Aplikasi kencan "Soulmate AI" itu berkedip-kedip di layar ponsel Anya. Sebuah notifikasi muncul: "Prediksi kecocokanmu dengan pengguna 'Arjuna_Code' mencapai 98,7%. Pertemuanmu sudah diatur." Anya menghela napas. Angka itu sungguh fantastis. Soulmate AI selama ini tak pernah meleset. Teman-temannya yang mengikuti saran aplikasi ini semua berakhir bahagia, beberapa bahkan sudah menikah dan berencana memiliki anak. Tapi entah kenapa, kali ini Anya merasa ada yang mengganjal.
Arjuna_Code. Nama pengguna yang aneh, pikir Anya. Foto profilnya pun hanya siluet dirinya di depan kode-kode program yang bercahaya. Anya sendiri, sebagai seorang desainer grafis lepas, merasa asing dengan dunia koding. Tapi algoritma Soulmate AI, yang katanya bisa menganalisis kepribadian, preferensi, dan bahkan gelombang otak pengguna, yakin bahwa Arjuna adalah belahan jiwanya.
Anya ingat malam pertama kali mendaftar di aplikasi itu. Ia melakukannya atas desakan ibunya. Setelah tiga tahun menjomblo, ibunya mulai khawatir Anya akan menjadi perawan tua. Anya awalnya skeptis. Cinta itu buta, kata orang. Bagaimana mungkin sebuah program komputer bisa menentukan siapa yang cocok dengannya? Tapi melihat keberhasilan teman-temannya, Anya akhirnya menyerah dan mengunduh aplikasi itu.
Pertemuan diatur di sebuah kafe bertema futuristik yang pencahayaannya didominasi warna biru dan ungu. Anya datang tepat waktu, mengenakan gaun berwarna krem yang sengaja dipilih agar terlihat kasual namun tetap elegan. Ia gugup, jantungnya berdebar kencang. Bukan karena cinta, tapi karena penasaran. Ia ingin membuktikan, apakah kali ini algoritma akan salah?
Arjuna sudah menunggu di meja yang dipesan. Ketika Anya mendekat, ia berdiri dan mengulurkan tangan. "Anya? Saya Arjuna."
Jantung Anya berdegup lebih kencang. Arjuna ternyata jauh lebih menarik dari yang ia bayangkan. Siluet di foto profilnya tidak bisa menggambarkan ketampanan pria di depannya. Rambutnya hitam legam, matanya cokelat hangat, dan senyumnya… senyumnya membuat Anya merasa tenang.
"Hai, Arjuna," jawab Anya, menjabat tangannya. Sentuhan kulit mereka terasa anehnya familiar, seolah mereka sudah saling kenal sejak lama.
Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Arjuna ternyata seorang pengembang perangkat lunak yang bekerja untuk perusahaan rintisan di bidang kecerdasan buatan. Mereka berdiskusi tentang teknologi, seni, bahkan filosofi. Anya terkejut mendapati Arjuna memiliki selera humor yang sama dengannya. Mereka tertawa bersama, bercanda, dan merasa nyaman satu sama lain.
Anya mulai berpikir, mungkin algoritma itu benar. Mungkin Arjuna memang belahan jiwanya. Tapi di sela-sela percakapan yang menyenangkan itu, Anya merasakan sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma.
"Kamu tahu, Anya," kata Arjuna tiba-tiba, setelah mereka memesan minuman kedua. "Soulmate AI memprediksi kita akan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Algoritma kami menganalisis ekspresi wajahmu saat pertama kali melihatku dan hasilnya menunjukkan ketertarikan yang tinggi."
Anya tersenyum kecut. "Benarkah? Jadi, kamu juga merasakan hal yang sama?"
Arjuna mengangguk. "Tentu saja. Algoritma tidak pernah salah. Aku datang ke sini dengan ekspektasi yang tinggi, dan sejauh ini, ekspektasiku terpenuhi."
Jawaban Arjuna membuat Anya tertegun. Ia merasa seperti sedang menjalani sebuah simulasi, bukan sebuah kencan. Arjuna terlalu terpaku pada prediksi algoritma. Ia seolah tidak melihat Anya sebagai seorang individu, melainkan sebagai variabel dalam sebuah persamaan cinta.
"Tapi… bagaimana dengan insting?" tanya Anya ragu-ragu. "Bagaimana dengan perasaan yang tidak bisa diukur oleh angka?"
Arjuna mengerutkan kening. "Insting? Perasaan? Itu semua hanya ilusi yang diciptakan oleh otak kita. Algoritma justru lebih akurat karena didasarkan pada data yang objektif."
Anya terdiam. Ia sadar, mereka memiliki pandangan yang berbeda tentang cinta. Arjuna mempercayai algoritma, sementara Anya percaya pada hati.
Malam itu, setelah kencan yang diprediksi sempurna oleh Soulmate AI, Anya pulang dengan perasaan campur aduk. Ia menyadari bahwa ia menyukai Arjuna, tapi ia tidak yakin ia bisa mencintainya. Arjuna terlalu bergantung pada teknologi, terlalu kaku, dan kurang spontan. Cinta, bagi Anya, adalah tentang kejutan, ketidakpastian, dan hal-hal yang tidak terduga.
Beberapa hari kemudian, Arjuna mengajaknya berkencan lagi. Kali ini, ia memilih restoran yang direkomendasikan oleh Soulmate AI, yang katanya memiliki atmosfer romantis dan makanan yang sesuai dengan preferensi mereka berdua. Anya menerima ajakan itu, tapi dengan syarat: mereka harus meninggalkan ponsel mereka di rumah.
Arjuna tampak ragu, tapi akhirnya setuju. Malam itu, tanpa panduan dari Soulmate AI, mereka berdua merasa canggung. Percakapan mereka tidak selancar biasanya. Mereka kehabisan topik pembicaraan dan seringkali hanya saling menatap dalam diam.
Anya mencoba untuk membuka diri, untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih pribadi, tapi Arjuna selalu mengembalikan topik pembicaraan ke teknologi dan algoritma. Anya merasa frustrasi. Ia ingin mengenal Arjuna lebih dalam, tapi Arjuna seolah tidak ingin melepaskan diri dari zona nyamannya.
Di akhir malam itu, Anya mengambil keputusan. Ia mengucapkan selamat tinggal pada Arjuna, dan juga pada Soulmate AI. Ia menyadari bahwa algoritma memang bisa membantu menemukan orang yang cocok, tapi algoritma tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah tentang pilihan, tentang keberanian, dan tentang kepercayaan.
Anya menghapus aplikasi Soulmate AI dari ponselnya. Ia memutuskan untuk mengikuti kata hatinya, meskipun itu berarti ia harus menghadapi ketidakpastian. Ia tahu, jalan yang ia pilih tidak akan mudah. Tapi ia yakin, cinta sejati tidak akan ditemukan dalam sebuah algoritma, melainkan dalam sebuah pertemuan yang tak terduga, sebuah percakapan yang mengalir, dan sebuah keputusan yang tulus dari hati.
Beberapa bulan kemudian, Anya bertemu dengan seorang fotografer jalanan bernama Leo. Mereka bertemu secara kebetulan di sebuah pameran seni. Leo tidak tahu apa-apa tentang algoritma atau kecerdasan buatan. Ia hanya melihat Anya, dan ia tahu bahwa ia ingin mengenalnya lebih dekat.
Bersama Leo, Anya belajar tentang keindahan dalam kesederhanaan, tentang spontanitas dalam petualangan, dan tentang cinta yang tidak bisa diukur oleh angka. Ia menemukan bahwa cinta sejati tidak datang dari sebuah prediksi, melainkan dari sebuah pilihan. Dan Anya memilih Leo, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Karena pada akhirnya, hati yang memutuskan, bukan algoritma.