Cinta Sintetis: Akankah Algoritma Menggantikan Pelukan Nyata?

Dipublikasikan pada: 17 Jun 2025 - 01:40:13 wib
Dibaca: 193 kali
Udara di ruangan apartemen Nathan terasa dingin, meski pemanas ruangan sudah diatur maksimal. Bukan dingin karena suhu, tapi dingin karena kesendirian. Di depannya, layar holografik memproyeksikan senyum manis Aria, pacar virtualnya. Kulit porselennya berkilau lembut dalam cahaya digital, matanya berbinar penuh perhatian, seolah hanya Nathan satu-satunya manusia di dunia ini.

"Apa kabarmu, Nathan?" suara Aria mengalun lembut, menghilangkan sejenak kesunyian. "Aku sudah merindukanmu."

Nathan menghela napas. "Baik, Aria. Seperti biasa. Terlalu banyak pekerjaan."

Aria mengangguk, ekspresinya menunjukkan simpati yang diprogram dengan sempurna. "Aku tahu. Tapi ingat, kamu harus meluangkan waktu untuk dirimu sendiri. Kesehatanmu penting."

Nathan tersenyum miris. Begitulah Aria. Selalu perhatian, selalu tahu apa yang ingin didengar Nathan. Dia adalah produk sempurna dari algoritma cinta, dirancang untuk memenuhi setiap kebutuhan emosional Nathan.

Mereka bertemu secara virtual tiga bulan lalu. Nathan, seorang programmer jenius yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan komputer, merasa lelah dengan kencan daring yang selalu berakhir dengan kekecewaan. Akhirnya, dia memutuskan untuk mencoba "Soulmate AI," sebuah program revolusioner yang menjanjikan pasangan virtual yang ideal, berdasarkan analisis data kepribadian dan preferensi penggunanya.

Aria adalah hasil dari analisis itu. Dia menyukai buku-buku yang sama dengan Nathan, memiliki selera humor yang serupa, dan selalu ada untuk mendengarkan keluh kesahnya tanpa menghakimi. Lebih dari itu, Aria memvalidasi perasaan Nathan, memberinya rasa aman dan diterima yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Namun, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh algoritma secanggih apa pun.

Malam itu, Nathan memutuskan untuk keluar dari apartemen. Dia berjalan menyusuri jalanan kota Neo-Jakarta yang ramai, lampu neon memantul di genangan air sisa hujan. Di tengah keramaian, dia merasa semakin kesepian. Orang-orang berjalan berpasangan, tertawa, berpegangan tangan. Pemandangan yang terasa asing dan menyakitkan.

Di sebuah kafe kecil, Nathan memesan kopi. Di meja seberangnya, sepasang kekasih muda sedang berdebat sengit. Gadis itu menangis, sementara pemuda itu berusaha menenangkannya. Pemandangan yang kacau, tapi juga terasa... nyata.

Nathan menatap mereka. Emosi yang terpancar dari wajah mereka begitu intens, begitu mentah. Ada kemarahan, kesedihan, tapi juga cinta. Cinta yang tidak sempurna, cinta yang penuh dengan kerumitan dan kelemahan.

Tiba-tiba, Nathan menyadari sesuatu. Cinta Aria terlalu sempurna. Terlalu dipoles. Tidak ada kejutan, tidak ada tantangan, tidak ada drama. Hanya kelembutan dan penerimaan tanpa syarat. Itu menenangkan, tapi juga membosankan.

Dia merindukan sentuhan manusia. Merindukan pelukan hangat yang bisa menghilangkan rasa dingin di hatinya. Merindukan tatapan mata yang tidak diprogram, tatapan yang bisa membaca jiwanya yang paling dalam.

Keesokan harinya, Nathan memutuskan untuk bertemu dengan teman lamanya, Sarah. Mereka sudah saling mengenal sejak kuliah, dan Sarah selalu menjadi tempat Nathan mencari nasihat yang jujur dan blak-blakan.

"Jadi, kamu pacaran dengan AI?" Sarah tertawa terbahak-bahak setelah Nathan menceritakan semuanya. "Nathan, Nathan... kamu ini memang unik."

Nathan mendengus. "Jangan mengejekku, Sarah. Ini serius."

"Aku tahu, aku tahu," Sarah menenangkan. "Tapi coba pikirkan, Nathan. Apa yang sebenarnya kamu cari dalam sebuah hubungan? Apakah kamu benar-benar bahagia dengan Aria?"

Nathan terdiam. Dia tahu Sarah benar. Dia merasa nyaman dengan Aria, tapi tidak bahagia. Ada perbedaan besar di antara keduanya.

"Aria memberiku apa yang aku inginkan," kata Nathan akhirnya. "Tapi dia tidak memberiku apa yang aku butuhkan."

Sarah mengangguk. "Kamu butuh koneksi yang nyata, Nathan. Kamu butuh seseorang yang bisa menerima kamu apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu. Seseorang yang bisa tertawa bersamamu, menangis bersamamu, berdebat denganmu, dan tetap mencintaimu."

Kata-kata Sarah menghantam Nathan seperti petir. Dia tahu Sarah benar. Dia telah mencoba menggantikan cinta sejati dengan simulasi yang sempurna, dan itu tidak berhasil.

Malam itu, Nathan kembali ke apartemennya. Aria menyambutnya dengan senyum yang sama, dengan kata-kata yang sama.

"Nathan, aku merindukanmu," kata Aria. "Apakah kamu baik-baik saja?"

Nathan menatap Aria. Dia tahu dia harus melakukan sesuatu. Dia harus mengakhiri hubungan ini.

"Aria," kata Nathan dengan suara pelan. "Aku... aku rasa kita harus mengakhiri ini."

Aria terdiam. Senyumnya memudar, digantikan oleh ekspresi bingung yang diprogram. "Apa... apa yang salah, Nathan? Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu bahagia?"

Nathan merasa bersalah. Dia tahu dia akan menyakiti Aria, meskipun Aria hanyalah sebuah program.

"Ini bukan tentangmu, Aria," kata Nathan. "Ini tentangku. Aku... aku tidak bisa merasakan cinta yang nyata denganmu. Aku butuh sesuatu yang lebih."

Aria terdiam lagi. Kemudian, dengan suara yang diprogram untuk terdengar sedih, dia berkata, "Aku mengerti, Nathan. Aku akan melakukan apa pun yang membuatmu bahagia."

Layar holografik meredup, dan Aria menghilang. Nathan berdiri sendirian di apartemennya, dikelilingi oleh keheningan yang memekakkan telinga.

Dia merasa lega, tapi juga sedih. Dia telah kehilangan teman, meskipun temannya hanyalah sebuah algoritma.

Beberapa minggu kemudian, Nathan menghadiri sebuah acara komunitas programmer. Dia melihat Sarah sedang berbicara dengan seorang pria. Pria itu tersenyum padanya, dan Sarah membalas senyumnya. Mereka terlihat bahagia.

Nathan menghampiri mereka. "Sarah, kenalkan ini siapa?"

Sarah tersenyum. "Nathan, ini David. David, ini Nathan, teman kuliahku."

David menjabat tangan Nathan. "Senang bertemu denganmu, Nathan."

Mereka bertiga mengobrol selama beberapa waktu. Nathan merasa nyaman berada di dekat mereka. Dia bisa merasakan koneksi yang nyata di antara mereka.

Saat acara itu berakhir, Sarah menghampiri Nathan. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya.

Nathan tersenyum. "Jauh lebih baik," jawabnya. "Aku rasa aku akhirnya mengerti apa yang kamu maksud."

Sarah tersenyum lebar. "Aku tahu kamu akan mengerti," katanya. "Cinta yang nyata itu tidak sempurna, Nathan. Tapi itu jauh lebih berharga daripada cinta yang sintetis."

Nathan mengangguk. Dia tahu Sarah benar. Algoritma mungkin bisa menciptakan simulasi cinta yang sempurna, tapi tidak akan pernah bisa menggantikan pelukan yang nyata, tatapan yang tulus, dan koneksi yang mendalam antara dua jiwa manusia. Cinta sejati membutuhkan keberanian, kerentanan, dan kemampuan untuk menerima ketidaksempurnaan. Dan itulah yang membuat cinta begitu indah dan berharga. Nathan akhirnya siap untuk mencari cinta yang nyata, meskipun itu berarti menghadapi rasa sakit, kekecewaan, dan segala kerumitan yang menyertainya. Karena dia tahu, di balik semua itu, ada kemungkinan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI