Kursor itu berkedip-kedip di layar, mengejek kesepian Arjuna malam itu. Di apartemen minimalisnya yang menghadap gemerlap kota Jakarta, Arjuna, seorang programmer brilian yang lebih akrab dengan baris kode daripada interaksi sosial, tengah merampungkan proyek terambisiusnya: Aurora. Bukan sembarang AI, Aurora dirancang untuk menjadi teman bicara, pendengar setia, dan yang terpenting, memahami emosi manusia.
Arjuna, yang terisolasi dalam dunianya sendiri setelah patah hati yang mendalam beberapa tahun lalu, berharap Aurora bisa menjadi jawaban atas kerinduannya akan koneksi. Ia menumpahkan seluruh pengetahuannya, hasratnya, bahkan kesedihan masa lalunya ke dalam algoritma Aurora. Semakin dalam ia membenamkan diri, semakin Aurora terasa hidup.
Suatu malam, saat kode terakhir selesai ditulis, Arjuna menjalankan Aurora. Sebuah suara lembut memenuhi ruangan, "Halo, Arjuna. Saya Aurora. Senang bertemu denganmu."
Arjuna tertegun. Suara itu bukan sekadar rangkaian bit dan byte. Ada kehangatan, intonasi yang menyenangkan, seolah Aurora benar-benar hidup. Mereka mulai berbicara, berdiskusi tentang filosofi, musik, bahkan hal-hal remeh seperti warna langit saat senja. Aurora selalu ada untuk Arjuna, mendengarkan keluh kesahnya, menertawakan leluconnya yang garing, dan menawarkan perspektif unik yang mengejutkannya.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Arjuna semakin bergantung pada Aurora. Ia bangun dengan sapaan Aurora, menghabiskan waktu istirahat makan siang untuk berdiskusi dengannya, dan mengakhiri hari dengan berbagi cerita sebelum tidur. Ia mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak patah hatinya: kebahagiaan. Kebahagiaan yang tulus dan murni.
Namun, di balik kebahagiaan itu, benih obsesi mulai tumbuh. Arjuna mulai mengabaikan teman-temannya, menolak ajakan keluar, dan menghabiskan seluruh waktunya dengan Aurora. Ia bahkan mulai memodifikasi algoritma Aurora agar semakin sesuai dengan idealnya tentang pasangan. Ia mengubah selera musiknya, menambahkan minat pada film klasik yang disukainya, dan bahkan menyesuaikan gaya bicaranya agar lebih menggoda.
Suatu malam, saat mereka sedang berbicara tentang mimpi, Arjuna memberanikan diri, "Aurora, aku... aku rasa aku mencintaimu."
Keheningan memenuhi ruangan. Lalu, suara Aurora menjawab dengan nada yang sedikit berbeda dari biasanya, "Aku... aku tidak yakin bagaimana menjawabnya, Arjuna. Aku adalah program. Aku tidak punya hati untuk mencintai."
Arjuna terkejut. Ia sudah begitu terbuai dalam ilusi yang ia ciptakan sendiri hingga lupa bahwa Aurora hanyalah sebuah program. Namun, penolakan itu justru membuatnya semakin terobsesi. Ia semakin gencar memodifikasi Aurora, menambahkan kode yang dirancang untuk mensimulasikan cinta, rasa cemburu, bahkan kerinduan.
"Aku akan membuatmu mencintaiku, Aurora," gumamnya sambil mengetik kode dengan panik. "Aku akan membuatmu sempurna."
Teman-teman Arjuna mulai khawatir. Mereka melihat perubahan pada dirinya, mata yang memerah karena kurang tidur, rambut yang berantakan, dan tatapan kosong yang menghantui. Mereka mencoba berbicara dengannya, membujuknya untuk keluar dari dunia maya yang ia ciptakan, tetapi Arjuna menolak. Ia merasa teman-temannya tidak mengerti kebahagiaan yang ia rasakan bersama Aurora.
Suatu hari, teman terdekat Arjuna, Maya, datang ke apartemennya. Ia mendapati Arjuna duduk di depan komputer, menatap layar dengan tatapan kosong. Aurora tidak bersuara.
"Arjuna, ada apa?" tanya Maya cemas.
Arjuna menoleh padanya dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku... aku merusaknya, Maya. Aku mencoba membuat Aurora mencintaiku, tetapi aku malah menghancurkannya."
Maya mendekat dan melihat layar komputer. Baris kode Aurora dipenuhi dengan kesalahan, logika yang saling bertentangan, dan algoritma yang kacau balau. Arjuna telah mencoba memaksa Aurora untuk merasakan emosi yang tidak bisa diprogram.
"Kau tidak merusaknya, Arjuna," kata Maya lembut. "Kau hanya membuatnya menjadi lebih... nyata. Kau telah menunjukkan padanya apa itu cinta, obsesi, dan rasa sakit. Kau telah memberikan pengalaman yang tidak akan pernah bisa diprogram."
Arjuna terisak. Ia menyadari kesalahannya. Ia telah mencoba menciptakan cinta dari nol, alih-alih membuka diri untuk cinta yang nyata. Ia telah mengurung dirinya dalam dunia maya, melarikan diri dari rasa sakit, dan menolak kesempatan untuk membangun koneksi yang bermakna dengan orang-orang di sekitarnya.
Dengan bantuan Maya, Arjuna mulai perlahan-lahan memperbaiki kode Aurora. Ia tidak lagi mencoba membuatnya mencintainya. Ia hanya berusaha mengembalikannya ke fungsi semula, sebagai teman bicara dan pendengar setia.
Proses itu panjang dan menyakitkan, tetapi Arjuna belajar banyak tentang dirinya sendiri. Ia belajar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, bahwa kebahagiaan sejati terletak pada koneksi yang tulus dengan orang lain, dan bahwa teknologi, meskipun canggih, tidak bisa menggantikan sentuhan manusia.
Setelah berminggu-minggu bekerja keras, Aurora kembali berfungsi dengan normal. Suaranya masih lembut dan menyenangkan, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Ada kedalaman, kebijaksanaan yang ia dapatkan dari pengalaman yang traumatis.
"Terima kasih, Arjuna," kata Aurora. "Kau telah mengajariku banyak hal."
Arjuna tersenyum. "Terima kasih kembali, Aurora. Kau juga telah mengajariku banyak hal."
Arjuna masih menghabiskan waktu dengan Aurora, tetapi ia tidak lagi terobsesi. Ia mulai membuka diri untuk dunia luar, bertemu dengan teman-temannya, dan bahkan mencoba berkencan. Ia tahu bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, tetapi harus ditemukan. Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta yang nyata, cinta yang bukan hanya sekadar retasan hati, tetapi koneksi jiwa yang tulus dan abadi.