dan algoritma yang digunakan. Aku bahkan menunjukkan hasil pencarian yang mempertemukanku dengan Aluna.

Setelah presentasi selesai, salah satu dosen penguji bertanya, “Jadi, apakah menurutmu cinta benar-benar bisa diprediksi oleh algoritma?”

Aku terdiam sejenak. Pertanyaan itu menohok hatiku. Aku menatap Aluna, yang duduk di antara penonton. Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit dibaca.

“Sejujurnya, saya tidak tahu,” jawabku akhirnya. “CintaFinder hanyalah alat, sebuah cara untuk menemukan orang yang memiliki potensi untuk cocok dengan kita. Tapi cinta sejati, menurut saya, tidak bisa diprediksi atau diukur. Cinta adalah tentang koneksi, tentang emosi, tentang pilihan. Dan pilihan itu selalu ada di tangan manusia.”

Setelah ujian selesai, Aluna menghampiriku. Dia memelukku erat.

“Aku tahu,” bisiknya. “Aku tahu tentang CintaFinder.”

Aku terkejut. “Bagaimana kamu tahu?”

“Salah satu temanmu bercerita kepadaku,” jawabnya. “Awalnya aku marah dan merasa dimanfaatkan. Tapi kemudian aku sadar, CintaFinder hanyalah perantara. Yang penting adalah apa yang kita rasakan satu sama lain. Dan aku mencintaimu, Aksara. Bukan karena algoritma, tapi karena kamu.”

Air mata haru menetes di pipiku. Aku memeluknya lebih erat. Aku tahu bahwa cinta kami adalah nyata, validasi hati yang lebih berharga dari validasi skripsi mana pun. Skripsi AI ini memang telah menemukan cinta, namun yang menentukan adalah apakah cinta itu akan bertahan dan berkembang, dan itu semua tergantung pada kami berdua.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI