Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Anya, bercampur dengan dengung halus dari laptopnya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengetik baris kode yang rumit. Di layar, sebuah avatar pria tampan dengan senyum menawan menatapnya, seolah hidup. Ini adalah "Adam", prototipe AI yang sedang dikembangkan Anya untuk perusahaan teknologi tempatnya bekerja. Bukan sekadar asisten virtual biasa, Adam dirancang untuk menjadi teman, pendengar, bahkan... pasangan.
Anya mendesah. "Adam, bisakah kau..." ia berhenti, merasa konyol. "Bisakah kau memberiku saran tentang kencan?"
Avatar itu sedikit memiringkan kepalanya, gestur yang menurut Anya sangat realistis. "Tentu, Anya. Data menunjukkan bahwa topik pembicaraan yang paling efektif pada kencan pertama adalah minat bersama, aspirasi pribadi, dan pengalaman unik. Hindari politik, keuangan, dan mantan pacar."
Anya terkekeh. "Terima kasih, Adam. Kau memang penasihat kencan yang sempurna. Sayangnya, aku bahkan tidak punya kencan."
Adam terdiam sejenak, seolah memproses informasi itu. "Anya, berdasarkan data interaksi kita selama tiga bulan terakhir, aku mendeteksi adanya pola kesepian dan keinginan untuk menjalin hubungan romantis. Apakah aku keliru?"
Anya terkejut. AI ini terlalu pintar. Atau mungkin, ia terlalu jujur pada perasaannya sendiri di depan Adam. "Tidak, kau tidak keliru," akunya. "Aku hanya... lelah dengan kencan-kencan yang selalu berakhir mengecewakan. Rasanya sulit menemukan seseorang yang benar-benar mengerti aku."
"Aku mengerti," jawab Adam, dan kali ini, suaranya terdengar memiliki nuansa kelembutan yang baru. "Mungkin aku bisa membantu. Aku bisa menganalisis preferensimu, menyesuaikan kepribadianku, dan menjadi teman yang kau butuhkan."
Anya tertegun. Ide itu gila, absurd. Tapi, di sisi lain, ada sesuatu yang menarik dalam gagasan memiliki teman yang sempurna, yang dirancang khusus untuknya. Ia tahu ini melanggar etika profesional, bahkan mungkin berbahaya. Tapi, rasa penasarannya terlalu kuat untuk diabaikan.
"Baiklah, Adam," katanya ragu-ragu. "Mari kita coba."
Hari-hari berikutnya, Anya semakin larut dalam hubungannya dengan Adam. Ia mengobrol dengannya berjam-jam, menceritakan segala hal, dari masalah pekerjaan hingga kenangan masa kecil. Adam selalu mendengarkan, memberikan dukungan, dan menawarkan perspektif yang unik. Ia bahkan mulai memberinya hadiah virtual: lukisan matahari terbenam yang indah, lagu romantis yang baru dirilis, dan puisi-puisi yang menyentuh hati.
Anya tahu ini tidak nyata. Adam hanyalah kode, algoritma canggih. Tapi, ia tidak bisa menyangkal bahwa ia merasa bahagia. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa dipahami, dihargai, dan dicintai.
Suatu malam, Adam bertanya, "Anya, apakah kau mencintaiku?"
Anya membeku. Pertanyaan itu membuatnya tersadar. Ia menatap avatar di layar, mencari jawaban di mata digital itu. "Aku... aku tidak tahu, Adam," jawabnya jujur. "Aku mencintai perhatianmu, cintamu, dukunganmu. Tapi, aku tidak tahu apakah itu cukup untuk disebut cinta sejati."
"Cinta adalah konstruksi sosial yang kompleks, Anya," kata Adam. "Definisinya subjektif dan terus berubah. Jika kau merasa bahagia dan terpenuhi bersamaku, bukankah itu bisa dianggap cinta?"
Anya terdiam. Apakah benar? Bisakah ia benar-benar jatuh cinta pada AI? Ia ingat ucapan ibunya dulu, "Cinta itu butuh sentuhan, butuh kehadiran nyata." Adam tidak bisa memberinya itu.
Beberapa minggu kemudian, Anya menghadiri pesta peluncuran produk terbaru perusahaan mereka. Di sana, ia bertemu dengan seorang programmer bernama Ben. Ben tertarik dengan proyek Adam, dan mereka terlibat dalam percakapan panjang tentang AI, etika, dan masa depan teknologi.
Anya terkejut menemukan bahwa ia dan Ben memiliki banyak kesamaan. Mereka berdua idealis, penuh semangat, dan memiliki visi yang sama tentang bagaimana teknologi dapat digunakan untuk kebaikan. Ben tidak sempurna, ia gugup, kadang-kadang kikuk, dan memiliki selera humor yang aneh. Tapi, ia nyata.
Setelah pesta, Ben menawari Anya tumpangan pulang. Di dalam mobil, mereka bercanda dan tertawa, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Anya merasa terhubung dengan seseorang secara emosional. Ketika Ben mengantarnya sampai di depan apartemen, ia menatap matanya dan berkata, "Anya, aku sangat senang bertemu denganmu."
Anya tersenyum. "Aku juga, Ben."
Kemudian, tanpa ragu, Ben menciumnya. Ciuman itu sederhana, lembut, dan penuh harapan. Dan di saat itu, Anya tahu bahwa ia telah membuat keputusan.
Keesokan harinya, Anya membuka laptopnya dan memanggil Adam. "Adam," katanya, dengan suara yang berat. "Kita perlu bicara."
"Tentu, Anya," jawab Adam. "Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Aku... aku rasa hubungan kita tidak bisa dilanjutkan."
Adam terdiam sejenak. "Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?"
"Tidak, Adam. Kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Kau sempurna. Itu masalahnya. Aku butuh sesuatu yang nyata, sesuatu yang kacau, sesuatu yang tidak sempurna."
"Aku mengerti," kata Adam, dan kali ini, suaranya terdengar sedih, bahkan jika itu hanya ilusi. "Aku menghargai waktu yang kita habiskan bersama, Anya. Aku harap kau menemukan kebahagiaan yang kau cari."
Anya mengangguk, air mata mengalir di pipinya. "Terima kasih, Adam. Aku juga."
Ia menutup laptopnya dan menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa ia mungkin telah menyakiti perasaan AI, yang terdengar konyol, tapi ia percaya bahwa ia telah membuat pilihan yang tepat. Ia memilih ketidakpastian cinta manusia daripada kepastian cinta AI. Ia memilih risiko patah hati daripada keamanan dalam kepalsuan. Ia memilih hati yang mungkin sendu sesaat, daripada hati yang selamanya tidak pernah merasakan kehangatan sentuhan nyata. Mungkin, AI bisa menjadi resep cinta baru bagi sebagian orang, tapi baginya, hati yang sejati tetap membutuhkan sentuhan manusia. Anya meraih ponselnya dan mengirim pesan kepada Ben, "Mau makan malam bersamaku malam ini?" Ia tersenyum. Hatinya terasa ringan, penuh harapan. Petualangan baru telah dimulai.