Jemari Lintang menari di atas keyboard, menghasilkan barisan kode yang rumit. Layarnya memancarkan cahaya biru redup, menerangi wajahnya yang serius. Di headphone-nya, alunan Lo-fi menemani proses perancangan algoritma baru, sebuah sistem rekomendasi musik yang revolusioner. Lintang, seorang programmer jenius di usia muda, selalu tenggelam dalam dunianya yang terstruktur dan logis. Namun, malam ini, ada sesuatu yang mengganggu fokusnya. Sebuah notifikasi berkedip di sudut layar, mengingatkannya pada pesan yang belum dibaca.
"Dari: Raya," begitu tertera di sana.
Jantung Lintang berdegup sedikit lebih kencang. Raya. Nama itu bagai potongan kode lama yang belum didebug, menyisakan error yang terus muncul dalam sistem ingatannya. Mereka pernah dekat, sangat dekat, sebelum kesibukan dan ambisi merenggut kebersamaan mereka. Dua tahun lalu, mereka berpisah, dengan alasan klise: "Kita terlalu fokus pada diri sendiri."
Dengan ragu, Lintang membuka pesan itu. Hanya ada satu kalimat: "Kangen, Lin."
Sederhana, namun efeknya luar biasa. Algoritma di otaknya kacau balau. Logika yang biasanya membimbingnya tiba-tiba runtuh. Ia mencoba menepis perasaan itu. Kangen? Setelah dua tahun? Itu hanyalah nostalgia sesaat, pikirnya. Ia kembali fokus pada barisan kode di depannya, berusaha mengabaikan gejolak aneh yang melanda dadanya.
Namun, pesan Raya terus berputar di benaknya, seperti virus yang menyerang sistem operasinya. Ia jadi teringat senyum Raya yang menenangkan, tawanya yang renyah, dan bagaimana mereka dulu saling memahami tanpa perlu banyak bicara. Mereka berdua, yang sama-sama kutu buku dan penyuka teknologi, sering menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, membahas algoritma, AI, dan masa depan dunia.
Lintang menghela napas. Ia tahu bahwa mengabaikan pesan Raya bukanlah solusi. Ia harus menghadapinya, seperti ia selalu menghadapi setiap masalah dalam koding: dengan logika dan ketenangan. Ia memutuskan untuk membalas.
"Kangen juga," tulisnya singkat. Ia menekan tombol kirim, lalu menutup laptopnya. Ia merasa seperti baru saja melakukan commit kode yang krusial, menunggu dengan cemas hasilnya.
Balasan datang hampir seketika. "Mau ketemu?"
Pertanyaan itu sederhana, namun dampaknya luar biasa. Lintang merasa gugup. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan, apa yang harus ia lakukan. Dua tahun adalah waktu yang lama. Mereka pasti sudah banyak berubah.
Ia mengetik, menghapus, mengetik lagi. Akhirnya, ia memutuskan untuk jujur. "Aku nggak tahu. Aku takut."
Raya membalas dengan cepat. "Takut apa?"
"Takut kecewa. Takut kita nggak sama lagi. Takut ini cuma nostalgia sesaat."
"Kita nggak akan tahu kalau nggak dicoba, Lin. Gimana kalau kita anggap ini sebagai 'update'?"
Lintang terdiam. Update. Kata itu membuatnya tersenyum. Raya selalu tahu bagaimana cara berbicara dalam bahasanya. "Oke," balasnya. "Kapan?"
Mereka sepakat untuk bertemu di kafe tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu bersama. Lintang datang lebih awal. Ia memesan kopi dan duduk di meja favorit mereka, dekat jendela. Jantungnya berdebar kencang. Ia merasa seperti sedang menunggu hasil compile kode yang kompleks.
Ketika Raya akhirnya datang, Lintang terpaku. Raya terlihat lebih dewasa, lebih anggun. Rambutnya yang dulu selalu dikuncir kuda kini tergerai indah. Matanya masih sama, namun ada pancaran baru di sana, sebuah kebijaksanaan yang mungkin baru ia dapatkan selama dua tahun terakhir.
Mereka saling berpandangan, canggung. Lintang merasakan kerinduan yang begitu kuat, seperti data yang hilang dan baru ditemukan kembali.
"Hai, Lin," sapa Raya, dengan senyum yang dulu sangat ia rindukan.
"Hai, Raya," balas Lintang, dengan suara bergetar.
Mereka duduk, saling bertukar kabar. Lintang menceritakan tentang proyek-proyek barunya, tentang kesuksesannya sebagai programmer. Raya menceritakan tentang pekerjaannya sebagai desainer grafis, tentang perjalanannya ke berbagai negara.
Awalnya, percakapan mereka terasa kaku, seperti koneksi internet yang lambat. Namun, seiring waktu, keakraban itu kembali hadir, seperti data yang terenkripsi dan akhirnya terdekripsi. Mereka mulai bercanda, tertawa, dan saling menggoda, seperti dulu.
Lintang menyadari bahwa ia masih mencintai Raya. Perasaannya tidak pernah benar-benar hilang, hanya tertidur sejenak, menunggu untuk dibangunkan kembali.
"Raya," kata Lintang, setelah lama terdiam. "Aku... aku masih sayang sama kamu."
Raya tersenyum. "Aku juga, Lin. Aku juga masih sayang sama kamu."
Lintang menggenggam tangan Raya. Sentuhan itu terasa familiar dan menenangkan. "Kita... kita mau coba lagi?"
Raya mengangguk. "Kita coba lagi. Tapi kali ini, kita nggak akan membiarkan kesibukan dan ambisi merenggut kita. Kita akan saling mendukung, saling mengerti, dan saling mencintai."
Lintang tersenyum lega. Ia merasa seperti baru saja menemukan bug yang selama ini mengganggu sistemnya. "Aku janji," katanya.
Malam itu, Lintang dan Raya berjalan bergandengan tangan di bawah langit malam yang bertaburan bintang. Mereka merasa seperti dua file yang telah disinkronisasi, kembali terhubung setelah lama terputus. Algoritma rindu mereka telah diperbarui, dengan versi yang lebih baik, lebih stabil, dan lebih kuat. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, namun mereka siap untuk menghadapinya bersama, sebagai tim, sebagai partner, dan sebagai dua orang yang saling mencintai.
Lintang menatap Raya, matanya berbinar. Ia tahu bahwa cinta mereka bukanlah sekadar kode dan algoritma. Cinta mereka adalah sebuah perasaan yang nyata, yang tulus, dan yang abadi. Dan seperti software yang terus berkembang, cinta mereka akan terus diupdate, ditingkatkan, dan disempurnakan, selamanya.