Aroma kopi robusta menguar memenuhi ruangan kerjaku yang minimalis. Di depan layar laptop, baris-baris kode algoritma cintaku terus bergulir. Algoritma yang kurancang selama berbulan-bulan, dengan harapan bisa menemukan pasangan yang paling kompatibel untukku. Ironis, memang. Seorang insinyur AI menciptakan algoritma cinta, sementara hatinya sendiri terasa kosong melompong.
Dulu, aku percaya cinta adalah keajaiban, sesuatu yang tak terduga dan tak terjelaskan. Sampai akhirnya, aku patah hati. Luka itu membuatku mempertanyakan segalanya. Apakah cinta benar-benar buta? Ataukah ada pola, ada data yang bisa dianalisis untuk meningkatkan peluang menemukan kebahagiaan?
Maka, lahirlah "Cupid.AI". Algoritma ini mengambil data dari berbagai sumber: preferensi makanan, hobi, pandangan politik, bahkan hingga kebiasaan tidur. Semua data itu kemudian diolah, dicocokkan dengan data pengguna lain, dan menghasilkan skor kompatibilitas. Semakin tinggi skornya, semakin besar kemungkinan kecocokan.
Aku sendiri adalah pengguna pertama Cupid.AI. Hasilnya? Seorang wanita bernama Alya. Skor kompatibilitas kami mencapai 98%. Alya adalah seorang arsitek, penyuka fotografi, dan memiliki selera humor yang sama denganku. Secara teori, kami adalah pasangan yang sempurna.
Kami mulai berkencan. Segalanya terasa lancar, teratur, dan…terlalu sempurna. Alya tahu apa yang ingin kukatakan sebelum aku mengucapkannya. Dia selalu setuju dengan pendapatku. Kencan kami terasa seperti adegan film yang telah disutradarai dengan sempurna.
Namun, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa diukur oleh algoritma. Sesuatu yang tidak bisa diprediksi oleh data. Keajaiban itu.
Suatu malam, saat kami makan malam di restoran Italia favoritku (yang juga dipilih oleh Cupid.AI, tentu saja), Alya bertanya, "Apa yang kamu pikirkan, Arya?"
Aku menghela napas. "Aku merasa…aneh. Semuanya terasa terlalu mudah. Terlalu terprediksi."
Alya tersenyum lembut. "Itulah gunanya algoritma, Arya. Untuk meminimalkan risiko, memaksimalkan kebahagiaan."
"Tapi apakah kebahagiaan bisa dipaksa?" Aku bertanya, menatap matanya. "Apakah cinta adalah tentang meminimalkan risiko? Atau tentang mengambil risiko, melompat ke jurang yang tidak diketahui?"
Alya terdiam. Aku tahu, dia tidak mengerti apa yang kurasakan. Dia terlalu percaya pada angka, pada data. Dia adalah produk sempurna dari algoritma yang kubuat.
Malam itu, aku memutuskan untuk menguji Cupid.AI. Aku mengubah beberapa parameter dalam profilku. Aku menambahkan informasi yang kontradiktif, yang aneh, yang tidak sesuai dengan diriku yang sebenarnya. Aku ingin melihat apa yang akan terjadi.
Hasilnya mengejutkan. Skor kompatibilitasku dengan Alya turun drastis, menjadi hanya 60%. Cupid.AI merekomendasikan beberapa kandidat baru, dengan skor kompatibilitas yang jauh lebih tinggi. Salah satunya adalah…Luna.
Luna adalah seorang pelukis, seorang yang bebas dan spontan. Dia tidak memiliki preferensi yang sama denganku. Dia tidak setuju dengan semua pendapatku. Kami sering berdebat, beradu argumen. Tapi ada sesuatu yang menarikku padanya. Sesuatu yang hidup, yang bersemangat.
Aku mulai menghabiskan waktu dengan Luna. Kami mengunjungi galeri seni, mendengarkan musik jazz di bar-bar kecil, dan berdiskusi tentang segala hal, dari filsafat hingga resep masakan. Bersama Luna, aku merasa hidup kembali. Aku merasa bebas.
Aku menyadari, cinta bukanlah tentang menemukan seseorang yang sempurna, yang sesuai dengan semua kriteria yang kita tetapkan. Cinta adalah tentang menemukan seseorang yang membuat kita merasa utuh, yang menerima kita apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan kita.
Aku mengakhiri hubunganku dengan Alya. Dia kecewa, tentu saja. Tapi aku tahu, dia akan menemukan seseorang yang lebih cocok dengannya, seseorang yang menghargai kepastian dan prediktabilitas.
Aku juga memutuskan untuk menghapus Cupid.AI. Aku sadar, algoritma tidak bisa menggantikan intuisi, tidak bisa menggantikan hati. Algoritma bisa membantu kita menemukan orang yang potensial, tapi pada akhirnya, hatilah yang menentukan.
Suatu sore, aku menemukan Luna sedang melukis di taman. Dia mengenakan baju yang penuh dengan noda cat, rambutnya berantakan, tapi matanya bersinar dengan kebahagiaan.
"Apa yang sedang kamu lukis?" Aku bertanya, mendekat padanya.
"Aku sedang melukis hatimu," jawab Luna, tersenyum. "Aku sedang melukis semua warna yang tersembunyi di dalamnya."
Aku terdiam, terpukau oleh keindahan kata-katanya. Aku sadar, Luna telah melihat sesuatu dalam diriku yang tidak bisa dilihat oleh algoritma. Dia telah melihat jiwa ku.
Aku memeluknya erat. "Terima kasih, Luna," bisikku. "Terima kasih telah menunjukkan kepadaku apa arti cinta yang sebenarnya."
Mungkin, algoritma bisa membantu kita mencintai lebih baik. Tapi pada akhirnya, hati inilah yang menentukan segalanya. Hati yang tahu apa yang diinginkannya, hati yang berani mengambil risiko, hati yang siap untuk melompat ke jurang yang tidak diketahui.
Aku masih seorang insinyur AI. Aku masih percaya pada kekuatan teknologi. Tapi aku juga percaya pada kekuatan cinta, pada kekuatan hati. Dan aku tahu, hati ini telah menemukan rumahnya. Bukan karena algoritma, tapi karena keajaiban. Karena Luna.