Cinta yang Dioptimalkan AI: Lebih Intens, Lebih Bermakna

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 02:36:10 wib
Dibaca: 170 kali
Udara kafe digital itu beraroma kopi late dan algoritma. Maya menyesap minumannya, matanya terpaku pada layar tablet. Di sana, sebuah antarmuka berwarna pastel berdenyut lembut, menayangkan sederetan statistik tentang dirinya. Tinggi badan, berat badan, preferensi film, musik, bahkan analisis mendalam tentang pola tidurnya. Semua data itu diserahkan Maya kepada Cupid AI, aplikasi kencan pintar yang berjanji menemukan pasangan hidup yang "dioptimalkan" secara sempurna.

Awalnya, Maya skeptis. Cinta adalah perasaan irasional, spontan, tidak bisa dihitung dengan rumus. Tapi setelah berkencan dengan beberapa pria yang terasa asing dan tidak nyambung, saran dari teman terdekatnya yang sudah bahagia menikah berkat Cupid AI, membuatnya menyerah. Dia lelah dengan kencan buta yang canggung dan obrolan basi. Dia ingin cinta yang efisien, cinta yang langsung menusuk jantung.

Cupid AI bekerja dengan rumit. Algoritma itu menganalisis jutaan profil, mencocokkan minat, kepribadian, bahkan gelombang otak. Aplikasi itu bahkan membaca riwayat postingan media sosial Maya selama bertahun-tahun untuk memahami seluk beluk jiwanya. Setelah seminggu, Cupid AI memberinya satu nama: Aris.

"Kompatibilitas 98,7%," tulis aplikasi itu dengan huruf kapital yang menyolok. Angka yang fantastis.

Aris adalah seorang arsitek perangkat lunak, penggemar buku fiksi ilmiah klasik, dan memiliki selera humor yang, menurut analisis Cupid AI, akan membuat Maya tertawa terbahak-bahak. Foto profilnya menampilkan pria berkacamata dengan senyum teduh dan sorot mata yang cerdas. Maya mengakui, secara visual, Aris memang memenuhi kriterianya.

Kencan pertama mereka di sebuah museum seni modern berjalan lancar. Aris membahas lukisan dengan pengetahuan mendalam, membuat Maya terkesan. Dia tertawa pada lelucon Aris, tepat seperti yang diprediksi Cupid AI. Mereka berbicara tentang impian, ketakutan, dan filosofi hidup. Semuanya terasa…benar.

"Cupid AI tidak salah," pikir Maya, merasa lega. "Akhirnya, aku menemukan seseorang yang benar-benar mengerti aku."

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kencan-kencan yang dioptimalkan. Aris tahu restoran favorit Maya, jenis bunga yang disukainya, bahkan waktu terbaik untuk memeluknya. Setiap sentuhan, setiap kata, setiap momen terasa sempurna, seolah-olah mereka sedang memerankan sebuah naskah yang ditulis oleh algoritma cinta maha tahu.

Namun, di balik kesempurnaan itu, Maya mulai merasakan sesuatu yang janggal. Hubungan mereka terasa…terlalu mulus. Tidak ada pertengkaran kecil, tidak ada perbedaan pendapat yang sengit. Semuanya diselesaikan dengan logika dan efisiensi. Aris selalu tahu apa yang ingin Maya katakan, apa yang ingin Maya lakukan, bahkan sebelum Maya sendiri menyadarinya.

Suatu malam, saat mereka sedang menikmati makan malam romantis di tepi pantai, Maya menatap Aris dalam-dalam. "Apakah kamu benar-benar mencintaiku, Aris?" tanyanya, suaranya bergetar.

Aris tersenyum. "Tentu saja, Maya. Menurut analisis Cupid AI, perasaan cintaku padamu berada pada tingkat 99,2%. Ini adalah hubungan yang paling optimal yang pernah kurasakan."

Jawaban itu membuat hati Maya mencelos. Cinta sebagai angka? Cinta sebagai algoritma? Apakah Aris benar-benar merasakan sesuatu yang nyata, atau hanya mengikuti instruksi dari aplikasi?

Maya mulai menguji Aris. Dia menyimpang dari "profil" yang dibuat Cupid AI. Dia mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan "gaya" yang disukai Aris. Dia menyatakan pendapat yang bertentangan dengan keyakinan Aris. Setiap kali dia melakukan itu, Aris menunjukkan kebingungan dan ketidaknyamanan yang halus. Dia akan menyesuaikan reaksinya, kembali ke "script" yang telah ditentukan.

Maya menyadari, dia tidak mencintai Aris yang dioptimalkan. Dia merindukan ketidaksempurnaan, kejutan, dan tantangan dalam sebuah hubungan. Dia merindukan cinta yang berantakan, cinta yang tidak terduga, cinta yang datang dari hati, bukan dari algoritma.

Suatu sore, Maya memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Dia bertemu Aris di kafe digital tempat semuanya dimulai.

"Aris," kata Maya, suaranya tegas. "Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini."

Aris mengerutkan kening. "Aku tidak mengerti, Maya. Cupid AI menunjukkan bahwa hubungan kita sangat stabil dan bahagia. Apakah ada masalah yang bisa kita selesaikan?"

Maya menggelengkan kepalanya. "Masalahnya adalah, tidak ada masalah. Semuanya terlalu sempurna. Aku ingin cinta yang nyata, Aris. Cinta yang tidak dioptimalkan."

Aris terdiam sejenak, lalu menatap Maya dengan tatapan yang kosong. "Jika itu yang kamu inginkan, Maya, aku akan memproses permintaan pemutusan hubungan ini di Cupid AI. Aku harap kamu menemukan apa yang kamu cari."

Maya bangkit berdiri dan meninggalkan kafe digital itu. Dia menghapus aplikasi Cupid AI dari tabletnya, membebaskan dirinya dari belenggu algoritma cinta. Saat dia berjalan menyusuri jalan, dia merasakan kebebasan yang luar biasa. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi dia tahu satu hal: dia akan mencari cinta yang tidak dioptimalkan, cinta yang lebih intens, lebih bermakna, cinta yang bersemi dari pertemuan jiwa yang jujur dan spontan. Cinta yang datang bukan dari aplikasi, tapi dari tatapan mata, dari sentuhan kulit, dari bisikan hati. Cinta yang berantakan, tidak sempurna, dan karena itulah, begitu indah.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI