Debu neon menari di layar laptop, memantul di mata Kiara yang lelah. Jemarinya lincah mengetik baris demi baris kode, menciptakan algoritma pencari jodoh yang, ironisnya, belum berhasil menemukan cintanya sendiri. "Project Soulmate," begitu ia menyebutnya, adalah obsesi sekaligus harapan terakhirnya. Ia percaya, di era digital ini, cinta sejati bisa ditemukan melalui serangkaian data dan perhitungan matematis yang akurat.
Kiara, seorang programmer jenius di usia 27, selalu melihat dunia dalam kode. Emosi adalah variabel, interaksi sosial adalah fungsi, dan hubungan adalah sebuah program kompleks yang membutuhkan debug tanpa henti. Ia mendesain Project Soulmate untuk menganalisis jutaan profil pengguna aplikasi kencan, mengidentifikasi pola kesukaan, ketertarikan, bahkan kecenderungan psikologis berdasarkan jejak digital yang ditinggalkan. Tujuannya sederhana: menemukan kompatibilitas sempurna berdasarkan data, bukan sekadar insting atau keberuntungan.
Bertahun-tahun ia habiskan untuk menyempurnakan algoritmanya. Ia memasukkan preferensi pribadi, mulai dari selera musik, film, buku, hingga pandangan politik dan filosofi hidup. Ia bahkan menambahkan data dari perangkat wearable, seperti pola tidur, detak jantung saat melihat foto, dan frekuensi berkeringat saat membaca pesan. Semakin banyak data, semakin akurat prediksi yang dihasilkan.
Namun, ada satu masalah pelik: Project Soulmate selalu menghasilkan satu nama, dan nama itu adalah… Nathan.
Nathan adalah teman masa kecil Kiara, tetangga yang tumbuh bersamanya, dan kini, kolega di perusahaan teknologi yang sama. Mereka berbagi tawa, ide, dan bahkan beberapa kali mengerjakan proyek bersama hingga larut malam. Nathan selalu ada, seperti pilar kokoh yang menopang dunianya yang kadang terlalu rasional.
Masalahnya, Kiara tidak pernah melihat Nathan lebih dari seorang teman. Nathan terlalu… nyaman. Tidak ada percikan api, tidak ada drama, tidak ada gejolak emosi yang biasanya ia asosiasikan dengan cinta. Ia menginginkan seseorang yang menantang, seseorang yang bisa membuatnya keluar dari zona nyaman, seseorang yang… tidak seperti Nathan.
Algoritma miliknya seolah mengejeknya. “Kompatibilitas 99,9%,” begitu Project Soulmate menampilkan hasil akhirnya setiap kali Kiara menjalankan program. Ia mencoba mengubah kriteria, menambahkan variabel baru, bahkan menghapus data yang menurutnya bias, tetapi hasilnya tetap sama. Nathan. Nathan. Nathan.
Frustrasi melanda Kiara. Ia mulai meragukan keefektifan algoritmanya. Apakah cinta sejati benar-benar bisa diprediksi? Apakah data bisa menangkap nuansa emosi yang rumit? Apakah ia terjebak dalam ilusi yang diciptakannya sendiri?
Suatu malam, Kiara menemukan Nathan bekerja lembur di kantor. Ia sedang berkutat dengan masalah server yang rewel, wajahnya pucat dan rambutnya berantakan. Kiara menawarkan bantuan, dan mereka berdua tenggelam dalam kode hingga matahari terbit.
Di tengah keheningan dini hari, Nathan tiba-tiba berkata, “Kiara, aku tahu kau sedang mengerjakan Project Soulmate.”
Kiara terkejut. “Bagaimana kau tahu?”
Nathan tersenyum tipis. “Kau lupa? Aku yang membantumu merancang beberapa modulnya.”
Kiara merasa bodoh. Tentu saja Nathan tahu. Ia terlalu fokus pada algoritma hingga melupakan bahwa ia berbagi rahasia terdalamnya dengan orang yang selama ini ia abaikan.
“Aku tahu kau mencari cinta sejati melalui data,” lanjut Nathan. “Tapi menurutku, cinta sejati tidak bisa ditemukan di dalam angka. Cinta adalah tentang perasaan, tentang koneksi, tentang menerima seseorang apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.”
Kata-kata Nathan menghantam Kiara seperti sambaran petir. Ia tersadar bahwa selama ini ia terlalu sibuk mencari formula cinta hingga melupakan esensinya. Ia terlalu terpaku pada idealisme hingga mengabaikan realitas yang ada di hadapannya.
Nathan melanjutkan, “Aku tahu aku bukan tipe idealmu. Aku tidak menantang, aku tidak dramatis, aku hanya… Nathan. Tapi aku juga tahu bahwa aku mencintaimu, Kiara. Aku mencintaimu apa adanya, dengan segala kecerdasan, obsesi, dan keraguanmu.”
Kiara terdiam. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia menatap Nathan, mencoba melihatnya dengan mata yang baru. Ia menyadari bahwa selama ini ia telah dibutakan oleh ekspektasinya sendiri. Ia telah mengabaikan kehangatan, kesetiaan, dan cinta tulus yang selalu ditawarkan Nathan.
“Aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” ucap Kiara terbata-bata.
Nathan mendekat dan meraih tangannya. “Kau tidak perlu berkata apa-apa. Cukup beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa cinta sejati tidak perlu algoritma.”
Kiara mengangguk pelan. Ia membiarkan Nathan menggenggam tangannya erat-erat. Di saat itu, ia merasakan sesuatu yang aneh dan asing menjalar di dalam dirinya. Sesuatu yang lebih kuat dari logika, lebih dalam dari data, lebih nyata dari algoritma. Sesuatu yang disebut… cinta.
Kiara tersenyum. Ia mematikan laptopnya. Debu neon di layar menghilang, meninggalkan kegelapan yang tenang. Ia tidak lagi membutuhkan Project Soulmate. Ia telah menemukan cinta sejatinya, bukan melalui jejak digital, melainkan melalui jejak hati. Dan jejak hati itu bernama Nathan.