Skor: Algoritma Cinta, Hati yang Ter-Optimalisasi?

Dipublikasikan pada: 09 Nov 2025 - 03:00:11 wib
Dibaca: 135 kali
Aplikasi itu berdengung lembut di pergelangan tanganku, memproyeksikan angka 97 di udara. Sembilan puluh tujuh. Skor Cinta. Angka itu seharusnya menjadi tiketku menuju kebahagiaan abadi, setidaknya begitulah yang dikatakan iklan-iklan hiperbolis di media sosial.

Dunia memang sudah berubah. Dulu, kencan diatur oleh teman, atau pertemuan kebetulan di kedai kopi. Sekarang, segalanya dioptimalkan. Algoritma yang maha tahu, yang katanya mampu menganalisis kepribadian, preferensi, dan bahkan potensi genetik, akan mencarikan pasangan yang paling kompatibel. Menghilangkan tebak-tebakan, mengurangi patah hati, memaksimalkan… cinta.

Ironisnya, aku, seorang insinyur perangkat lunak yang berkontribusi pada pengembangan algoritma tersebut, justru merasa paling skeptis. Tapi, tekanan dari keluarga dan teman-teman, ditambah rasa kesepian yang semakin menggigit, akhirnya membuatku menyerah. Aku mengunduh aplikasinya, mengisi kuesioner panjang yang terasa seperti interogasi, dan menyerahkan takdir cintaku pada mesin.

Sembilan puluh tujuh. Skor yang mengesankan. Yang berarti, menurut aplikasi, aku ditakdirkan untuk bersama… Elara.

Foto Elara muncul di layar holografis. Rambut cokelat panjang bergelombang, mata hijau zamrud yang menatap langsung ke kamera dengan tatapan percaya diri, dan senyum yang, jujur saja, cukup memukau. Deskripsinya lebih mengesankan lagi: arsitek lanskap yang berdedikasi pada keberlanjutan lingkungan, pecinta buku klasik, dan pendonor rutin untuk yayasan kesejahteraan hewan. Sempurna. Terlalu sempurna, malah.

Kami bertemu di sebuah kafe vegan yang direkomendasikan oleh aplikasi. Tempatnya minimalis, dipenuhi tanaman hijau yang tampak sengsara, dan musik ambient yang membuatku ingin memesan kopi hitam dan segera pulang. Elara sudah menunggu, mengenakan gaun linen berwarna krem dan sandal daur ulang. Penampilannya sesuai dengan profilnya. Terlalu sesuai, malah.

Percakapan kami mengalir lancar. Sangat lancar. Terlalu lancar. Kami membicarakan tentang pentingnya energi terbarukan, novel Jane Austen favorit kami, dan kucing terlantar yang kami adopsi secara virtual melalui aplikasi yang berbeda. Setiap jawaban, setiap pendapat, terasa seperti hasil kalibrasi yang cermat untuk memaksimalkan resonansi. Kami adalah dua keping puzzle yang dipaksa untuk saling melengkapi.

Setelah kencan pertama, Skor Cinta kami naik menjadi 98. Aplikasi mengirimkan notifikasi ucapan selamat, seolah-olah kami telah memenangkan lotre. Keluarga dan teman-teman bersukacita. "Aku sudah bilang! Algoritma itu tidak mungkin salah!" seru ibuku dengan nada kemenangan.

Kencan-kencan berikutnya terasa seperti simulasi. Kami melakukan hal-hal yang seharusnya kami nikmati. Hiking di taman nasional, menonton film dokumenter tentang perubahan iklim, bahkan mengikuti kelas melukis dengan cat air. Semuanya sempurna, efisien, dan… hampa.

Aku mulai merindukan ketidaksempurnaan. Aku merindukan pertengkaran bodoh tentang film yang berbeda genre, diskusi panas tentang politik, bahkan makanan tidak sehat yang kami nikmati diam-diam di tengah malam. Aku merindukan kejutan, spontanitas, dan kegelisahan yang menyertai jatuh cinta dengan seseorang yang tidak sempurna, seseorang yang tidak dirancang untukku oleh algoritma.

Suatu malam, setelah makan malam organik yang hambar, aku memberanikan diri untuk berbicara jujur. “Elara,” kataku, suaraku bergetar sedikit. “Aku… aku tidak yakin ini berhasil.”

Elara menatapku dengan mata hijaunya yang sempurna. “Apa maksudmu? Skor kita 98. Kita adalah pasangan yang ideal secara statistik.”

“Itulah masalahnya,” jawabku. “Ini terlalu sempurna. Terlalu ideal. Aku tidak merasakan… koneksi yang nyata.”

Elara tampak bingung. “Tapi, algoritma itu…”

“Aku tahu, aku tahu,” potongku. “Tapi cinta tidak bisa dihitung. Cinta tidak bisa dioptimalkan. Cinta itu berantakan, tidak logis, dan seringkali menyakitkan. Tapi itulah yang membuatnya berharga.”

Keheningan menyelimuti kami. Aku bisa merasakan algoritma di pergelangan tanganku berdengung panik, mencoba menghitung ulang, mencari solusi. Tapi tidak ada solusi. Tidak ada algoritma yang bisa menggantikan hati yang berdebar karena hasrat, ketakutan, dan harapan.

Elara akhirnya angkat bicara. “Mungkin… mungkin kamu benar.” Dia tampak rapuh, sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya. “Mungkin aku terlalu fokus pada angka itu, pada kesempurnaan yang dijanjikan.”

Kami berpisah secara baik-baik. Skor Cinta kami turun menjadi 67. Aplikasi mengirimkan notifikasi peringatan, menyuruh kami untuk mempertimbangkan konseling. Tapi aku merasa… lega.

Beberapa minggu kemudian, aku bertemu dengan seorang wanita di kedai kopi. Namanya Maya. Dia seorang ilustrator lepas dengan rambut merah berantakan, tato naga di lengannya, dan selera humor yang sarkastik. Kami berdebat tentang buku komik favorit kami, menertawakan lelucon yang buruk, dan minum kopi terlalu banyak.

Tidak ada algoritma yang menyuruhku untuk mendekatinya. Tidak ada skor yang memberitahuku bahwa dia adalah orang yang tepat. Tapi ada sesuatu di matanya, sesuatu yang jujur dan mentah, yang membuatku tertarik.

Aku belum tahu ke mana arah hubungan ini. Mungkin akan berhasil, mungkin tidak. Tapi aku tahu satu hal: Aku memilihnya. Aku memilihnya dengan hatiku, bukan dengan algoritma. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa… hidup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI