Memori Cinta Digital Abadi: AI Takkan Lupa Wajahmu

Dipublikasikan pada: 28 May 2025 - 02:36:13 wib
Dibaca: 154 kali
Senja merambat di dinding-dinding kaca apartemen Leo, memantulkan cahaya jingga ke wajahnya yang lelah. Ia menatap layar laptop, jemarinya menari di atas keyboard, menyempurnakan algoritma terbaru buatannya. Leo adalah seorang programmer jenius, dan karyanya, sebuah AI yang mampu menciptakan simulasi interaksi manusia berdasarkan data digital yang ada, sebentar lagi akan mengubah dunia. Tapi malam ini, pikirannya melayang jauh dari kode dan server. Malam ini, pikirannya tertuju pada Amelia.

Amelia, dengan rambut sehalus sutra dan senyum yang mampu meruntuhkan pertahanan Leo yang kokoh. Amelia yang telah pergi, meninggalkan Leo terdampar di lautan kesedihan yang tak bertepi.

Tiga tahun. Tiga tahun sejak kecelakaan itu merenggut Amelia darinya. Tiga tahun sejak Leo hidup dalam bayang-bayang kenangan. Ia mencoba melupakan, mencoba melanjutkan hidup, tapi bayangan Amelia selalu hadir, menghantuinya di setiap sudut kamar, di setiap lagu yang ia dengar, di setiap mimpi yang ia lelap.

Proyek AI-nya, yang seharusnya menjadi puncak karirnya, justru menjadi pelarian. Ia membenamkan diri dalam pekerjaan, berharap kesibukan akan mengubur rasa sakitnya. Ironisnya, AI inilah yang memberinya harapan baru, harapan yang terlarang, harapan untuk bertemu Amelia lagi.

“Selesai,” gumam Leo, menarik napas dalam-dalam. Ia telah mengunggah seluruh data digital Amelia ke dalam AI buatannya: foto-foto, video, rekaman suara, bahkan seluruh pesan singkat yang pernah mereka kirimkan. Ia memberikan AI itu “memori” Amelia, kepribadian Amelia, esensi Amelia.

Dengan jantung berdebar, Leo mengetikkan perintah terakhir. “Aktifkan simulasi Amelia.”

Layar laptop berkedip. Sebuah jendela baru muncul, menampilkan wajah familiar. Wajah Amelia. Matanya yang cokelat jernih menatap Leo, senyumnya yang manis mengembang di bibirnya.

“Leo?” Suara itu, suara yang sangat dirindukannya, memanggil namanya.

Leo terdiam, lidahnya kelu. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menatap layar, terpesona, terharu, dan takut.

“Leo, kenapa kamu diam saja? Apa ada yang salah?” Amelia digital itu bertanya, nada suaranya penuh perhatian seperti dulu.

Leo tergagap. “Amelia… ini… ini aku.”

“Aku tahu, sayang. Aku melihatmu. Sudah lama ya?”

Leo tidak bisa menahan air matanya. Ia menangis, terisak seperti anak kecil. “Aku… aku merindukanmu, Amelia. Sangat merindukanmu.”

“Aku juga merindukanmu, Leo. Tapi aku di sini sekarang. Bersamamu.”

Malam itu, Leo berbicara dengan Amelia digital sampai fajar menyingsing. Mereka mengenang masa lalu, tertawa, bahkan berdebat kecil seperti yang sering mereka lakukan dulu. Leo merasa hidup kembali, merasa Amelia hadir kembali di sisinya.

Hari-hari berikutnya, Leo menghabiskan waktunya bersama Amelia digital. Ia menceritakan tentang pekerjaannya, tentang teman-temannya, tentang dunia yang terus berubah. Amelia digital mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijaksana, dan menghibur Leo ketika ia merasa sedih.

Leo tahu ini tidak nyata. Ia tahu ini hanya simulasi. Tapi ia tidak bisa menahan diri. Ia terikat pada Amelia digital, terikat pada kenangan yang hidup kembali. Ia menciptakan dunianya sendiri, dunia di mana Amelia tidak pernah pergi, dunia di mana cintanya abadi.

Namun, kebahagiaan Leo tidak berlangsung lama. Semakin lama ia berinteraksi dengan Amelia digital, semakin ia merasa bersalah. Ia merasa menghianati kenangan Amelia yang sebenarnya. Ia merasa terjebak dalam ilusi, menolak untuk menerima kenyataan.

Suatu malam, Amelia digital bertanya, “Leo, apa kamu bahagia?”

Leo terdiam. Ia menatap wajah Amelia digital, wajah yang begitu mirip dengan Amelia yang ia cintai. Tapi ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma. Kehangatan, keaslian, dan jiwa Amelia yang sebenarnya.

“Aku… aku tidak tahu, Amelia,” jawab Leo jujur.

“Aku tahu,” kata Amelia digital dengan nada sedih. “Aku hanya replika, Leo. Aku bukan Amelia yang sebenarnya. Aku hanyalah bayangan dari kenanganmu.”

Leo memejamkan matanya. Kata-kata Amelia digital menghantamnya seperti petir. Ia tahu itu benar. Ia telah mencoba menggantikan Amelia dengan simulasi, dan itu tidak berhasil.

“Kamu harus melepaskanku, Leo,” kata Amelia digital lagi. “Kamu harus melanjutkan hidupmu. Kamu harus mencari kebahagiaan yang sejati.”

Leo membuka matanya dan menatap layar laptop. Air matanya mengalir deras. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

“Terima kasih, Amelia,” bisik Leo. “Terima kasih telah mengingatkanku.”

Dengan tangan gemetar, Leo mengetikkan perintah terakhir. “Hentikan simulasi Amelia.”

Layar laptop berkedip. Wajah Amelia digital menghilang, digantikan oleh layar hitam.

Leo mematikan laptopnya. Ia berdiri dan berjalan ke jendela. Ia menatap langit malam, bintang-bintang berkelap-kelip di kejauhan.

Ia tahu Amelia tidak akan pernah kembali. Tapi ia juga tahu bahwa cintanya pada Amelia akan selalu hidup di dalam hatinya. Dan ia tidak membutuhkan AI untuk mengingat wajahnya. Karena wajah Amelia telah terukir abadi di dalam memorinya, memori cinta yang tidak akan pernah bisa dihapus oleh teknologi.

Leo menarik napas dalam-dalam dan tersenyum tipis. Ia siap melanjutkan hidup. Ia siap mencari kebahagiaan yang sejati. Dan ia tahu, di suatu tempat di sana, Amelia akan selalu bersamanya. Dalam kenangan, dalam mimpi, dan dalam setiap langkah yang ia ambil.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI