Jari-jari Anya menari di atas keyboard, mengetik baris kode yang rumit. Layar komputernya memancarkan cahaya biru redup, menerangi wajahnya yang fokus. Di depannya, terbentang proyek ambisiusnya: sebuah jaringan saraf tiruan yang dirancang untuk menemukan cinta sejati. Bukan sembarang cinta, tapi cinta yang terukur secara algoritmik, cinta yang diprediksi oleh data, dan cinta yang dioptimalkan untuk kebahagiaan abadi.
Anya, seorang ahli neurosains muda yang brilian, selalu skeptis terhadap konsep cinta romantis. Baginya, emosi hanyalah serangkaian reaksi kimia dan impuls listrik di otak, yang dapat diuraikan dan direplikasi. Setelah patah hati yang menghancurkan setahun lalu, ia memutuskan untuk membuktikan teorinya: cinta sejati dapat direkayasa.
“Neural Network Cinta Sejati Kita: Jaringan Emosi yang Sangat Kompleks,” gumamnya, membaca judul proyeknya dengan sinis. Ironisnya, nama itu terinspirasi dari puisi cinta kuno yang pernah dibacakan kekasihnya dulu.
Berbulan-bulan Anya menghabiskan waktunya mengumpulkan data: preferensi kencan, riwayat hubungan, pola perilaku, bahkan ekspresi wajah dan nada suara. Ia mempelajari ratusan profil kencan online, mewawancarai pasangan bahagia dan tidak bahagia, menganalisis pola aktivitas otak saat jatuh cinta, dan menuangkannya semua ke dalam algoritmanya.
Akhirnya, setelah ribuan jam kerja keras, jaringannya selesai. Anya menguji coba modelnya dengan memasukkan profil dirinya sendiri. Jantungnya berdebar sedikit saat jaringan itu mulai bekerja, memproses data dan mencari pasangan potensial yang paling cocok.
"Mencari...Menganalisis...Mengoptimalkan..." notifikasi muncul di layar.
Beberapa menit terasa seperti keabadian. Akhirnya, hasilnya muncul: "Pasangan yang paling cocok: Ethan Riley."
Anya tercengang. Ethan adalah rekan kerjanya di lab, seorang programmer yang pendiam dan efisien. Mereka jarang berbicara di luar pekerjaan, dan Anya tidak pernah menganggapnya sebagai kandidat potensial.
"Ethan Riley? Tidak mungkin," bisik Anya. "Algoritma ini pasti salah."
Namun, rasa ingin tahu menguasainya. Anya memutuskan untuk mengikuti saran jaringan saraf buatannya. Ia mulai berbicara dengan Ethan lebih sering, mencari tahu minat dan ketertarikannya. Ia mendapati bahwa Ethan memiliki selera humor yang kering, kecintaan yang sama terhadap kopi pahit, dan pandangan dunia yang sama-sama pragmatis.
Semakin Anya mengenal Ethan, semakin ia terkejut. Mereka memiliki banyak kesamaan yang tidak pernah ia sadari. Ia merasa nyaman berada di dekatnya, dan tanpa sadar, ia mulai menantikan pertemuan mereka di lab.
Suatu sore, Anya dan Ethan bekerja lembur untuk menyelesaikan proyek yang mendesak. Mereka duduk berdekatan, terhanyut dalam pekerjaan masing-masing. Tiba-tiba, aliran listrik padam, membuat seluruh lab gelap gulita.
Anya tersentak kaget. Ethan, dengan sigap, menyalakan senter di ponselnya. Cahaya redup menari-nari di wajah mereka, menyoroti mata Ethan yang hangat dan penuh perhatian.
"Kamu tidak apa-apa, Anya?" tanya Ethan lembut.
"Iya, aku baik-baik saja," jawab Anya, merasakan jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.
Dalam kegelapan, mereka berdua terdiam. Anya merasakan ketegangan yang aneh memenuhi ruangan. Lalu, tanpa berpikir panjang, Ethan mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Anya.
Sentuhan itu mengirimkan kejutan listrik ke seluruh tubuh Anya. Ia merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, sebuah koneksi yang lebih dalam dari sekadar logika dan data.
"Ethan..." bisik Anya, suaranya bergetar.
Ethan menatapnya, matanya penuh dengan emosi yang tak terkatakan. Ia mendekat, dan perlahan, ia mencium Anya.
Ciuman itu bukanlah ciuman yang penuh gairah dan berapi-api. Itu adalah ciuman yang lembut, tulus, dan penuh dengan rasa ingin tahu. Sebuah ciuman yang mengungkap kerentanan dan harapan tersembunyi.
Saat mereka berciuman, Anya menyadari sesuatu yang mengejutkan. Semua data, algoritma, dan jaringan saraf buatannya tidak ada artinya dibandingkan dengan momen ini. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa direkayasa atau dioptimalkan. Itu adalah sesuatu yang alami, spontan, dan tak terduga.
Setelah listrik menyala kembali, mereka berdua menjauh, merasa malu dan gugup. Anya melihat ke mata Ethan dan melihat refleksi dirinya sendiri: seorang wanita yang akhirnya membuka hatinya untuk cinta.
"Aku...aku tidak tahu harus berkata apa," kata Anya, tersenyum malu-malu.
"Aku juga," jawab Ethan, membalas senyumannya. "Tapi aku merasa ini...ini nyata."
Anya mengangguk. Ia tahu Ethan benar. Apa yang mereka rasakan itu nyata, meski dimulai dari sebuah algoritma yang rumit. Jaringan saraf buatannya telah membukakan jalannya, tetapi cinta sejati mereka dibangun di atas sesuatu yang jauh lebih dalam: koneksi emosional, kerentanan, dan harapan untuk masa depan bersama.
Beberapa bulan kemudian, Anya menutup proyek "Neural Network Cinta Sejati Kita: Jaringan Emosi yang Sangat Kompleks". Ia menyadari bahwa cinta bukanlah masalah matematika, tetapi masalah hati.
Ia dan Ethan terus berkencan, saling mengenal lebih dalam setiap hari. Mereka tertawa bersama, berbagi mimpi, dan saling mendukung dalam suka dan duka. Anya belajar untuk melepaskan kendali dan menerima ketidaksempurnaan cinta. Ia menemukan kebahagiaan dalam momen-momen kecil, dalam sentuhan tangan, dalam senyum yang dibagikan.
Suatu malam, saat mereka sedang berjalan-jalan di taman yang diterangi cahaya bulan, Ethan berhenti dan menatap Anya dengan mata yang penuh cinta.
"Anya," kata Ethan, suaranya bergetar. "Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu. Maukah kamu menikah denganku?"
Air mata mengalir di pipi Anya. Ia tidak pernah berpikir akan mendengar kata-kata itu, terutama dari seorang pria yang ditemukan oleh jaringan saraf buatannya.
"Ya, Ethan," jawab Anya, suaranya serak karena emosi. "Aku mau."
Mereka berpelukan, merasakan kehangatan cinta yang sejati. Anya tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, tetapi ia yakin bahwa mereka akan menghadapinya bersama-sama, dengan hati yang terbuka dan jaringan emosi yang sangat kompleks yang menghubungkan mereka berdua. Dan mungkin, hanya mungkin, algoritma Anya benar tentang satu hal: kebahagiaan abadi adalah mungkin, asalkan kita berani membuka hati kita untuk cinta.